Esa-Mu Tuhan
Astaghfirullah.
Astaghfirullah.
Allah Allah..
Aku tak henti
hentinya merapal lafal lafal thoyyibah. Pandanganku
kabur, tampak samar suamiku yang berdiri di sebelah bed tempatku berbaring
lemah.
“Sakit, nok?”
tanya kak Aris dengan suara yang bergetar.
Kupaksakan
sedikit mataku untuk melihatnya lebih jelas. Astaghfirullah.
Kulihat sebagian
bagian depan dan lengan bajunya terdapat percikan darah.
“Mas……….” lemah
suaraku dan bergetar bersama degup jantungku yang tak teratur serta perih
terasa di sekujur tubuh dan juga wajahku. Kak Aris meraih kepalaku dan
mendekatkan tubuhnya merapat kepadaku, tetapi hampir urung ketika menyadari
percikan darah di bajunya akan mengenaiku. Karena aku toh sudah berdarah –darah
juga, ia melanjutkan pelukannya. Dan tangis kami membuncah di malam yang terasa
menggigit menyeramkan.
“Katanya sih
orangtua pintar yang disebut sebut Tante Irin bisa membaca masa depan kita”
mama menyiapkan beberapa bungkus gula pasir dan teh, memasukkannya ke dalam
kardus sedang.
Aku dan kak Aris
saling berpandangan. Agak janggal mendengar keterangan ibu. Hmmm….apakah ini
legal, apakah ini syar’I, apakah ini benar? Begitu yang bergulat dalam
pikiranku. Mungkin kak Aris sepaham denganku dalam hal ini.
“Tante Irin
sukses sekarang. Bisnisnya lancar dan mbah orang tua pintar ini yang
memberitahukan jalan kesuksesan tantemu” mama melanjutkan ceritanya.
“Kalian kan
kayaknya belum ketemu jalur rel karir dan usahanya. Daripada ngalor ngidul,
tidak ada salahnya kita tanyakan hal ini sama mbah orang tua pintar itu” mama
terus membujukku dan Kak Aris. Kami akhirnya menurut mama dan malam itu bersama
beberapa saudara lain yang memiliki tujuan serupa berkendara mobil menuju rumah
orangtua pintar itu di luar kota , 25km dari kota
kami.
Duar!
Segalanya gelap
gulita. Erang kesakitan lirih kudengar bersahutan dengan teriakan orang-orang.
“Astaghfirullah.
Astaghfirullah. Allah. Allah. Allahu Akbar” rintihku.
Beberapa tubuh
telah berjatuhan di sekitar diriku yang juga terjerembab dengan wajahku menatap
jalan raya yang kasar. Uh! Sakit dan perih. Kurasakan dan terlihat samara ada
beberapa pasang tangan yang memindahkanku dari jalan ke sebuah pick up terbuka.
Kak Aris yang sudah duduk di pojoknya meraih dan mendekap aku. Dingin angin
tengah malam menusuk tubuh bersama aroma darah dan kengerian di depan mataku.
Astaghfirullah. Seram,nyeri, perih, dingin, takut dan semua rasa tak nyaman
mencengkramku dan mungkin semua yang masih terjaga di sini.
Kulihat pamanku
terbujur kaku di dekatku.
“Inna lillahi wa
inna ilaihi rooji’uun” desis Kak Aris. Ia semakin erat memelukku yang
kebingungan. Cuma kami berdua yang sadar dari delapan orang penumpang mobil
itu. Dan sepertinya pamanku sudah tak bernyawa lagi. Inna lillahi wa inna
ilaihi rooji’uun.
Aku terus
termangu di kamar tempat aku dipindahkan dari ruang ICU sekitar sejam yang
lalu. Aku sendiri.
“Aku mau
menengok yang lain dulu” kata kak Aris berpamitan setelah menemaniku beberapa
saat. Hanya dia seorang yang masih kuat berdiri dan berjalan kiranya.
“Rawat saudara
lainnya yang lebih parah, kak. Aku tidak apa-apa” kataku berusaha tegar. Ia
menggenggam erat tanganku sebelum meninggalkan aku sendirian di kamar itu. Sendirian
tapi tak sendiri.
Aku mulai meraba
– raba bagaimana dan mengapa ini terjadi.
“Ya Rabb. Ya
Allah. Ampuni kami” lirih aku berbisik dalam hati. Kiranya Dia menyelamatkan
kami dari jalan yang mungkin bisa menjerumuskan kami.
“Mungkin
orangtua pintar itu memang diberi anugrah dan kelebihan oleh Allah” jelas
ustadz yang sering mengisi pengajian di masjid dekat rumah kami.
“Namun orang
yang datang untuk meminta saran dari orang tua pintar itu bisa saja salah niat
dan itikad. Bisa-bisa tauhidnya yang bergeser karena keyakinannya tidak kepada
Allah, tetapi meyakini orang tua pintar itu.” sambungnya.
Kami duduk
melingkar di bawah pohon rindang yang ada di pojok pelataran rumah sakit.
Berenam, aku,kak Aris, ustadz Irfan, dan tiga santri yang ditugaskan menunggui
kami selama dirawat di sini. Paman sudah
dimakamkan kemarin tanpa kehadiran tante yang sengaja tidak diberitahu kejadian
ini karena kondisi tante yang masih parah. Hanya kak Aris yang bisa hadir di
pemakaman itu diantara kami bertujuh yang masih hidup.
“Saya juga
berpikir demikian, ustadz” kataku pelan sambil menahan perih di wajahku. Sebenarnya
aku masih belum pulih tapi memilih untuk bergabung dengan mereka di luar karena
jenuh dalam kamar.
“Semisal
kemudian kami yang datang kemarin itu sukses dan berhasil dalam karir dan
bisnis serta lainnya. Bisa jadi kekaguman terhadap terawangan orangtua pintar
itu bisa meracuni akidah dan tauhid kami” aku melanjutkan buah pikiran
semalamanku
di malam berdarah itu, saat di kamar sendirian
dan mencium aroma kematian dalam rombongan kami.
Malam
berdarah darah itu memang menyeramkan secara fisik dan auranya, namun kesadaran
akan hikmah di balik kecelakaan itu tak dapat kuungkap dengan kata manapun.
Tuhan jatuh cinta padaku, pada kami. Jadi Dia menyelamatkan kami dari bahaya
dan kecelakaan yang lebih besar dibanding kecelakaan mobil kami yang ditabrak mobil
container besar dari arah belakang.
“Alhamdulillah”
ucap kak Aris.
Syukur yang berpadu bersama kesakitan dan kengerian yang kami alami.
Betapa berharganya pelajaran ini.
Engkau tunjukkan kuasaMu dan pelajaran bagi kami akan ketauhidan. Kan ku
genggam hidayah ini erat-erat selamanya, bisik hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar