Kunjungan 1/
Dia tidak ingat apakah dulu sekali pernah berkunjung ke rumah ini. Mungkin sekali pernah karena ayahnya dulu berteman dengan seorang ayah juga yang empunya rumah. Berita duka tentang seorang ayah ini hampir membuatnya berkunjung dan memasuki rumah itu, tapi urung ia lakukan karena ada banyak sekali pertimbangan – pertimbangan yang entah. Dia memang tak lagi punya banyak hubungan dengan teman-teman dan sahabat-sahabat ayahnya.
Ketika berita duka kembali datang dan kali ini berkenaan dengan sang ibu, istri mendiang seorang ayah yang teman ayahnya itu, kakinya melangkah ke sana, akhirnya. Menganulir segala rasa dan prasangka terhadap dirinya sendiri. Putra putri dalam rumah ini adalah teman, senior, yuniornya di sekolah dan kampusnya dulu. Sudah semestinya dia juga datang untuk mereka selain datang mewakili ibunya sendiri dan rasa persahabatan yang diwariskan dari almarhum ayahnya sendiri.
Kematian kadang serasa jauh meski dia berada di hadapan seseorang yang telah mengalaminyai. Sebab terbesarnya mungkin adalah rasa seolah –olah masih akan hidup lebih lama. Dengan harapan-harapan yang meski entah tetapi sering menelusup, menjarah kesadaran. Tapi dia melihat wajah teduh itu, senyuman yang terukir di sana. Mungkin itu juga penyebabnya, seseorang bisa jadi hidup selamanya dan tidak bisa dikatakan mati. Karena cintanya masih dan selalu hidup dalam sanubari putra-putrinya yang tabah. Yang tersenyum menyambut tamu-tamu yang datang. Yang tak bisa dibaca arti senyumnya, termasuk oleh dia yang datang setelah menganulir seluruh prasangka terhadap dirinya dan takdir. Sama tak terbacanya seperti takdir yang penuh misteri.
Kunjungan 2/
Seperti penyakit menular, kematian kembali menyapa seorang ibu lainnya. Dia datang bersama kenangan. Dia pernah ke rumah ini sepuluh tahun lalu. Ketika sebuah telpon dari rumahnya sendiri mengabarkan ada seseorang yang datang dan menunggunya, sehingga dia bergegas pulang. Lalu peristiwa sore gerimis di masjid itu menjadi salah satu kenangannya.
Enam tahun setelah itu, dia berstatus sama dengan seorang ibu ini, yang berpulang setelah tiga puluh tahun sebelumnya suaminya juga berpulang. Kegigihan sebagai single parent, kesetiaan sampai akhir hayat, dan kebaikan seorang ibu ini terhadap dirinya adalah yang memicu derasnya air mata yang kemudian mengalir. Kematian yang tadinya terasa masih jauh, tiba-tiba terasa dekat. Hanya setapak tangan jarak dirinya beserta kedua anaknya dengan keranda yang membawa seorang ibu ini. Yang meninggalkan dua anak juga. Beserta seluruh kenangannya. Termasuk kenangan yang dia simpan, doa-doa dan dukungan padanya. Setelah empat tahun dia lalui status serupa, ibu itu selalu membisikkan doa di telinganya. Antara harapan agar tegar meski tetap sendiri sepertinya dan doa yang terbaik apa saja bentuknya , meski mungkin itu artinya ada status baru.
Ketika bersama satu fatihah, satu langkah ke depan diambil oleh para pengusung keranda, ada yang lolos dari hatinya. Remuk redam. Dia juga akan mengalami hal yang sama. Dia juga akan pergi kembali ke bumi. Kematian serasa dekat . Selangkah lagi terseret bersama satu fatihah, dia semakin tergugu. Pilu. Betapa Tuhan suka bercanda. Kehidupan ini, kematian ini. Secepat kilat ditebasnya pemikiran untuk menggugat atau mencibiri Tuhan atas candaNya yang membuatnya masygul sekejap. Sekali lagi fatihah terluncur dengan suara yang perlahan menghilang karena serak dan retak, langkah para pengusung tak lagi tersendat. Keranda itu semakin jauh, jauh. Namun bayangan kematian itu semakin dekat, dekat. Dia hanya menunggu antrian saja. Sekarang, apa yang terbaik yang harus dia lakukan selagi antrian itu belum tiba, itulah yang menjadi concern-nya.
Dia tidak ingat apakah dulu sekali pernah berkunjung ke rumah ini. Mungkin sekali pernah karena ayahnya dulu berteman dengan seorang ayah juga yang empunya rumah. Berita duka tentang seorang ayah ini hampir membuatnya berkunjung dan memasuki rumah itu, tapi urung ia lakukan karena ada banyak sekali pertimbangan – pertimbangan yang entah. Dia memang tak lagi punya banyak hubungan dengan teman-teman dan sahabat-sahabat ayahnya.
Ketika berita duka kembali datang dan kali ini berkenaan dengan sang ibu, istri mendiang seorang ayah yang teman ayahnya itu, kakinya melangkah ke sana, akhirnya. Menganulir segala rasa dan prasangka terhadap dirinya sendiri. Putra putri dalam rumah ini adalah teman, senior, yuniornya di sekolah dan kampusnya dulu. Sudah semestinya dia juga datang untuk mereka selain datang mewakili ibunya sendiri dan rasa persahabatan yang diwariskan dari almarhum ayahnya sendiri.
Kematian kadang serasa jauh meski dia berada di hadapan seseorang yang telah mengalaminyai. Sebab terbesarnya mungkin adalah rasa seolah –olah masih akan hidup lebih lama. Dengan harapan-harapan yang meski entah tetapi sering menelusup, menjarah kesadaran. Tapi dia melihat wajah teduh itu, senyuman yang terukir di sana. Mungkin itu juga penyebabnya, seseorang bisa jadi hidup selamanya dan tidak bisa dikatakan mati. Karena cintanya masih dan selalu hidup dalam sanubari putra-putrinya yang tabah. Yang tersenyum menyambut tamu-tamu yang datang. Yang tak bisa dibaca arti senyumnya, termasuk oleh dia yang datang setelah menganulir seluruh prasangka terhadap dirinya dan takdir. Sama tak terbacanya seperti takdir yang penuh misteri.
Kunjungan 2/
Seperti penyakit menular, kematian kembali menyapa seorang ibu lainnya. Dia datang bersama kenangan. Dia pernah ke rumah ini sepuluh tahun lalu. Ketika sebuah telpon dari rumahnya sendiri mengabarkan ada seseorang yang datang dan menunggunya, sehingga dia bergegas pulang. Lalu peristiwa sore gerimis di masjid itu menjadi salah satu kenangannya.
Enam tahun setelah itu, dia berstatus sama dengan seorang ibu ini, yang berpulang setelah tiga puluh tahun sebelumnya suaminya juga berpulang. Kegigihan sebagai single parent, kesetiaan sampai akhir hayat, dan kebaikan seorang ibu ini terhadap dirinya adalah yang memicu derasnya air mata yang kemudian mengalir. Kematian yang tadinya terasa masih jauh, tiba-tiba terasa dekat. Hanya setapak tangan jarak dirinya beserta kedua anaknya dengan keranda yang membawa seorang ibu ini. Yang meninggalkan dua anak juga. Beserta seluruh kenangannya. Termasuk kenangan yang dia simpan, doa-doa dan dukungan padanya. Setelah empat tahun dia lalui status serupa, ibu itu selalu membisikkan doa di telinganya. Antara harapan agar tegar meski tetap sendiri sepertinya dan doa yang terbaik apa saja bentuknya , meski mungkin itu artinya ada status baru.
Ketika bersama satu fatihah, satu langkah ke depan diambil oleh para pengusung keranda, ada yang lolos dari hatinya. Remuk redam. Dia juga akan mengalami hal yang sama. Dia juga akan pergi kembali ke bumi. Kematian serasa dekat . Selangkah lagi terseret bersama satu fatihah, dia semakin tergugu. Pilu. Betapa Tuhan suka bercanda. Kehidupan ini, kematian ini. Secepat kilat ditebasnya pemikiran untuk menggugat atau mencibiri Tuhan atas candaNya yang membuatnya masygul sekejap. Sekali lagi fatihah terluncur dengan suara yang perlahan menghilang karena serak dan retak, langkah para pengusung tak lagi tersendat. Keranda itu semakin jauh, jauh. Namun bayangan kematian itu semakin dekat, dekat. Dia hanya menunggu antrian saja. Sekarang, apa yang terbaik yang harus dia lakukan selagi antrian itu belum tiba, itulah yang menjadi concern-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar