Aceh, Demak dan Diri. Antara Syariat dan Hikayat
Membaca ‘ Pulang Melawan Lupa’
Aku langsung marah di helai pertama. Bedebah! Laki-laki
memang bangs*t. Membaca luka adalah seperti mengingat luka itu sendiri. Eufemisme,
penghalusan istilah dalam puisi-puisi mbak Zu bahkan semakin menegaskan
lukanya, luka yang ingin dilupakan tadinya. Tapi kesadaran membawanya kembali
pulang, melawan lupa.
Buku puisi setebal xix+130 halaman ini mengantarku merasa
dan melihat yang terjadi di Aceh. Yang karena kepahitan , kegetiran, lukanya
membawa mereka yang trauma (mungkin) menginginkan lupa. Namun seorang Zubaidah Djohar (mbak Zu)
menginginkannya tidak.
Kegeraman demi kegeraman kurasakan saat semakin dalam membaca puisi
–puisi ini. Ia seolah cermin. Bayangan yang
sama dalam beberapa hal terjadi juga di sini, di Demak. Ada kesenjangan antara
syariat dan kenyataan. Dan kukira juga
di Indonesia pada umumnya. Mengapa justru mereka yang fahamlah yang melanggar.
Bersembunyi di balik kitab suci untuk perbuatan yang sama sekali tidak suci.
Mengapa? Ini pula yang selalu menjadi pertanyaan dalam diri. Apa sebenarnya
yang menghalangi untuk mengaplikasikan apa yang dibaca dan diketahui? Kenapa
justru bersembunyi di balik topeng kesucian? Kenapa?
Luka tak untuk dikubur untuk menganggapnya tak pernah ada.
Justru dikerangka untuk dijadikan pelajaran. Agar tak terulang lagi luka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar