Makna multitalenta yang terdapat dalam pribadi Kyai Tolhah Hasan karena dalam diri Pak Tohah terdapat pribadi kiai dan ulama, birokrat dan bisnisman” kata-kata demikian di sampaikan Prof. Dr. Nasarudin Umar, Dirjen Bimas Departemen agama sekaligus rector PT IIQ ketika memberikan sambutan atas nama tim penulis dalam acara launching buku biografi Kyai Tolhah Hasan, di Jakarta (27/4/2007). Hadir sebagai pembicara, KH. Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU, Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam, Solahuddin Wahid, dan Masykuri Abdillah. Sedangkan Komarudin Hidayat, rector UIN Jakarta didaulat menjadi moderator. Launching yang di gelar di Hotel Acacia ini dihadiri sejumlah ulama, tokoh agama, akademisi, aktivis, dan mahasiswa.
Sepanjang perjalanannya. Kiai Tholhah, panggilan akrab KH. Tholhah Hasan, sedikit berbeda dengan kebanyakan kiai-kiai terutama dalam lngkungan kiai nahdliyyin. Kiai Tholhah memiliki kepedulian dan konsentrasi dalam hal memperjuangkan pendidikan. Gebrakan yang pernah dilakukannya adalah memasukan mata pelajaran umum lebih banyak dibanding mata pelajaran agama. Sesuatu yang awalnya dianggap aneh dalam pendidikan warga NU. Komitman terhadap pemberdayaan manusia mengantar Kaia Tholhah menduduki kursi rektor di Universitas Islam Malang (UNISMA). Di UNISMA lah Kiai Tholhah semakin menunjukan kepeduliannya dan mematangkan langkah perjuangan dalam bidang pendidikan. Untuk kemudian mengantarkan belian menjadi Mentri Agama pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
”Tidak menutup kemungkinan jika seorang ulama menjadi bisnisman atau birokrat, pintu akan selalu terbuka. Bedanya jika ulama yang menjadi birokrat maka ruhnya tetap ulama yaitu takut kepada Allah,” tegas KH. Hasyim Muzadi menanggapi lika-liku menjadi ulama. Seraya menyebutkan beberapa kriteria seorang ulama, di antaranya memiliki ilmu yang amaliyah, ilmu yang ilmiyah, amal yang ilmiyah. Istiqomah, mengenal zamanya dan takut kepada Allah. Kriteria itu akan membedakan ulama dengan siapapun termasuk dengan kiai,” tandasnya. Menurut Kiai Hasyim, Kiai Tholhah adalah perpaduan antara kiai dan ulama. Jadi secara keilmuan tidak diragukan. Selain itu, menurut Pak Hasyim, seorang ulama harus mengenal zamannya. Pengetahuan ilmu yang dimiliki ulama harus diterapkan sesuai kondisi zamanya. Misalnya untuk Indonesia yang multikultural, tidak bisa diterapkan fiqih ahkam, yang pantas diterapkan adalah fiqih dakwah. Karena, selain multikultural, umat Islam Indonesia belum syar’i. Inilah hal fundamental yang membedakan ulama dengan tokoh agama. Ulama tidak akan menjadikan ilmunya sebagai fitnah. Artinya ulama bukan tidak mengetahui hukum segala sesuatu yang menyangkut soal agama, akan tetapi ulama akan terlebih dahulu melihat kondisi sosial umatnya. ”Ulama tidak menuduh kafir terhadap orang lain. Ulama juga tidak pernah marah-marah, apalagi berbuat anarkis,” tegasnya. Wejangan Kiai Hasyim yang cukup panjang lebar sempat membuat Komarudin Hidayat terkagum-kagum. Hingga sebagai moderator, Pak Koming, demikian panggilan akrabnya, menanggapi bahwa merugi jika warga nahdliyyin tidak merekam kata-kata Pak Hasyim yang semuanya reflektif dan sarat kebijaksanaan.
Sedangkan Utomo Danandjaja, aktivis sekaligus penggagas Universitas Paramadina mengatakan bahwa ia kesulitan mencari hal yang buruk dari diri Kiai Tolhah Hasan. Lebih lanjut, Mas Tom, demikian dia akrab disapa, mengatakan bahwa langkah Pak Tolhah yang peduli terhadap pendidikan formal patut diperjuangkan oleh warga NU. ”Itu adalah cita-cita yang agung, cita-cita membebaskan manusia layaknya Paulo Freire,” tegasnya.
Solahuddin Wahid, adik kandung Gus Dur menyoroti lemahnya perhatian terhadap keberadaan perintah zakat. Selama ini menurutnya, potensi zakat ada di kisaran 10,8 trilun. Angka yang potensial bagi pemberdayaan manusia. Potensi ini tidak banyak dilirik orang. Selain itu, pengorganisasiannya pun masih buruk. ”Orang kaya di luar negeri itu menyumbangkan 50% dari kekayaannya untuk kesehatan, pendidikan, dll. Bukankah itu setara dengan yang dilakukan Sayyidina Abu Bakkar Shiddiq, Umar, Usman, dan Ali?,” tandas Kyai Solah yang dikenal sebagai pengusaha seraya menyebut presenter kondang Oprah Winfrey yang menyumbangkan 100 juta dollar untuk pemberdayaan manusia. Umat Islam sepertinya patut mencontoh zakatnya Oprah Winfrey, tambahnya. [Ufi]
Kyai Tolhah Hasan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar