Ketika melewati Malioboro kali ini, sensasi yang
dirasakannya tidak seperti waktu dulu dia pernah beberapa kali menikmatinya. Ada
apa, pikirnya.
Meski begitu Jogja masih se-eksotis yang dia kenal dan
rasai. Persinggungannya beberapa kali
dengan kota ini dalam misi jalan-jalan , budaya ataupun intelektual,
masih menempatkannya sebagai salah satu kota yang sulit untuk tidak
dijatuhcintai.
Seperti sama sulitnya untuk tidak jatuh cinta dengan seorang
legenda yang ditemuinya hari ini. Bapak Ahmad Tohari penulis Ronggeng Dukuh
Paruk. Betapa beruntungnya dia karena sempat secara personal duduk bersama,
berbincang dan bapak berkenan membuka serta membaca sekilas salah satu buku
perempuan itu. Serta membahasnya dengan antusiasme yang tidak dia perkirakan
sebelumnya.
“ah, kamu bahkan sudah melampaui saya dalam hal ini. Belakangan
ini saya baru mulai. Dan ini benar. Bahwa semua yang ada di sekitar kita ini,
benda-benda ini, materi ini, yang kita lihat, sentuh, semuanya hanyalah maya. “
kata bapak sambil menyentuh benda –benda di sekitarnya. Dia, perempuan yang
terkesima dengan uraian-uraian selanjutnya dari sang bapak, semakin jatuh cinta
saja pada bapak yang satu ini. Dan cintanya semakin jatuh ketika bapak berkata,
“saya punya pesan khusus untuk kamu. Jaga dan terus pertahankan
eksistensialisme-mu”
Jleb!
Ketika bapak berbicara di depan audience mengisi acara
workshop hari itu, si perempuan kembali terkesima karena bapak kembali menotice
dirinya (bahkan menyebut kotanya..ehm..) di sela –sela uraian sang bapak.
IQRO’ BISMI ROBBIK
Berikut secara lengkap uraian bapak yang ditulis kembali
olehnya dengan bahasanya sendiri:
Satu tujuan saya menulis Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) adalah melahirkan.
Karena saya sudah hamil selama lima belas tahun.
Semua berawal di tahun 1964, ketika saya duduk di kelas 2
SMA. Hobi memburu burung membawa saya pada salah satu dataran agak tinggi. Yang
suatu ketika, saya menyaksikan seorang perempuan tanpa busana sedang mandi di
pancuran di bawah beringin.
Bayangan perempuan yang seorang ronggeng, istri simpanan
seorang pejabat itu, terus menggelayut di kepala saya. Sehingga imajinasi saya
liar ke mana-mana. Tahun 1965, perempuan yang saya gandrungi itu ditangkap dan
ditahan. Ada gejolak luar biasa dalam diri saya karena tak mungkin seorang
ronggeng bersinggungan dengan dunia politik. Bersamaan dengan itu, saya melihat
secara langsung pembunuhan –pembunuhan yang dilakukan bangsa ini terhadap sesame
saudara sebangsa sendiri. Rasa kemanusiaan saya bangkit, saya marah. Bullshit. Sejak
itu saya kehilangan rasa hormat terhadap bangsa ini. Bangsa yang telah
kehilangan rasa sopan dan kemanusiaan.
Selama bertahun-tahun saya menunggu. Tetapi para penulis
senior seperti Gunawan Muhammad, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar dll. Tidak ada
yang menulis tentang peristiwa 1965 ini. Hanya ada satu cerpen tulisan Romo
Mangun. Sampai tahun 1980, saya tunggu masih belum ada juga yang menuliskannya.
Beratus wartawan dan puluhan penulis ini berhutang pada bangsa ini jika sampai
tidak ada yang menuliskan dan mencatat peristiwa tersebut. Saya akhirnya
menulis RDP yang semula saya rencanakan sebagai roman picisan menjadi sebuah
novel yang penuh emosi dan pemberontakan. Novel RDP ini adalah novel penderitaan
kita semua.
Saat itu saya menjadi redaktur di Jakarta. Ketika sampai
halaman 80 dari novel tersebut, saya sadar novel ini tidak bisa dikerjakan
sebagai sambilan. Sehingga kemudian saya mengundurkan diri dan mengerjakan
novel ini selama tiga tahun. Alhamdulillah saat ini novel ini sudah berusia 31
tahun dan berkali –kali dicetak ulang. Mengentaskan kelima anak saya menjadi
sarjana. Tiga di antaranya jadi doctor, satu dari Hokaido, satu dari Florida.
Saya terpaksa mengalah ketika pertama kali diterbitkan , 40
halaman pertama dari buku ketiga (trilogi RDP) ini dipotong karena situasi
politik saat itu. Tantangan dan masalah lain datang dari dua kubu. Yang pertama,
dari orang-orang muslim. Mereka menyayangkan saya yang lahir di bawah kubah
masjid kampong dan notabene anak kyai kampong, kenapa menulis tentang ronggeng.
Saya jawab, kita ini dilahirkan untuk
membaca alam semesta. Lahuu maa fissamawati wa maa fil ardhi. Dan ronggeng itu
termasuk lahu maa fil ardhi, jadi wajib dibaca.
Sastro kang gumelar ini baik dan buruk harus dibaca, hanya
saja harus dengan kondisi membaca atas nama tuhan (iqro bismi robbik). Kalau pembacaan
kita lepas dari kondisi ini, tentu saja akan menjadi liar. Kalau pembacaannya
dengan atas nama Tuhan, kita jadi menggunakan akal untuk memikirkan penciptaan.
Kalau membaca dengan dan atas nama Tuhan, maka kita akan
sangat diperkaya. Sehingga kemudian hamil dan akhirnya melahirkan tulisan –tulisan
yang bermakna.
Gugatan yang kedua datang dari militer. Jadi mereka tetap
teriak padahal saya sudah bungkus RDP itu dengan kisah ronggeng yang asyik
masyuk. Dan juga profesi Rasus sebagai tentara, untuk melunakkan hati militer. Tetap
saja militer marah. Namun Alhamdulillah saat ini semuanya baik, bahkan saya
berterima kasih karena mereka meloloskan adegan –adegan peristiwa 1965 dalam
film RDP ini.
(Bapak berkali –kali mengusap air mata dan tampak emosional
ketika menyampaikan uraiannya)
Pesan untuk para penulis yang hadir dalam workshop:
Libatkan emosi saat menulis. Dengan cara membawa otak kita
dalam kesadaran yang dalam. Rasakan bahwa
semua kehadiran di alam ini terencana. Daun yang jatuh itu juga terencana. Ketika
dalam kesadaran seperti itu, emosi kita terlibat sehingga aura-aura itu terasa
dalam tulisan kita. Dengan begitu kita bertasbih, mensucikan penciptanya. Yang jika
dilakukan dengan ikhlas, akan menggetarkan pembacanya. Ada sesuatu yang
mengikat pembaca karena kesadaran yang dalam.
Untuk mencapai itu, kita harus punya kepekaan social,
kepekaan alam dan kepekaan kosmis. Anak muda dan orang jaman sekarang terlalu
banyak tersedot perhatiannya kepada informasi yang telah dikapitalisasi. Termasuk
yang terjadi baru-baru ini. 30 orang termasuk Bupati berduyun datang ke stasiun
TV di Jakarta untuk mendukung salah
seorang warganya yang menjadi finalis Idol. Padahal semua semestinya tahu bahwa
ini adalah rekayasa pengusaha pulsa, kepentingan kapitalisme. Banyak orang sekarang ini terpukau pada
artifisial dan tidak memperhatikan yang hakiki.
Penulis punya SIM untuk menulis tentang apapun, selama bisa
mempertanggungjawabkan tulisannya dan tidak menyebabkan dekadensi. Saya juga
menulis tentang gowok dan bukak klambu, karena tidak mungkin menulis tentang
ronggeng tanpa menuliskan kedua prosesi ini. Tetapi semata saya menulisnya
secara jujur, dan bukan untuk dekadensi. Karena penulis bertanggung jawab untuk
mempertinggi keadaban.
Sekali lagi bapak menekankan untuk iqro’ bismi robbik. Dengan
kerendah hatian, idealisme dan caranya berbagi, sulit untuk tidak jatuh cinta
pada bapak ini.
Sama sulitnya untuk tidak jatuh cinta pada sebuah senyum
yang terus terukir pada sebuah wajah yang sore itu mengantarnya pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar