Membawa Kekasih ke Surga
“Ukhty, aku punya harapan, kelak anak-anakku penggenggam dunia. Namun hati mereka tetap hanya milik Allah dan rasul-Nya, karena itu aku butuh seorang ustadzah yang membimbing anak-anak dan menjadikan rumahku sebagai madrasah peradaban. Apakah anty siap menjadi ustadzah di rumahku dan menjadi ibu dari anak-anakku kelak?”
Ini sepenggal ungkapan tatkala seoarang ikhwan mengkhitbah seorang akhwat.
Tatkala ingin menggenapkan sayapnya yang cuma sebelah agar bisa terbang.
Sekarang, saat kita sudah punya sayap yang lengkap, masihkah kita ingin mengajaknya terbang? Begitulah seharusnya. Kita harus konsisten dengan harapan besar tatkala menikahinya. Menggapai ridha Allah, mengantarkan dan membawanya terbang hingga di surga. Ya, kita harus membawanya. Ini bukti kesungguhan dan cinta kita pada bidadari hati kita itu.
Ini bukan romantisme. Tapi harapan. Ya, harapan. Harapan dan tekad kesungguhan setelah mengambil keputusan besar dalam hidup, menikah. Harapan untuk membawa orang-orang yang kita cintai hidup bersama di surga. Bersama, reuni di sana. Benar, setelah ikrar nikah kita ucapkan, kita punya harapan dan kewajiban, dan sebesar-besar harapan itu adalah menjadikan bidadari hati kita sebagai kekasih dunia akhirat. Tidak sebatas menjadikannya istri di dunia semata. Lebih dari itu, kita berharap akan menjadikannya bidadari tercantik di antara bidadari-bidadari surga, yang karenanya bidadari surga cemburu melihat istri kita.
Ini juga bukan romantisme. Tapi harapan. Tekad yang kuat. Tekad untuk mempersembahkan rumah indah di surga untuk istri dan keluarga kita. Dan sekarang kita harus mulai men'desain’ rumah kita itu. Rumah di surga. Ya, sekarang. Selagi kita masih diberi kesempatan beramal di muka bumi ini.
Qiyamul Lail Satu Pintunya
“Allah merahmati seorang suami yang bangun malam lalu menunaian shalat. Dia bangunkan istrinya, jika istrinya enggan, maka ia percikkan air ke wajahnya. Dan Allah merahmati seorang istri yang bangun malam untuk menunaikan shalat. Dia bangunkan suaminya dan apabila suaminya enggan, maka ia percikan air ke wajahnya.”
(H.R Abu Dawud, Nasa’i Ibnu Majah)
Ini bukan romantisme. Tapi, harapan. betapa indahnya jika hadits itu benar-benar kita amalkan. Ketika suami terbangun, ia bangunkan sang istri dengan mengatakan,
“Bidadariku, apakah engkau ingin tertinggal sementara aku ingin mengajakmu ke surga dengan qiyamullail ini. Bangun bidadariku, aku ingin engkau turus membersamaiku selamanya. Bersamaku, tidak hanya di dunia ini, tapi juga di sana, di negeri abadi itu. Bangun dinda, mari sholat.”
Atau sebaliknya, jika istri terbangun dia berkata,
“Kekasihku, tidakkah kau ingin membawaku ke surga dengan qiyamul lailmu. Bukankah engkau ingin menjadikanku sebagai bidadari dunia akhirat, bangun suamiku. Aku rindu bertemu denganmu di surga kelak.”
Ehm. Ini bukan romantisme saudaraku. Bukan. Sungguh, ini harapan. Indah. Bahagia.
Ini juga sebuah harapan. Tentang anak-anak kita kelak. Kita punya mimpi. Mimpi menjadikan mereka menjadi mutiara-mutiara hati yang kelak menggetarkan dunia. Bertebaran di berbagai belahan bumi dengan menggemakan takbir, tahmid, tasbih dan tahlil. Ya, itu artinya kita punya dua tanggungjawab besar; menjadikan istri sebagai bidadari; dan 'melahirkan' jundi-jundi penegak tauhid.
Sungguh, kita berharap dari rahim mulia istri kita terlahir pejuang-pejuang dakwah, yang karena sentuhan lembut tangan bidadari hati kita, mereka menjadi kuat dan kokoh. Dan rumah kita menjadi madrasah peradaban.
Ini bukan romatisme. Tapi harapan.
masnonowajak.blogspot.com
bukti kesungguhan cinta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar