PARUT
“Aduh” ternyata
perih juga.
Telunjuk kananku
sedikit menyentuh darah kering yang keluar dari luka memanjang 6cm an di
pipiku.
Semalam, ketika
Zura mencakarnya, aku tahu terjadi luka. Tapi tidak menyangka akan separah ini.
Parut panjang di wajah , darahnya , dari rasa lukanya , kemungkinan sekali cakarannnya lumayan
dalam.
“Aku tidak mau
punya ibu seperti Umi. Aku mau mama…mamaa…” teriaknya di pagi buta. Sekitar jam
2 pagi.
“Ummi
minta maaf ya nak..” aku lemas kalau dia sudah mengamuk begini.
Aku mau anak-anakku sehat lahir
batin. Dia masih sangat dini , baru usia satu tahun ketika ayahnya meninggal
dunia. Aku ingin dia sehat jadi aku memilih meminta maaf..
Tapi gadis kecilku tak mau menghentikan
cakaran dan tendangannya. Beberapa kali kutepis dengan lembut cakarannya pada
wajahku tapi entah kenapa, pada akhirnya aku membiarkannya mencakar wajahku di
pelipis, pipi dan bibirku. Sampai berdarah.
Aku membiarkannya saja di situ sebagai riasan
wajah, entah sampai kapan. Setidaknya untuk beberapa hari atau beberapa minggu aku tidak bisa kemayu kemenyek. Apalagi berpikir untuk mejeng, berkencan lalu menikah lagi.
Seperti dulu
sekali terjadi ketika di perutku terdapat bekas alergi setelah makan
sejenis lobster di restoran pinggir
pantai bersama mantan pacarku yang bertemu lagi setelah bertahun- tahun tidak
bertemu.
Bekas yang kemudian
menghitam. Sehingga berminggu kemudian meskipun
aku janda kembang dan bebas, menjadi terjaga dari berbuat kehinaan.
Karena tentu saja jadi tidak sembarang membuka perutku. Meskipun kalau tidak
ada luka bekas alergi yang hitam itu, aku mungkin juga tidak berani dan buka
perut sembarangan , tetapi tetap saja bekas menghitam itu menjadi ‘pengaman’
tersendiri.
Betapa baiknya Allah dan betapa bijak
skenarioNya.
Jadi siapa
bilang kalau luka, sakit, belang bekas borok,, parut itu musibah. Justru itu
anugrah. Justru itu karunia.
Seperti halnya
musibah dan bencana. Di wasior, di Mentawai, di Merapi.
Seperti lukaku atas
trauma yang kualami selagi aku tujuh tahun.
Dia sosok yang
sebenarnya, semestinya, seharusnya melindungiku. Dia terhitung kakakku, meski sepupu. Entah berapa
kali dia melakukannya. Jelasnya , apa saja yang dia lakukan padaku, denganku ,
tak teramat jelas. Tapi aku merasa hina
sesudahnya.
Dan karena
merasa hina dan trauma itu , aku jadi tidak pernah – setidaknya berusaha untuk tidak - memandang hina dan rendah
terhadap siapapun. Apapun bisa terjadi pada seseorang , kehinaan sekalipun ,
meskipun seseorang itu tidak menginginkannya. Meski dia bahkan tak pernah
bermimpi dan mengharapkan hal itu terjadi padanya. Aku memahami takdir sebagai
takdir. Sehingga kepada takdir dan kehidupan., dan kepada kehidupan dan takdir
, aku menjadi setia.
Tak
terhitung kemudian berapa pria yang menjadi patah hati setelah aku jerat. Entah
apa yang merasukiku. Seseorang menganggap aku setengah gila. Untuk apa memikat
seorang pria dan kemudian mencampakkannya hanya karena rasa takut akan terikat dan takut kehilangan
menjadi satu sekaligus, berkecamuk dalam diri.
“Kamu balas
dendam kaleee…’,Jimmy mencoba menganalisaku.
Dia serupa seorang therapist
akhir-akhir ini. Aku diperlakukannya seperti seorang pesakitan, seorang pasien.
Entahlah, dia hendak membuktikan apa.
“Whatever” kataku.
Apakah orang
tidak boleh menempuh rel yang bagus dan lurus setelah dulu pernah menjadi
kereta yang rusak.
Lama –lama aku
mulai berpikir untuk meninggalkan Jimmy. Sungguhpun dia kelihatannya banyak
bermanfaat dan berdayaguna bagi perkembangan karir dan komunikasiku, tetapi
beberapa pikirannya yang agak controversial, bisa berbahaya untukku juga.
Seperti,
aku telah lama meninggalkan bacaan –bacaan yang isinya menuju ke jorok-jorok
saru porno dan vulgar. Tapi dia menganjurkanku untuk membacanya dengan alasan
alur novel itu tidak linier sehingga aku bisa belajar dari membacanya. Oh..oke.
Tapi dia juga
bersenang-senang denganku dengan lama-lama menelponku. Sampai kadang aku yang
jengah dan merasa tidak enak hati dengan istrinya. Dimana istrinya, kenapa
bukan dengan istrinya dia berasyik masyuk.
“Dia
baik. “ jawabnya suatu kali ketika aku dengan tega menanyakannya.
Dan dia menjawab seolah tak ada
masalah antara dia dengan istrinya. Oh ya? Lelaki macam apa yang tidak punya
masalah dengan istrinya tetapi bersenang – senang dengan perempuan lain. Tidak
waras, tidak normal.
Untunglah pada
akhirnya ia jadi ilfil karena di matanya aku tak lagi hidup. Tak lagi merah. Tak lagi segar. Gara-garanya
adalah kesalahannya sendiri.
“Kenapa dua
tanganmu kau simpan di belakang” tanyanya sambil mencoba membaca gambar sket
tanganku berupa seorang gadis dan sebatang pohon.
Sebenarnya itu gambarku yang kedua
yang kubuat dan akhirnya aku kirim via email setelah kuscan.
Gambarku yang
pertama, dan itu artinya orisinil, dua lenganku tampak dan bahkan dominan. Jadi
kalau sekarang dengan asumsinya dia membacaku sebagai menyembunyikan dan
menyimpan sesuatu disebabkan dua tanganku yang tergambarkan berada di belakang
badanku, itu artinya…………….tentu saja sebaliknya.
Dan itu yang
benar sebenar benarnya. Aku bahkan telah menampakkan dan mengalirkan semua rasa
dan rahasiaku padanya. Jadi ketika dia semakin mengorek ke dalam diriku,
semakin telanjanglah aku. Semakin terang terang terang dan akhirnya
menyilaukan. Semakin ke dalam ke dalam ke dalam sehingga hilang feeling lah
siapapun, karena memang pada dasarnya kita semua hina dan busuk. Hanya karena
karuniaNya sajalah , Dia menyembunyikan aib – aib kita.
“Ceritakan saja.
Lepaskan semuanya. “ bujuknya seperti biasa.
Aku hanya
terdiam. Apalagi?
Tapi aku tak
bisa menghentikannya. Tak bisa menghentikan langkahnya untuk tidak mengetahui
kelukaan –kelukaanku, parut-parutku, borok-borokku, sehingga akhirnya dia
tepar, terhenyak dan akhirnya ilfil lalu berlalu. Bukan salahku.
Karena terbiasa terluka, aku jadi
tak mudah luka.. Itu saja. Dari kematian tanteku, nenekku, bude-budeku, oomku,
ayahku lalu suamiku. Kematian menjadi biasa, kehilangan menjadi biasa, luka
menjadi biasa. Airmata tak pernah bertahan lama.
Jadi ketika dia
pergi, aku justru bersyukur. Pengalihan rasa kecewa yang mantap, sebenarnya.
Lebih baik begitu, sudah beberapa kali belajar manajemen gelo, manajemen kecewa. Jadi kali ini harus lulus.
Setidaknya
karena bukan aku yang pergi meninggalkannya, tak perlu ada rasa bersalah dan
berdosa. Aku memberinya cinta yang banyak, entah palsu entah asli , aku juga
tak begitu mengerti. Dia sudah membayar cintaku dengan banyak kebaikannya. Jadi
impas. Sah sah saja kalau dia mau pergi. Kami tak saling berhutang . Anggap
saja begitu.
“Seharusnya
kamu lepaskan diri dari belenggu ibumu yang terlalu kuat” ungkapnya , sarannya.
Aku yang
biasanya seperti sapi dicongok hidungnya, menurut apa saja kata dia yang
kuanggap sebagai guru ,pahlawan dan kekasihku dalam enam bulan ini, terdiam. Tak
tahulah. Aku juga tidak begitu menyukai ibuku, ingin bebas darinya. Lalu apa?
Kenapa kalau memang kenyataannya aku tidak bisa lepas darinya?
“Setelah suamiku
meninggal, kepada siapa bakti saya setelah kepada Tuhan?” tanyaku kepada
guruku, asli guru, guru spiritualku.
“Tentu saja
ibumu” jawab beliau setelah lama berfikir dan menimbang.
“Apakah saya
tinggal bersama keluarga almarhum suami karena saya lebih nyaman di sana , atau saya harus
kembali ke rumah ibu?” tanyaku lagi.
“Ibumu lebih
berhak” jawabku beliau setelah panjang dan lebar menerangkan beberapa manfaat
madhorot. Juga dengan memaparkan pertimbangan – pertimbangan dan kemungkinan
–kemungkinan yang terjadi jika aku memilih untuk tinggal sendiri saja dengan
anak-anakku tanpa ibu di sisiku.
Jadi kubiarkan
parut itu di sana .
Luka yang disebabkan cakaran anakku. Seperti kubiarkan ibu dan kerangkeng serta
belenggunya padaku ketika seharusnya aku bisa bebas menentukan apa saja
pilihanku sebagai seorang janda.
Lebih berharga
dan mulia menjadi janda dengan parut dan belenggu, daripada menjadi seseorang
yang bebas lalu tak lagi mempunyai malu dan batasan.
.
Aku di sini. Setia pada takdir dan kehidupan. Percaya ada suatu hikmah dan keajaiban dibalik luka dan cobaan. Percaya. Itu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar