Beruntung sekali Demak kembali terpilih menjadi salah satu kota tempat digelarnya kompetisi bedug asyiiik yang diselenggarakan oleh Sampoerna. Kali ini daku berkesempatan mengikuti seluruh rangkaian acaranya dari pagi hingga malam.
CULTURAL TRIP
MASJID AGUNG DEMAK, KOMPLEKS MAKAM DAN BERIBU PERTANYAAN
Langit cerah menyambut rombongan kami yang tiba di pelataran Masjid Agung Demak pagi itu untuk Cultural Trip. Beberapa orang dari kami bahkan baru pertama kali ini mengunjungi heritage kebanggaan ini. Dan sesungguhnya meskipun tinggal di sebelah masjid, setiap kali datang ke kawasan yang dulunya wingit dan sakral ini, selalu ada rasa baru yang menelisip. Terkadang tanya yang sungguh besar, benarkah masjid ini dibangun dalam semalam. Dan tanya yang banyak, apakah benar Syeikh Siti Jenar dibunuh para wali dan dikubur di bawah pengimaman masjid; Sungai manakah yang katanya dilompati Joko Tingkir dengan posisi mundur ke belakang saat Sang Sultan lewat; Bagaimana persis dan detail cerita yang katanya Sultan Raden Fatah tidak berkenan makamnya diberi cungkup. Benarkah mitos jodoh bagi mereka yang bertemu di teras masjid dengan delapan tiang dari Majapahit itu?
MUSEUM MAD DAN BERJUTA PERTANYAAN BERIKUTNYA
Siang makin beranjak. Usai sholat jamaah dhuhur di Masjid Agung, perjalanan dilanjutkan ke museum yang ada di sebelah utara masjid. Di sini kita bisa menyaksikan beberapa potongan tiang utama masjid yang dimuseumkan karena sudah rapuh. Empat tiang ini menjadi focal point museum yang langsung menyedot perhatian utama kita saat memasukinya. Terdapat batu-batu yang dulu ada di situs kolam wudhu bersejarah. Serat dan kitab-kitab yang ditulis para wali dan ulama disimpan dalam kotak-kotak kaca sehingga kita bisa melihat tanpa menyentuh dan merusaknya.
Berbagai foto dan gambar yang menggambarkan perubahan masjid dari masa ke masa menempel di dinding barat museum. Untuk bentuk tiga dimensi yang menunjukkan detail arsitektur masjidnya bisa kita nikmati melalui miniatur Masjid Agung Demak. Berbagai peninggalan lain yang asalnya dari Campa (daerah asal ibu Sultan Fatah) maupun Majapahit (daerah asal ayah Sultan Fatah) juga menjadi artefak penting yang disimpan di sini.
Dan...meskipun berkali-kali datang ke museum ini dalam berbagai kesempatan, selalu saja ada hal baru yang kudapatkan. Meski selalu juga ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Di antaranya adalah di manakah letak keraton Demak itu sendiri. Kan tidak mungkin sultan dan keluarganya, juga para wali tidur di masjid. Iya kan? Pasti ada tempat tersendiri, yang kalau di lokasi kerajaan lain disebut sebagai keraton atau istana. Di manakah gerangan lokasinya di kota wali ini? Kenapakah jejaknya tak ada lagi? Siapa yang menghilangkannya? Dengan tujuan apa?
SENTRA KERAJINAN BEDUG
Usai puas berkeliling di kawasan masjid Agung, kompleks makam dan museum, kami melanjutkan perjalanan ke Tanubayan, dekat pondok pesantren Betengan. Plang bertuliskan Mushtofa Tukang Terbang menjadi penanda di depan sentra kerajinan bedug yang kami datangi.
Seorang lelaki tengah baya menemui kami dengan menggunakan kaos putih dan keramahan meski wajahnya tak bisa menutupi kelelahan. Namun beliau dengan sabar menceritakan asal mula dan perjalanan usahanya yang turun temurun ini.
Beliau adalah generasi ketiga, yang belajar membuat bedug dan rebana sejak masih berusia sembilan tahun. Dimulai dari hanya dikerjakan oleh anggota keluarga, sampai kemudian akhirnya merekrut beberapa tetangga untuk membantu pengerjaan produksinya. Meskipun segala resep rahasianya tetap ada di tangan pak Mus sendiri, yang pastinya akan dia wariskan pada anak-anaknya yang akan melanjutkan usaha ini.
Pak Mus juga membagikan kepada kami apa saja yang menjadikan usahanya ini masih eksis setelah bertahun-tahun. Tips-nya adalah temen (sungguh-sungguh), tekun, jujur, sabar, nerimo, dan ikhlas. Dan tentu saja satu lagi resep pak mustofa adalah tirakat.
Pak Mus dengan senang hati menjawab pertanyaan-pertanyaan kami, meski dalam keadaan berpuasa. Bahkan beliau juga berkenan mengantar kami melihat langsung proses produksi bedug dan rebana di bagian belakang rumah beliau dan rumah putranya.
Wah, ternyata rebana dan bedug itu pembuatannya tidak sesederhana yang kita duga. Kayu trembesi yang dijadikan bahan utamanya, musti dikeringkan dan disimpan dalam jangka waktu satu tahun sebelum bisa digunakan. Supaya kayu tidak mengalami penyusutan yang bisa menyebabkan rebana atau bedug tidak berfungsi dengan baik.
Kulit kerbau dipilih sebagai bahan penampang bedug karena usia rebana ataupun bedugnya jadi bisa lebih panjang. yakni bisa awet sampai dengan dua belas tahun. Sedangkan bedug yang menggunakan kulit sapi biasanya hanya bisa bertahan dalam lima tahun saja, selanjutnya apabila kulit bedugnya sobek atau berlubang , bisa direparasi juga di tempat pak Mus. Kekuatan kulit kerbau ini juga bisa kami saksikan langsung kemarin. Lihat saja bagaimana teman kami yang berat badannya lumayan mantap, bisa dengan santainya loncat-loncat di atas rebana ini.
Rebana atau terbang sendiri menggunakan kulit kambing karena penampangnya lebih pendek. Sedangkan kayunya, bisa menggunakan kayu jati, kayu nangka, duren ataupun kayu lainnya. Semua tergantung pesanan juga harganya.
Oh ya, by the way, baru kemarin ini kami tahu kalau istilah terbang untuk rebana, ternyata maksudnya jika memukulnya (rebana) dengan banTER (keras) maka akan aBANG (merah tangannya).Hihihi...
Dan juga musti selaras dengan seperangkat alat yang sama dalam satu paketnya. Sehingga tentu saja tidak bisa sembarangan. Oleh sebab itulah meski beberapa pegawai yang sudah keluar dan mereka ini mencoba untuk juga membuka usaha yang sama, namun nada yang dihasilkan rebana mereka tidak bisa semerdu rebana produk pak Mus.
memang tidak mudah untuk menjadi peniru. iya kan?
Untuk bedug, karena penampangnya sangat lebar maka dibutuhkan dua orang untuk melakukan pelubangan pada kulitnya. Jarak antara dua lubangnya dikira-kira saja, sehingga bentuknya bisa sesuai dengan penampang kayunya.
Melihat betapa unik dan tidak mudahnya pembuatan bedug, juga mahal bahannya, maka tak heran jika harga satu buah bedug saja bisa sampai seharga satu kali pergi haji. Tiga puluh tujuh juta rupiah untuk bedug dengan diameter penampang seratus dua puluh sentimeter.
Sedangkan harga untuk satu paket alat rebana/terbang yang terdiri dari dua belas perangkat adalah lima sampai enam juta rupiah.
Kita tahu ada banyak aneka perangkat musik rebana seperti Hadroh /Terbang, Marawis / Keplak, Tam, Segala macam Bass, Doumbok / Tumbuk, Ketipung dll dalam berbagai ukuran dan bentuknya.
KOMPETISI BEDUG ASYIIIK
Setelah puas melihat-lihat sentra kerajinan bedug, kami pun meluncur ke lapangan Jogoloyo. Sore yang cerah itu kami menikmati penampilan enam finalis kompetisi bedug asyiiik. Mereka terpilih dari ratusan peserta lainnya. Masing-masing komunitas menyajikan penampilan terbaiknya. Ada dua komunitas yang menggunakan kostum cukup unik sehingga menunjang performance mereka.
Asyik dan seru juga ya ide Sampoerna untuk tidak saja menghidupkan dan melestarikan keberadaan alat musik tradisional bedug, tetapi juga mendorong anak-anak muda ini untuk bersama-sama teman-temannya semakin intens bertemu untuk berlatih, mengaransemen dan memadukan alat musik rebana serta akustik dengan bedug.
Sesuai banget dengan tagline-nya Sampoerna Kretek: teman yang asyik mengubah yang cekcok menjadi cocok.
Masing-masing komunitas membawakan dua lagu. Satu lagu wajib adalah jingle-nya Sampoerna Kretek. Satu lagu lagi tentu saja lagunya band Armada yang menjadi bintang tamu tahun ini.
Malamnya bakda sholat maghrib, juri akhirnya mendapatkan siapa pemenang tahun ini. Bersama pemenang tahun lalu dan mas Joko S Gombloh (pakar etnomusikologi), pemenang tahun ini pun duduk bersama dalam sesi ngobrol asyiiik.
Mas Gombloh banyak menguraikan tentang peran bedug di masa lalu, sekarang dan juga masa depan. Dia tidak saja menjadi alat yang menjadi penanda masuknya waktu beribadah, tetapi kemudian dikembangkan sebagai media untuk menyatukan dan mempererat pertemanan, mengatasi perbedaan dalam ranah kebhinekaan.
KONSER, SINERGI DAN LAILATUL QODAR
Malam makin menghangat ketika mas Gombloh unjuk kebolehannya dengan menyajikan sinergi antara grup rampak temu roso dengan komunitas yang memenangkan kompetisi bedug asyiiik tahun ini dan pemenang tahun lalu.
Gila men! Mas Gombloh cuma memberikan coaching singkat dekat tenda media, tanpa latihan bareng sebelumnya, dan taraaaa.....perpaduan musik mereka semua meski pada awalnya sempat harus menyelaraskan dulu, tetapi ternyata beberapa waktu kemudian musik mereka sedemikian harmonis, rampak dan bikin kita menjadi trance. Whooaaaa...merindiiing.
Suara sindennya melengking tinggi.
Ojo podho lali ngaji
Takon marang kyai
pertemanan baru pun bisa bikin sajian yang asyiiik |
Konser berikutnya diisi Via Fallen yang kali ini memakai baju tertutup dan penampilan yang relijius dibandingkan biasanya. Salut deh mbak.
Sebelas ribu-an penonton konser malam itu pun makin seru dengan kehadiran band Armada. Pas banget memang kalau Armada dipilih menjadi guest star. Karena dari mereka, kita mendapat banyak pelajaran berharga, tentang kesetiakawanan,bagaimana mereka memanage pertemanan dan bisnis dengan bijak, how to relate with fans.
Rizal Armada sempat menggoda penonton karena setelah nyanyi tiga lagu, dia bilang 'udahan ya,cukup ya', karena dia kan datang ke Demak sebenarnya juga mau itikaf.
Tapi dia baik kok, jadi dia nyanyi lagi untuk memuaskan penonton gelaran bedug asyiiiik. Itu mungkin caranya untuk mendapatkan lailatul qodar, dengan menghibur orang-orang. Who knows?
saat sang petualang memegang novel Sarvatraesa Sang Petualang (photo courtesy by Rizal Armada) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar