Membaca Kematian
Aku keduten lagi di alis mata kanan. Waktu aku lapor adikku,
dia bilang ‘jangan,ah’
Tapi memang terjadi lagi. Seminggu lalu saat aku juga keduten alis mata
kanan, Aris teman sekelasku di Kampus meninggal dunia di Australia, pamanku pak
Agus Salim meninggal dunia saat masuk ke kamar mandi di rumahnya. Kemarin Sabtu
malam sebuah sms masuk, pak Bupati Tafta Zani wafat di Batam.
Kematian selalu mengejutkan. Apalagi jika tak ada kabar
tentang sakit sebelumnya.
Yang lebih mengejutkan adalah masih adanya harapan dalam
diri kita untuk bertemu lagi dengan yang meninggal itu. Kupikir setelah
kelulusan kami tahun 1999 lalu, aku masih akan bertemu Aris lagi entah dalam
reuni atau apa. Tapi nyatanya aku hanya bisa ketemu dia dalam mimpi di akhir
2011, yang ternyata ketika itulah ia
koma sampai ajal menjemputnya Maret 2012 ini. Kematiannya menjadi pukulan yang
menghantam hatiku. Dia teman biasa saja, tetapi senyumnya, tawanya,
becandaannya, perhatiannya, kebaikannya, ketulusannya, entah mengapa tak bisa
luntur begitu saja dari benakku. Dan aku tak sendiri, teman –temannya juga
mengakui hal ini. Rasa kehilangan ini melumpuhkanku untuk beberapa saat. Kebaikan,
adalah yang membuatnya menjadi sangat berharga . Yang mengalirkan airmata dengan
sendirinya mengalir bersama upaya untuk
ikhlas atas kepergiannya.
Lagi –lagi kebaikan dan amal sholih yang menjadikan
seseorang tercatat dalam hati. Orang baik dan tidak baik memang bisa dilihat
dari kematiannya. Paklik Salim, paman yang juga dekat sekali dengan ayahku,
wafat dengan sangat mudahnya. Sesak nafas, sesaat masuk kamar mandi, langsung
tertelungkup dan meninggal dunia di hari Jumat. Kontribusinya mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan dan rumah sakit Islam di kota kami tak terbantahkan.
Karenanya banyak yang berterima kasih dan hadir dalam pemakamannya. Mendoakannya.
Memintakan ampun untuknya.
Pak Tafta Zani, bupati kami adalah salah satu sahabat
(almarhum) ayah yang masih ingin kusambung lagi tali silaturahimnya suatu saat
ketika aku sempat, beliau sempat. Mungkin saat tak lagi menjabat lagi nantinya sebagai
bupati, saat pension, akan menjadi waktu
yang pas menurutku kala itu. Aku sempat membawa anakku berjabat tangan khusus
dengannya seusai sholat idul Adha tahun lalu. Kuingin anak lelakiku itu belajar
darinya, seorang pemimpin amanah yang rendah hati, tetap tawadlu dan andap
asor. Tetapi Tuhan memilihnya berpulang, justru bertemu lagi dengan ayahku dan bukannya
aku dan anakku.
Tangisku tak bisa lagi kutahan, bercucuran membasahi wajah,
jilbab dan bajuku saat membaca yasin dan tahlil untuknya di dalam rumah beliau.
Kepergiannya terasa terlalu cepat. Kami masih membutuhkan kehadiran dan
kiprahnya. Tapi siapalah kita. Tuhan tahu yang terbaik bagi hambaNya.
Semua tertunduk, luruh dalam tangis dan kehilangan. Terasa sekali
bahwa beliau pemimpin yang dicintai rakyatnya. Kebaikannya, keramahannya,
kebersahajaannya, kiprah dan kontribusinya, amal sholehnya, tawadlunya menjadi
kenangan yang terpatri dalam lubuk jiwa kami. Karenanya, dia tak pernah pergi,
dia selalu ada dan hidup selamanya di sanubari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar