Ajaran islam yang begitu sederhananya dizaman Rasulullah dulu, kemudian telah berubah menjadi ajaran yang rumit karena ulah para penerus Beliau yang telah berlomba-lomba menafsirkan ajaran Beliau itu dari berbagai sisi dan sudut yang terkecil sekalipun. Al Qur'an ditafsirkan, Hadist ditafsirkan, bahkan sampai ke kehidupan di Syurga dan Nerakapun ditafsirkan pula.
Tentang IMAN, ISLAM, dan IHSAN pun, yang sebenarnya lebih kepada sebuah sikap dari pada kata-kata dan kalimat-kalimat, malah dibahas dan ditafsirkan sampai menghasilkan ribuan halaman buku. Entah untuk apa maksud dari pembahasan itu. Barangkali tujuan awal dari penafsiran itu adalah untuk lebih menjelaskan hal tersebut kepada masyarakat awam dalam bentuk bahasa manusia. Tapi alih-alih bisa lebih memahamkan umat, malah hasilnya adalah kata-kata IMAN, ISLAM, dan IHSAN itu jadi seperti kehilangan RUH. Terkatakan tapi tak terlaksanakan. .. Karena memang tafsir pada hakekatnya adalah bentuk yang lebih mengarah kepada buah dari KELIARAN fikiran kita daripada buah dari kenyataan atau keadaan yang sebenarnya.
Sementara dizaman Rasulullah Al qur'an bukanlah ditafsirkan, tapi dijalankan dari titik yang PALING DASAR (laa ilaha illallah) sampai ketingkat yang lebih kompleks. Artinya Al Qur'an itu dijadikan Beliau sebagai TEROPONG untuk memandang berbagai bentuk perubahan yang sudah, sedang, dan akan terjadi selama masa kenabian Beliau, bahkan juga sampai menjangkau kealam Azali (akhirat). Lalu sikap dan tindakan Beliau dalam menghadapi perubahan demi perubahan itu mewujud membentuk perilaku (akhlak, peradaban) Beliau yang utuh, yang berkembang, yang sesuai dengan peruntukan detik, menit, jam, dan tahunannya satu persatu. Hal seperti inilah yang kemudian hari kita kenal sebagai Sunnah atau Al Hadist.
Nah..., kita saat ini seperti hidup dengan mewarisi ajaran-ajaran islam diberbagai bagian yang rumit-rumitnya saja. Kita malah seperti ketambahan tugas baru untuk mengurai benang kusut yang membelenggu ajaran islam itu. Kalaulah itu benar benang kusut yang akan kita urai, dengan sedikit kerja keras biasanya akan bisa juga kita urai. Akan tetapi kalau benang kusut itu adalah berupa gumpalan-gumpalan kusut pemikiran kita, ah..., itu alangkah sulitnya. Energi kita habis terserap dibuatnya. Sebab kalau kerumitan pemikiran itu dilawan dengan pemikiran pula, maka kerumitan yang barupun tercipta. Rumit berbuah rumit. Sehingga kitapun jadi lupa dengan tujuan kenapa kita ini diciptakan Allah kemuka bumi.
Padahal Allah menyatakan dengan sangat gamblang dan sederhana: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (liya'budun) ", (adz dzaarriaat 56). Sederhana sekali sebenarnya. Tapi akibat kerumitan tafsir-tafsir dan pemikiran-pemikiran yang kita serap dari satu pengajian kepengajian lain sepanjang masa, kita jadi terluput untuk menimba pengalaman Rasulullah dalam menjalankan makna MENYEMBAH kepada Allah itu sepanjang kehidupan Beliau. Maka jadilah bagi kebanyakan kita makna menyembah kepada Allah itu benar-benar dalam wujud MENYEMBAH secara harfiah, yaitu untuk kita selalu melakukan ibadah..., rukuk, sujud, tasbih, tahmid, tahlil, membaca dan menghafal al qur'an, mengaji, wirid, maksurat, berdo'a dan sebagainya. Ibadahnya para malaikat yang dulu sempat dibanggakan mereka dihadapan Allah saat mereka diperjumpakan Allah dengan Adam, yang kemudian malah dimentahkan oleh Allah. "Tidak cukup hanya ibadah seperti itu wahai para malaikat. Aku punya tugas lain yang hanya bisa diemban oleh ciptaanku yang sangat cerdas ini", Allah menegur malaikat saat malaikat coba-coba menghalangi kehendak Allah dalam menciptakan Adam.
Kalaulah kita sedikit lebih jeli membaca Al qur'an dan Al Hadist, kita dapat memaknai kata liya'budun itu menjadi sebuah sikap dan perilaku kita kepada Allah, yaitu:
Bersedia untuk mengabdi dan menghamba kepada Allah, dengan resiko kita pastilah rela pula untuk diberi tugas, diperintah-perintah dan dilarang-larang oleh Allah.
Tugas liya'budun macam apa?. Itu juga tugas sederhana sekali sebenarnya, yaitu:
1. Agar kita bersedia menjadi wakil Allah untuk memelihara tubuh kita dengan segala instrumennya agar fungsinya bisa berjalan sesuai dengan fitrah penciptaannya. Kita ditugaskan Allah untuk mewakili Allah memberi makan dan minum tubuh kita. Maka rahmatilah tubuh kita itu dengan memberinya makanan dan minuman yang halal dan baik.
Kita mewakili Allah untuk menjaga penglihatan, pendengaran, lidah, perut, kelamin, tangan, kaki, otak kita, dada kita, jantung, ginjal kita agar semua bisa berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah.
Otak kita yang disiapkan oleh Allah untuk menampung dan mengolah data-data kehidupan disekitar kita, lalu kita isi dengan berbagai ilmu pengetahuan yang akan memudahkan tubuh kita untuk menjalankan kehidupannya. Kita buat otak itu aktif menyerap setiap kejadian baik ataupun buruk yang bisa kita lihat, dengar, dan rasakan. Lalu kita wakili pula Allah untuk memilah pengetahuan baik dan buruk itu dengan cara kita merenungkannya sejenak dua jenak. Perenungan ini maknanya adalah untuk memilah-milahnya sebelum itu kita simpan didalam otak kita, sehingga kemudian dia bisa berubah menjadi sebuah bentuk kesadaran. Dan hebatnya, Allah berkenan pula menjawab perenungan kita itu dengan cara Dia mengalirkan rasa yang sesuai dan pas kedalam dada kita untuk masing-masing kebaikan dan keburukan itu.
Dengan kita merenungkan kebaikan buat sejenak dan kemudian kita melakukan kebaikan itu, maka sejumput rasa bahagia, nyaman, dan tenang akan dialirkan oleh Allah kedalam dada kita. Seakan akan Allah saat itu tengah berkata kepada kita: "Benar begitu wahai hamba-Ku, lakukanlah itu untuk-Ku, karena engkau adalah pesuruh-Ku". Sebaliknya saat kita merenungkan keburukan, berkata-kata tentang keburukan, dan bahkan sampai melakukan keburukan, maka seketika itu pula Allah akan melemparkan rasa sempit, tertekan, dan tersiksa kedalam dada kita. Saat itu Allah sebenarnya tengah melarang kita untuk melakukannya: "wahai hamba-Ku, janganlah engkau melakukan keburukan itu, sungguh itu akan menyiksa tubuhmu sendiri...".
Lalu, karena kita memang bersedia untuk menjadi wakil Allah, kita ikuti saja apa yang diperintahkan Allah itu. Kalau dilarang Allah, ya kita jauhi, kalau disuruh Allah, ya kita jalani saja dengan semangat empat lima.
Sesekali kita do'akan seluruh tubuh kita agar diberi rahmat, dijaga, disehatkan oleh Allah.
Nah..., kalaulah tidak kita sendiri yang menyayangi tubuh kita seperti itu, juga memintakan rahmat dan kesehatan kepada Allah untuk tubuh kita, siapa lagi...?. Masak orang lain yang akan melakukannya, ya nggak mungkinlah.
2. Tugas berikutnya adalah agar kita bersedia pula untuk membantu Allah, menjadi wakil Allah dalam mengalirkan kebaikan, kebajikan, dan kemudahan bagi apapun ciptaan Allah yang ada diluar tubuh kita. Tugas inipun sebenarnya hanya sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kita masing-masing saja. Tidak meloncat-loncat seperti sekarang ini. Dimana semua hal, yang dulu pernah dilakukan oleh Rasululah dan ribuan sahabat Beliau, ingin kita lakukan sendirian menjadi aktifitas kita sendiri. Akhirnya kita menjadi seperti orang yang sedang kelebihan beban dipundak kita. Kita tertatih-tatih dan limbung seperti orang mabok.
Sebenarnya tugas ini juga sederhana sekali. Kita tinggal melakukan apa saja yang sesuai dengan posisi kita masing-masing berikut dengan prioritas-prioritas nya. Kalau kita masih berposisi sebagai seorang anak sampai menjelang dewasa, maka kita berbuat baik saja sebanyak-banyaknya buat orang-orang yang paling dekat dengan kita. Kita tinggal berbuat baik kepada orang tua kita, saudara-saudara kita, dan teman-teman sepergaulan kita. Kita eksplorasi segala kebaikan yang mungkin bisa kita lakukan untuk mengembangkan dunia keanakan kita yang seharusnya penuh dengan citra kejenakaan, keriangan, dan kepolosan.
Kalau kita sedang berposisi sebagai seorang tua, maka kita kembangkan saja berbagai kebaikan, kebajikan, dan kemudahan untuk anak-anak kita, pasangan kita, tetangga kita, handai taulan kita, kolega kita, dan masyarakat disekitar kita dengan sebaik-baiknya. Salah satunya, ya seperti tulisan saya yang sebelumnya itu. Kita bersedia memberikan kemudahan bagi seorang pejalan kaki yang ingin menyebarangi jalan dengan nyaman. Dinegara maju seperti Amerika, Eropa, dan Jepang yang oleh sebagian kita masih dilabeli sebagai negara orang kafir, hal-hal seperti itu sudah menjadi sebuah kebaikan laten.
Begitu pula saat kita sedang diposisi anak buah dikantor atau diperusahaan, bos, atasan, manager, direktur, pejabat pemerintah, kita lakukan saja apa-apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita masing-masing dengan segala kemungkinan yang ada.
Misalnya, kita yang sedang mengemban tugas sebagai seorang pejabat pemerintahan, kita eksplorasi dan sempurnakan saja segala FASILITAS UMUM yang akan memudahkan masyarakat yang kita pimpin dalam menjalankan hidup kesehariannya. Kita ini sekaang kan nggak begitu. Saat jalan bolong dan berlobang bertebaran disana-sini, lampu lalin padam dan tidak berfungsi, banjir datang bertubi-tubi, kita yang seharusnya membenahi semua itu, seperti sedang pergi entah kemana. Kita lebih banyak sibuk dengan berbagai rapat dan kegiatan administratif saja, sehingga ada kesan bahwa negara ini jalan dengan sendirinya. Seperti negara tanpa pemerintahan. Ada atau tidak ada pemerintahan rasanya seperti sama saja. Padahal jumlah pejabat pemerintahan, lengkap dengan gedung-gedung megah, fasilitas yang wah, sudah meningkat dengan angka yang sangat menakjubkan.
Sungguh sangat banyak alternatif kebaikan, kebajikan, dan kemudahan yang bisa kita berikan kepada orang-orang disekitar kita. Tugas-tugas yang tidak harus sama dan persis amat dengan apa yang dulu dikerjakan oleh Rasulullah dan para sahabat Beliau.
Kebanyakan kita kan nggak begitu. Kita malah tega menjejali otak kita dengan hafalan tentang segala kebaikan yang dulu dikerjakan oleh Rasulullah dan para sahabat Beliau, dan ingin pula melakukannya sama dan sebangun dengan apa yang Beliau lakukan itu. Kalau keluar sedikit saja dari itu akan ada sebuah kata BERTUAH yang akan menghantam kita, yaitu kata BIDAH, yang ganjarannya adalah neraka. Kata yang menimbulkan ketakutan yang sangat kuat tertanam dialam bawah sadar kita. Artinya rasa takut itu sudah sangat laten bagi kita dan munculnya pun tanpa kita pikirkan lagi. Tanpa kita sadari kita telah menjadi takut untuk melakukan apa-apa. Neraka soalnya sebagai imbalannya. Sebuah imbalan yang alangkah menakutkan kita.
Ketakutan seperti ini persis dengan seseorang yang sejak dari masa kecilnya sering ditakuti-takuti oleh orang tuanya ketika orang tuanya ingin melarang anaknya melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh orang tuanya. Misalnya: "awas jangan lakukan itu, nanti ada bangkong..., tu ada bangkong". Selama tahunan sianak ditakuti-takuti seperti, sehingga didalam otaknya terbentuk sebuah kapalan memori yang mengakibatkan setiap sianak melihat bangkong, akan mucul rasa takutnya yang tidak beralasan.
"Jangan lakukan itu, nanti Tuhan marah..., Tuhan marah..., nanti masuk neraka..., neraka..., neraka.... Kalau kamu lakukan juga nanti kamu akan berteman dengan iblis..., mudah dihasut iblis..., sedang disesatkan oleh iblis.". Begitu terus kita ditakut-takuti disetiap pengajian ke pengajian dan bertahun-tahun pula lamanya. Sehingga akhirnya setiap nama Tuhan disebut, kita sudah ketakutan setengah mati. Begitu juga, kita sudah menggigil ketika nama neraka disebut-sebut.
Makanya ketika kita terlanjur melakukan sebuah keburukan, maka yang jadi sasaran adalah si iblis:
"Ah..., iblis telah menggoda saya, saya telah disesatkan oleh iblis..".
Padahal saat itu si iblis juga tengah terheran-heran:
"Belum digoda dan belum disesatkan pun kalian umat manusia telah terlebih dahulu melakukan sendiri keburukan itu dengan sukarela".
Walaupun dipengajian- pengajian kita seringkali pula diceritakan tentang kasih sayang Allah, tentang iman, tentang syurga, yang seharusnya bisa memunculkan rasa tenang, akan tetapi karena kualitas penyampaiannya tidak sampai menghasilkan rasa yakin didalam dada kita, rasa tenang itu tidak muncul. Rasa tenang itu seperti terbungkus oleh rasa takut yang kental. Inilah makna dari ayat Allah: "Faal amaha fujuraha wataqwaha... ". Bahwa pada dasarnya kefujuran itu lebih mudah kita dapatkan dari pada ketaqwaan. Ketakutan itu lebih mudah kita dapatkan dari ketenangan, kecuali bagi orang yang tahu posisinya dihadapan Tuhan.
Karena adanya rasa takut yang tidak berasalan seperti itu, kita yang tanpa sadar itu, kita bukannya menebar kebaikan, kebajikan, dan kemudahan bagi sesama, kita malah berbalik menebarkan kesusahan, kesulitan, ketakutan, kekhawatiran dan kesempitan kepada mereka seperti kata pameo: "kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah.. ". Ah..., kita ini meman sering terbalik-balik.
Belum lagi melihat apa yang telah kita lakukan terhadap alam disekitar kita, sungguh memiriskan hati. Bumi telah semakin renta akibat ulah kita sendiri.
Jadi makna liya'budun dalam tatanan kita sebagai seorang manusia hanya seperti itu saja yang saya pahami. Yaitu agar kita bisa menjadi wakil Allah atau hamba Allah untuk bisa disuruh-suruh Allah untuk bisa berbuat baik, untuk bisa merangkai kebajikan, dan untuk bisa memberikan kemudahan bagi tubuh kita sampai tubuh kita itu nanti kembali ke tanah (mati) disatu sisi. Juga untuk bisa berbuat baik, untuk bisa merangkai kebajikan, dan untuk bisa memberikan kemudahan dan kepada orang-orang lain yang ada disekitar kita disisi lainnya. Kalau bisa itu malah untuk bisa dimanfaatkan oleh umat manusia diseluruh dunia.
Lalu bagaimana makna liya'budun dalam tatanan kita dengan Allah?. Itu juga tidak kalah sederhananya.
Bahwa sebenarnya semua ibadah berupa penyembahan, penghormatan, persujudan kita kepada Allah adalah untuk memantapkan dan mematangkan positioning kita dihadapan Allah saja. Kemudian bermodalkan posisi itu, akan muncul kesadaran kita bahwa apapun yang kita lakukan untuk tubuh kita dan untuk makhluk yang ada disekitar kita, semata-mata adalah atas nama Allah. Sehingga muncul sebuah suasana tanpa pengakuan didalam diri kita: "Saya melakukannya karena Allah yang memerintahkannya kepada saya untuk dilaksananakan. Saya hanya sekedar seorang pelaksana perintah Allah saja...".
Kalau tidak atas nama Allah, maka yang muncul kemudian adalah kita dikuasai oleh fitrah ketubuhan kita tanpa ampun. Apa saja yang dinginkan oleh tubuh dan instrumen-instrumen nya akan kita lakukan secara membabi buta. Otak kita akan membawa kita untuk berfikir liar kesana kemari, suasana panas di dada kita akan berubah-ubah dengan sangat cepat, fitrah kelamin kita akan membawa kita menjadi orang yang sangat liar dengan lawan jenis kita yang tidak sah untuk kita apa-apakan, perut kita akan memaksa kita untuk kita isi dengan gunung, hutan, laut. Semua yang kita lakukan itu semata-mata adalah untuk kepentingan tubuh kita sendiri, dan secara sangat berlebih-lebihan pula. Akhirnya tugas kita untuk memberikan kebaikan, kebajikan, dan kemudahan bagi sesama akan terkubur dengan segera. Kita menjadi orang yang sangat egois. Ya..., seperti yang sering kita perlihatkan dijalan raya itulah.
Agar kita bisa terlepas dari cengkraman fitrah ketubuhan kita seperti itu, maka kita harus mencari tempat pegangan, tempat kita bergantung. Hasil akhirnya adalah agar kita bisa terlepas dan copot dari rongrongan ketubuhan kita. Sebagai gantinya kita terikat kuat dengan Allah. Lalu kita bertindak atas nama Allah untuk menjadi kusir atas tubuh kita dan segala apa yang melekat padanya. Untuk bisa seperti inilah fungsi ibadah-ibadah yang kita jalani dari waktu kewaktu yang menghasilkan tanda penyembahan dan kepatuhan kita kepada Allah.
Ibadah-ibadah yang harus kita lakukan itupun tidak banyak jumlahnya. Rasulullah telah mereduksi berbagai macam dan ragam ibadah penyembahan kepada "TUHAN" yang telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu menjadi hanya beberapa macam saja, yaitu SHALAT, DZAKAT, PUASA, dan HAJI. Dan itupun hanya untuk orang-orang yang sudah tidak punya masalah lagi tentang Allah.
Ibadah shalat, dzakat, puasa, dan haji itu hanyalah untuk orang yang sudah final dengan Allah, orang yang tidak punya lagi sedikitpun keraguan tantang Allah, orang yang kesadaran sudah tidak grambyanan lagi tentang Allah, orang yang tidak membahas lagi tentang Allah, orang yang tinggal hanya menghadap saja lagi kepada Allah. Untuk orang-orang yang sudah BERSYAHADAT kepada Allah dan Kerasulan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam dengan TEPAT saja sebenarnya. Sebab kalau posisi kita tidak tepat, maka yang akan kita dapatkan hanyalah rasa capek, lelah, haus, lapar, dan buang-buang harta dan tenaga saja sebenarnya. Tidak nyaman sama sekali.
Untuk mempertepat arah kita kepada Allah itu, dzikir-dzikir sederhana yang dicontohkan oleh Nabi pun cukup tersedia untuk kita lakukan.
Untuk ibadah-ibadah seperti ini, rasanya pantas Rasulullah melarang kita untuk melakukan hal-hal lain yang kita tambah-tambahi sendiri. Konteks BID'AH disini sungguh relevan sekali untuk kita cermati. Sudah dimudahkan Nabi kok kita malah ingin menambah dan mempersulit diri kita sendiri. Itu namanya kita kebablasan.
Sedangkan terhadap rukun-rukun iman seperti percaya kepada malaikat, kepada Nabi-nabi Allah, kepada kitab-kitab Allah, kepada hari akhir, dan kepada qadar baik & buruk, kita matangkan saja melalui berbagai pengalaman hidup yang kita lalui.
Sebagai penutup, tugas kita didunia ini, menurut pemahaman saya yang sederhana, adalah untuk mencapai posisi:
a. Dimana kita tentang Allah dan dengan Allah sudah final dan tuntas. Kita sudah tidak punya pertanyaan lagi, walau sedikitpun, tentang Allah.
b. Dimana kita dengan tubuh kita dan seluruh alat-alatnya juga sudah tuntas. Kita berhasil COPOT dari pengaruh ketubuhan kita itu secara membabi buta. Sebagai gantinya kita yang menjadi kusir atas tubuh kita berikut segala instrumennya.
c. Dimana hubungan kita dengan lingkungan sekitar kita juga sudah tuntas. Kita tinggal melakukan berbagai kebaikan, kebajikan, dan kemudahan bagi orang lain, untuk alam, tumbuhan, dan hewan yang hidup disekitar kita sesuai dengan kapasitas kita masing-masing.
Semua itu kita lakukan dalam kerangka sebagai pengabdian kita yang utuh kepada Allah. Karena kita memang hanya hamba Allah, Abdi Allah..., Abdullah...
islam .........sederhana saja :)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar