BASAH
By: Dian Nafi
Ekor mataku menangkap pandangan curiga dari wajah twin. Segera kuhentikan ulahku yang konyol, Berkali-kali melap bibir dengan jemari, punggung dan juga telapak tangan. Mungkin sekali dengan otak detektifnya, twin mengira terjadi sesuatu antara aku dan mas Gus. Memang dia menciumiku dengan kalap ketika kami tadi pergi ke mobil sebentar sementara para peserta wisata sastra sedang berteduh di warung kopi. Tapi hanya itu, hanya ciuman. Iya sih, di bibir. Bagaimana lagi aku bisa menghindar? Hari hujan, cuaca dingin, kesempatan tercipta dan kami saling mencintai. Jadi apalagi?
Entahlah. Untuk apa juga aku peduli dengan apa yang ada di pikiran twin? Apa yang sebenarnya aku lebih pedulikan? Pandangan orang-orang atas hubunganku dengan mas Gus? Atau ah sudahlah, kenapa tak kunikmati saja sisa hari ini. Mungkin beberapa jam ke depan mas Gus kembali ke Jogja meninggalkan aku kembali merana dalam kerinduan yang menyiksa. Toh twin tidak berkomentar apa –apa sepanjang perjalanan tadi.
Telapak tanganku menyentuh titik air yang menetes dari ujung tenda warung kopi. Hujan mulai reda. Kulihat teman-teman masih sibuk membuat Yanti terjaga. Ia tadi hampir pingsan karena kedinginan. Sempat terjadi kepanikan karena tiba-tiba gadis itu lemas. Untunglah setelah diberi minuman hangat dan diselimuti, berangsur-angsur Yanti mulai pulih.
Aku menggeser tubuhku dan mulai sibuk memperhatikan mereka lagi. Selintas kulihat mata twin tersenyum. Ah, ternyata perasaan bersalah semakin merajam jika aku di dekatnya. Twin dengan cap ustadzah di keningnya, aku bisa merasakan bahwa dia menyalahkan aku karena membiarkan mas Gus memelukku sepanjang perjalanan tadi. Membiarkan tangan lembutnya membelai rambut dan hampir seluruh wajahku yang merona. Kenyataan bahwa aku tak bisa menahan diriku untuk tidak bersandar di bahu pria yang bukan suamiku, dengan semua mata bisa melihat kami, mungkin itu membuat twin masygul. Tapi apa yang mencegahnya tidak menegur perbuatanku sama sekali?
**
Aku bukannya tak melihat semua ketidaklumrahan yang ada di depan mata. Terus terang hatiku bergejolak. Apalagi saat mobil yang kami tumpangi melewati sekerumunan orang yang meluap memenuhi lapangan tempat diselenggarakannya acara pengajian bersama habib Syeikh. Betapa ironisnya, betapa mirisnya.
Hampir saja aku melompat dari dalam mobil dan memilih bergabung dengan jamaah habib Syeikh itu. Suara habib yang damai terdengar sayup dari kejauhan seolah memanggil-manggilku. Sungguh kontras dengan pemandangan yang terjadi dalam mobil. Twin dengan ‘kekasihnya’ yang bukan suaminya di jok depan. Dan Rahmadi memangku kepala Yanti-yang sebenarnya adalah ‘kekasihnya’mas Gus juga- di jok belakang.
Arggh!! Bagaimana aku yang dulunya aktivis ROHIS dan ibu nyai enom sebuah pesantren bisa terjepit dalam kemaksiatan seperti ini? Apakah aku benar-benar harus melepaskan diri dari rombongan ini dan bergabung dengan habib Syeikh?
Tapi pikiran warasku langsung bekerja. Aku tak mungkin turun di sini. Wonosobo bukan daerahku, aku sungguh buta dan mungkin tak tahu jalan pulang seandainya aku nekat. Pikiran warasku yang lain membisikiku, Tuhan tak mungkin membiarkan aku dalam situasi ini jika Dia tak ingin aku melakukan sesuatu. Iya kan? Tapi apa yang bisa kulakukan? Haruskah aku menegur mereka? Mungkin itu bukan sikap bijaksana. Bagaimanapun aku bukan yang dulu lagi, yang kurang matang dalam bersikap. Tuhan pernah menempatkan aku sedemikian rupa sehingga aku bisa memahami jalan pikiran twin dan mas Gus.
Ariel juga membutuhkan duapuluh teman perempuan untuk bisa mendapatkan inspirasi dalam membuat lagu-lagunya yang keren. Aku merasakan sendiri bagaimana feel yang kudapat jika menulis berdasarkan pengalaman pribadi. Jadi tak ada yang mengherankan jika mas Gus juga mungkin memiliki sederet nama dan kisah yang menginspirasi karya-karyanya. Iya kan?
Twin mungkin bukannya tidak setia dengan suaminya, aku tahu itu. Suaminya setipe dengan almarhum suamiku. Mereka terlalu baik untuk dikhianati, mereka malaikat. Tetapi mungkin sekali twin merasakan dirinya lengkap dengan kehadiran mas Gus dalam kehidupannya. Aku mengalaminya sendiri dengan guru yang ‘kekasihku’ beberapa waktu lalu, ia juga beristri sama seperti mas Gus. Bedanya adalah twin masih bersuami dan aku tak lagi. Bedanya lagi, mereka selalu punya kesempatan bertemu dan kami tidak. Meskipun jika kami bertemu, aku percaya aku tak cukup punya banyak keberanian seperti mereka. Aku masih membiarkan jiwa puritanku membuat pagarnya sendiri agar aku tak bisa melompat keluar. Dan lagi kami sudah berlalu, mungkin bukan insyaf atau bosan, hanya merubah bentuk kegilaan menjadi cukup persahabatan.
Pandanganku lepas ke luar jendela mobil yang kubiarkan terbuka. Angin pegunungan menerpa wajahku,sejuk. Lukisan sang maha Kuasa di depan mata sejenak mengalihkan perhatianku pada debat dalam nuraniku.
“Wow! Subhanallah!” seruku hampir bersamaan dengan yang lainnya. Tampaknya semua yang ada di mobil takjub dengan hamparan sawah yang menghijau.
Klik klik.
Kamera kami sibuk mengabadikan puisiNya yang sangat menawan. Hijau dalam keteraturan terasering yang apik. Berpadu dengan coklat bebatuan pegunungan menjadikannya harmoni seperti lagu merdu. Oh! Aku mendengarMu, Tuhan. Sungguh, Alam raya ini, lekuknya, sudutnya, lengkungnya. Bagaimanakah sampai aku mengira Engkau keliru menempatkanku di sini, bersama mereka. Mereka juga hambaMu seperti aku. Bahkan dengan kesetiakawanan yang mereka tunjukkan dengan mau menungguku satu jam lebih tadi pagi, mungkin mereka bahkan lebih baik dariku. Jadi siapalah aku jika mau menyombongkan diri dan merasa bersih?
**
Sudah sampai mana?
Pesan pendekku segera terkirim ke nomer ponsel twin. Mas Gus tampak santai duduk di depanku. Kami sepakat untuk menunggu twin pagi ini sebelum berangkat ke Dieng. Matanya mengerling genit, khas sekali. Ingin sekali aku memeluknya seperti saat kami hanya berduaan saja. Tapi kami masih di teras rumah dan suamiku hanya beberapa puluh meter dari sini. Pagi-pagi setelah shubuh tadi ia berangkat ke masjid untuk kerja bakti. Aku tahu, ia tak sanggup melihat lebih lama lagi kegilaanku dengan mas Gus.
Kalau jam Sembilan aku belum sampai, tolong berangkat saja dulu. Mungkin aku nyusul nanti naik motor dengan siapa, gitu.
Balasan sms dari twin, aku tahu ia merasa tak enak hati jika membiarkan banyak orang menunda perjalanan berwisata hanya karena menunggunya. Aku menunjukkan sms itu pada mas Gus yang ternyata telah mendapat salinan pesan yang sama langsung dari pengirimnya. Jemari pria separuh baya itu menekan tuts smartphone-nya dengan lincah. Sementara asap rokoknya berkeliaran di wajahku.
Ditungguuuu…
Sekilas terbaca sms yang dikirim mas Gus. Aku juga menulis bernada sama.
Kami menunggu dengan sabar.
**
Aku mulai bosan. Kanan kiriku tak lagi memberi pemandangan indah, hanya gundukan tanah berwana coklat dengan sedikit hehijauan. Perjalanan Semarang- Wonosobo ini bukan kali pertama untukku. Aku pernah studi ekskursi bareng teman-teman kampus sekitar tahun 1996, berarti lima belas tahun yang lalu. What?! Setua itukah aku?
Pandanganku lepas ke pemandangan yang sekarang beralih menjadi deretan rumah-rumah penduduk. Beberapa mustaka masjid nampak dominan di antaranya. Kota ini mengingatkanku pada Lombok yang terkenal dengan sebutan pulau seribu masjid, hmm..seribu atau sejuta ya?
Beberapa kali sms dari twin dan mas Gus masuk. Mereka baik sekali mau menungguku padahal aku belum jelas kapan sampainya. Perjalanan kali ini memang penuh perjuangan. Aku mendapat ijin dari ibu hanya beberapa menit terakhir sebelum keberangkatan.
Ibu termenung melihatku yang sudah siap pergi, dengan suara tertahan ia bertanya “Jadi ke Wonosobo?”
“Iya, bu. Doakan ya bu”
Aku tidak ingin pergi dalam keadaan tidak direstui. Jadi aku meski berhati-hati sekali meski jelas caraku pergi memaksa beliau tak punya pilihan lain. Aku bersikeras meski berulang kali ibu menyatakan keberatannya.
“Ya. Hati-hati”
Oh yes!
Ternyata di terminal Terboyo Semarang, aku dihadang calo. Kuatir semakin kesiangan aku mengambil saja tiket yang ia sodorkan dan kubayar dengan segera. Well well ! Benar saja dugaanku, aku dioper ke bis lain ketika sampai di Bawen. Peduli amat dengan calo sinting dan kernet sialan yang ternyata mengoperku ke bis lain tanpa membayar kernetnya. Jadi aku terpaksa membayar lagi. Tapi aku takkan membuang energiku dengan mengomel, aku pergi untuk bersenang-senang.
Bis yang berjalan sangat lambat ini semakin membuatku tak sabar. Beberapa pesan pendek dari twin dan mas Gus bersahut-sahutan dengan balasan sms-ku. Beberapa kali twin juga menelpon. Ponsel berbunyi lagi saat tiba-tiba saja tanpa ada yang memberi tahu sebelumnya, bis berhenti. Sopir dan kernet turun untuk sarapan dulu di warung pinggir jalan.
“Sampai di mana, twin? Kok lama sekali”
Suara twin terdengar jelas mengkhawatirkan keadaanku, mungkin agak sedikit tercampur rasa tak sabar. Secara, perjalanan mereka yang seharusnya sudah dimulai satu jam yang lalu masih harus tertunda lagi sampai entah berapa menit lagi.
“Ini sopirnya sarapan dulu. Eh, aku naik ojek saja ya biar cepat”
Aku langsung mengambil inisiatif meski tak tak tahu persis berapa kilometer lagi rumah twin.
Aku benar-benar buta arah dan lokasi. Yang kuyakini hanya aku menyampaikan informasi yang benar kepada tukang ojeknya, bahwa aku minta diturunkan ke pangkalan ojek selokromo. Dan tukang ojek ini pastilah orang terpercaya karena ini bukan Jakarta. Jadi aku berusaha menikmati perjalanan di atas dua roda itu.
Angin hangat dhuha pegunungan menampar-nampar wajahku. Jajaran pohon membentuk dinding hijau yang bersela-sela dengan rumah-rumah. Beberapa kali aku melihat langit yang mulai berawan. Di kakinya tampak pegunungan dari kejauhan. Aku menghirup udaranya penuh-penuh. Kalau saja tasku tidak terlalu berat, mungkin aku sudah berdiri dan merentangkan kedua tanganku bebas ke atas. Beraksi seperti Rose yang menaiki ujung dek Titanic bersama pacarnya.
Ternyata jauh juga selokromo itu. Sudut bibirku tertarik ke atas ketika nama dusun tempat tinggal twin terucap olehku. Teringat guyonan sopir bis tadi.
“Watu kawin, mbak?”
“He?” tanyaku tak mengerti apa maksudnya.
“Watu kawin”. Ia mengulangi kata-katanya itu sampai tiga kali baru aku sadar ia bicara tentang apa.
“Hehehe…iya, pak. Bisa aja bapak ini”
“Iya kan? Selo itu waktu, kromo itu kawin” jelas pak sopir mengundang tawa para penumpang yang duduk di sekitar kursinya.
Motor ojek akhirnya berhenti. Aku memberikan uang sesuai yang dimintanya setelah turun. Segera aku memberi kabar via sms pada twin bahwa aku sudah sampai. Dan baterei ponselku hampir habis.
Nah! Sekarang benar-benar habis. Aku tak punya pilihan lain selain menunggu. Aku duduk cemas sambil mataku berkeliling mencari kamar kecil. Tapi pandanganku tertubruk tulisan besar di dinding tanggul sungai. BLAWONG. WHAT!! Aku minta diturunkan di pangkalan ojek Selokromo dan bukannya Blawong. Oh my! Oh my! Ambil nafas…ambil nafas. Allz is well. Tidak masalah kalau aku salah turun, aku bisa naik lagi ojek untuk pergi ke tempat yang benar. Jangan sampai twin menjadi kesal karena ketika menjemputku di tempat kami janjian, di pangkalan ojek selokromo, tapi aku justru ada di tempat lain, blawong.
“Pak..nyuwun sewu, nderek tangklet”
“Pangkalan ojek selokromo puniko pundi njih?”
“Lha mriki niki, mbak”
“Nyuwun pangapunten. Sebab wonten mriko seratanipun Blawong, pak. Sanes Selokromo”
Dua orang tukang ojek yang duduk di bangku bambu pangkalan ojek itu tertawa renyah.
“Sami, mbak. Mriki niki nggeh pangkalan ojek Selokromo”
Aku tersipu malu, tidak tahu persis bagaimana roman mukaku. Apakah culun atau nampak bodoh atau cemas. Entahlah.
“Matursuwun, pak”
Lega karena aku ada di tempat yang benar. Aku segera duduk kembali di buk beton jembatan kecil yang menghubungkan jalan raya dan jalan kampung, melintasi parit lebar di bawahnya. Keinginanku untuk berkunjung ke istana Rumbia terpaksa tertunda karena sepagi-paginya aku berangkat dari Demak, tetap saja paling banter aku sampai di Wonosobo jam sembilan atau sepuluh pagi. Sehingga tak ada waktu ke basecamp twin dan keluarganya.
**
Wajah twin tampak sumringah ketika mobil kami sampai di depan matanya. Ia pasti cukup gelisah menunggu lebih dari seperempat jam di atas buk jembatan itu sendirian. Tak perlu merasa bersalah, toh kami telah menunggu dia tadi hampir dua jam. Boleh dikatakan aku sebenarnya mengharapkan kehadirannya sejak Sabtu pagi. Tapi dengan pingitan ibunya dan keberpihakan twin pada anak-anaknya, setengah hari di hari Minggu inipun cukup bagiku. Ada sesuatu kasat mata antara kami, sesuatu yang menghubungkan. Tentu saja tak sekuat hubunganku dengan mas Gus.
Aku melirik pria yang duduk rapat di sebelah kiriku. Ia tampak menyambut twin. Ini pertama kalinya mereka bertemu. Aku tak heran dengan kegenitan ‘priaku ‘ ini, dia sih memang begitu hampir pada seluruh penggemarnya. Maklum, penulis terkenal. Dan tidak ada cemburu untuk twin. Twin is twin. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan darinya.
**
Senangnya setelah tahu kalau mbak Tuti dan Ino juga dari Solo, kota kelahiran moyangku. Semuanya menjadi lebih cair dengan pembicaraan pembuka ini. Dan aku bisa mengkorek beberapa ilmu dari sang guru, mas Gus, sepanjang perjalanan dalam mobil.
Anak-anak Secoteng ramah-ramah dan aku haru, basah dan larut dalam kebersamaan bersama mereka sejak kilometer pertama perjalanan kami. Kemudian menjadi basah beneran karena kehujanan sama –sama di Dieng, kawasan wisata yang kami kunjungi untuk wisata sastra kali ini.
Kami tertawa dan berpose bersama di depan kawah. Di antara bau belerang menyengat, bebatuan dan pasir berwarna coklat kekuningan. Di bawah langit yang kemudian gelap oleh awan hitam yang berarak. Lalu hujan turun dari rintik sampai deras, sebentar terhenti sebentar kemudian deras lagi. Aku benar-benar basah. Basah oleh air, juga basah oleh cinta dan persahabatan.Tak sia-sia aku menempuh hampir enam perjalanan dari Demak ke Wonosobo. Aku mendapatkan charge energi untuk jiwaku. Terima kasih Tuhan untuk karuniaMu dan caraMu yang tak biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar