Kiai kelahiran 1936 ini juga dikenal sebagai guru musryid Thoriqoh Naqsyabandiyah Khalidiyyah, yang ratusan ribu muridnya tersebar di Nusantara khususnya Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan beberapa tempat di Sumatra.
MBAH/YAI SALMAN begitu para santri/khalayak umum akrab menyebut nama beliau. adalah anak lelaki tertua K.H. M. Mukri bin K.H. Kafrawi, dan cucu lelaki tertua K.H. M. Manshur, pendiri pesantren yang sekarang diasuhnya. K.H. M. Manshur adalah putra Syekh Muhammad Hadi Girikusumo Mranggen, salah seorang khalifah Syekh Sulaiman Zuhdi, mursyid atau guru pembimbing Thoriqoh Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Mekah.
Sebagai cucu lelaki tertua, Yai Salman memang dipersiapkan oleh kakeknya, K.H. M. Manshur yang di kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai aulia' untuk melanjutkan tugas sebagai pengasuh pesantren sekaligus mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyah Khalidiyyah.
Pada 1953, ketika Yai Salman berusia 19 tahun, sang kakek yang wafat dua tahun kemudian, membaiatnya sebagai mursyid. Sorogan Bandongan Untuk menambah bekal keilmuan, Yai Salman nyantri ke pesantren pimpinan K.H. Khozin di Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur. selama kurang lebih empat tahun (1956-1960). Tapi, sebulan sekali ia masih sempat nyambangi pesantren yang diasuhnya di Popongan, yang selama ia mondok di Kediri diasuh oleh ayahnya. Sebelum menjadi mursyid, Yai Salman menimba ilmu di Madrasah Mamba’ul Ulum Solo dan beberapa kali nyantri pasan pengajian Ramadhan kepada K.H. Ahmad Dalhar Watu Congol Magelang Jawa Tengah.
Sejak 21 Juni 1980, Pesantren Popongan berganti nama menjadi Pondok Pesantren Al-Manshur untuk mengenang pendirinya, sekaligus peresmian yayasannya. Seperti di pesantren lain, semula santri yang datang hanya untuk nyantri dan ngaji dengan sistem sorogan dan bandongan (sistem pengajian tradisional di pesantren). Baru pada 1963 didirikan beberapa lembaga pendidikan formal mulai dari Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Diniyah, Madrasah Aliyah, dan terakhir Taman Kanak-kanak Al-Manshur (1980).
Saat ini Pesantren Al-Manshur terdiri dari tiga bagian: pesantren putra, pesantren putri, dan pesantren sepuh yang diikuti sejumlah orang tua yang menjalani suluk, yaitu laku atau amalan thoriqoh. Berbagai kegiatan ditata ulang. Program tahfidzul Qur’an, menghafal Al-Quran misalnya, ditangani oleh K.H. Ahmad Jablawi (kakak misan Kiai Salman) sekaligus ia mengasuh santri putri. Sementara pengelolaan madrasah formal diserahkan kepada K.H. Nasrun Minallah adik Kiai Salman. Kiai Salman sendiri mengasuh santri putra dan santri sepuh.
Untuk mengantisipasi perkembangan zaman, kiai yang dikaruniai tiga putra dan lima putri dari istri pertama Mu’ainatun Sholihah ini juga telah menyiapkan proses kaderisasi dan regenerasi. Dan sejak tahun 2001 ia menikahi istri kedua Siti Aliyah, sepeninggal istri pertama yang wafat pada tahun 2000.
Sejak itu beliau juga memulai proses regenerasi dengan melibatkan putra-putrinya dalam pengelolaan pesantren.Belakangan, seiring dengan usianya yang kian lanjut, Kiai Salman menyiapkan kader pribadi baik sebagai pengasuh pesantren maupun mursyid thariqah yaitu Gus Multazam, 35 tahun. Sebab, belakangan kondisi fisik kiai yang tawadhu’ ini memang agak lemah. Maka Gus Multazam, putra ketujuh yang lahir di Mekah inilah, yang tampil sebagai badal (pengganti) dalam beberapa pengajian. Misalnya dalam pengajian fikih di hadapan para santri sepuh setiap hari Selasa.Figur Kiai Salman amat bersahaja, ramah dan tawadhu’.
Pada bulan Ramadan 1425 H lalu, beliau genap berusia 70 tahun.
Ketika berbicara dengan para tamu, Kiai Salman lebih sering menundukkan kepala, sebagai wujud sikap rendah hati. Tak jarang, bahkan ia sendiri yang membawa baki berisi air minum dari dalam rumah untuk disuguhkan kepada para tamunya.Seperti halnya para ulama, semakin sepuh justru semakin banyak yang sowan memohon doa restu atau nasihat. Demikian juga dengan Kiai Salman, kian hari kian banyak kaum muslimin dari berbagai daerah, dan berbagai kalangan, yang sowan kepadanya. Baik untuk konsultasi pribadi, bertanya masalah agama, maupun sekadar silaturahmi minta doa restu. Bagaikan pohon, semakin tua semakin rindang, semakin banyak pula orang bernaung dari sengatan mentari di bawah rimbunan dedaunan.
Dan inna lillahi wa inna ilaihi roojiuun, beliau meninggal dunia kemarin 27 Agustus 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar