BERSAMA HUJAN
hujan
larutkan candu
tidurkan aku
karena terjaga
tanpanya
gigil jiwa
hujan
larung racun
bangunkan aku
dalam bening
Membenci Rindu,
puisiku yang menggelorakan suara hati. Betapa hujan dan rindu seringkali
sedemikian mengganggu. Karena aku merindunya yang tak lagi di sisi. Tak bisa
berbuat apapun karena kini kami di alam yang berbeda, tak ada kendaraan kecuali
doa.
Aku masih perjalanan dari kondangan di luar kota , sekitar satu jam perjalanan dari rumah
kami, ketika ibu menelponku mengabarkan kalau ada mas Faisal datang. Agak lama
juga dia menunggu aku, sekitar 45 menit. Ketika aku sampai di rumah, mas Faisal
sedang berada di masjid Agung Demak untuk sholat. Motor satria yang dipakainya
diparkir didepan rumah.
Hujan sedemikian derasnya sehingga aku berinisiatif untuk membawakan dia
payung. Namun keraguan menyelimuttiku bersama titik-titik air yang semakin
lebat. Aku tidak begitu mengenali wajahnya dan masjid sangat luas, bagaimana
cara mencarinya.
Dulu sekali aku pernah melihatnya. Cuma punggungnya saja. Bertemu lagi,
aku cuma melihat ujung celana bluejeans-nya yang robek-robek. Aku berjalan
berpayung mengitari halaman masjid. Dan inilah view versi mas Faisal yang diceritakannya
padaku beberapa tahun setelah pernikahan.
“ Kulihat seorang gadis berpayung memakai setelan hijau, mondar mandir
berjalan ke selatan utara barat timur mengelilingi masjid di bawah hujan lebat.
Inikah gadis yang dimaksud ibu ku ?’. Serasa film India deh J
Aku akhirnya mendekat ke teras masjid, mengamati satu persatu orang
disana dan terlihat seorang pemuda yang tidur (menurut dia hanya pura – pura
tidur setelah melihat aku mendekat) dan kemudian (pura-pura) bangun.
“Permisi, apakah Anda mas Faisal?”
tanyaku ragu.
“Betul. Aku sholat dulu ya” jawabnya.
Aku melihatnya bengong. Jam berapa ini? Hampir jam lima sore!
Walah! Putra kyai tapi juga suka menunda – nunda sholat. Penilaian burukku bertambah setelah pada kesempatan
pertama aku melihatnya tadi benar-benar tidak menaruh hati. Sudah wajahnya
kucel, kelihatan belum mandi, celana butut lubang – lubang dan rambutnya
alamaaaak gondrong tidak karuan. Tidak rapi sama sekali. Tapi aku menahan diri
untuk tidak mencemooh dan meledek karena dia adalah putra kyai dan aku harus
menghargai upayanya untuk datang dalam taaruf yang bahkan tidak aku bayangkan
beberapa bulan terakhir ini.
“Silahkan,
payungnya” ujarku.
Setelah
dia sholat, aku menyerahkan satu payung padanya.Dan dengan payung yang lain, aku
berjalan di belakangnya.
“Terimakasih”
jawabnya pendek.
Dengan
lagak gentlenya sebagai pria yang seolah tidak takut hujan sama sekali, dia
bahkan tidak membuka payung itu. Hanya memegang payung di tangannya dan membiarkan dirinya
kehujanan. Ah ya….berusaha tampak seperti seorang jagoan. Aku tersenyum geli
dalam hati. Hmm…
Peristiwa Payung cinta ini kami ulangi enam tahun berikutnya, setelah pernikahan kami.
Suatu Jum’at siang setelah jum’atan seperti biasa dia ziarah ke makam abah
Shomad.
Dan karena hujan turun deras sekali. Aku menjemput dia dengan membawa
payung
“kenapa payungnya
cuma satu ?” Tanya dia
“karena kita kan sekarang boleh satu
payung berdua” jawabku. Dan dia dengan canda khasnya memberiku pelukan dan
kecupan sayang.
----
Sampai
saat ini jika hujan turun deras. Selalu ada rasa ingin membawakan payung cinta
untuk seseorang.
Sudah menjadi tradisi dalam keluarga kami bahwa
perjodohanlah yang dipilih sebagai media mempertemukan anak-anak mereka menuju
gerbang pernikahan. Demikian jugalah diriku. Dan karena telah menjadi tradisi,
aku sudah terbiasa dengan pertemuan-pertemuan yang diatur orangtua bagi calon
pasangan.
Lalu di sore yang mendung dan dingin itu, si mas datang..
Ibunya memaksanya untuk silaturrahim ke rumahku. Karena katanya, siapa tahu aku
jodohnya. Rupanya si mas ini juga jumpalitan mencari jodoh. Banyak calon
disodorkan, tidak ada yang pas di hatinya.
Bahkan ketika ibunya dan kakaknya melamarkan seorang
perempuan untuknya dengan paksa, dengan harapan si mas ini mau terpaksa
menikah. Ternyata malah lamaran itu dibatalkan oleh si mas, meski itu berarti
malu yang besar untuk keluarga
Memasuki rumahku setelah beriringan dari masjid-, ternyata mas Faisal
orang yang cukup cepat membangun suasana akrab.
“Foto abahmu ya?” tanyaku pada mas Faisal yang sedang
membuka dompetnya.
Dia menyerahkan foto ayahnya kepadaku dan membuatku
terhenyak. Masih ada pemuda jaman sekarang yang menyimpan foto ayahnya di dalam
dompetnya. Wow. Wonderful. Takjub juga .Pertemuan kami yang pertama ini dalam
kerangka ta’aruf ternyata mempertemukan kesamaan – kesamaan kami.
“Aku juga senang jalan-jalan” kataku ketika mas Faisal
bercerita kalau tiap sebulan sekali setidaknya ia traveling dengan kendaraan
roda dua keluar kota .
“Karena dengan berjalan-jalan, kita mendapatkan
pengalaman, ilmu dan juga sahabat-sahabat baru. Silaturahim ke sahabat-sahabat
lama” tutur mas Faisal.
Satu lagi nilai plus dia. Persahabatan agaknya membentuk
si mas ini menjadi sosok yang lembut, penyayang dan pengertian. Hmmm….
“Para habib juga senang
sekali melakukan perjalanan” lanjutnya.
“Besok hari Ahad akan ada Habib dari Hadromaut Yaman yang
mengadakan safari dakwah di Indonesia, juga Semarang” kemudian dia bercerita
mengenai guru-gurunya yang habaib. Satu lagi kesamaan, pikirku.
Aku juga sedang getol dan sedang tertarik mengenai
tasawuf dan ilmu –ilmu hakikat yang banyak diperkenalkan oleh habaib di Indonesia .
Sebuah pendekatan untuk mencapai kualitas mukmin sejati yang ingin dekat dan
dicintai Tuhannya.
Kesamaan dan chemistry yang kami peroleh di session
ta’aruf yang pertama ini akhirnya berlanjut kunjungan – kunjungan si mas berikutnya ke rumahku. Dan setiap malam
minggu dia datang dan mengetuk pintu. Aku sudah tersenyum-senyum dari dalam
rumah sambil berbisik pada adikku yang mencandaiku…
“Hmmm…John Scadaku datang…” kataku sambil ditimpuk adikku
yang senang melihat kakaknya mungkin akan segera menikah.
Pertemuan
–pertemuan berikutnya semakin cair dan akrab. Meski demikian aku tetap beristikhoroh.
Dalam mimpiku, aku berjalan melalui sungai, melalui bukit dan memasuki gua. Aku
menemukan istana dengan pilar – pilar besar. Orang – orang tampak duduk
bersimpuh membaca alquran yang diletakkan di rekal – rekal. Dan kulihat cahaya
bersinar terang dalam istana itu.aku takjub melihatnya dan merasakan ketenangan
luar biasa.
Mimpi setelah
istikharah inilah yang memantapkan aku untuk menerima pinangan dia. Seorang
pangeran impian. Kata-kata yang tepat untuk menggambarkan dia mungkin
adalah ramah, humoris dan tulus. Belakangan
kemudian juga terbukti dia sebagaimana tergambar dalam Alquran : Yunfiquuna
fissarrai wa dharai; Walkadziminal ghaido; Walaafina aninnas. Dermawan, sabar,
pemaaf……………
Lima tahun sudah
dia meninggalkan aku dan kedua anak kami. Kecelakaan di tol merenggut nyawa
kekasihku. Aku sudah tak lagi menangis seperti dulu. Saatnya kehidupan terus
berlanjut dengan harapan-harapan dan hujan rahmat.
Tuhan
Bersama hujan kukirim doa
Kurangkai harapan
Karuniakan kebaikan kiranya
Bagi putra putri kami
Juga aku dan kehidupan baru ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar