TETAPLAH MENJADI BINTANG
Oleh : Dian Nafi
Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Sam memetik gitar dan menyenandungkan lagu Padi yang sedang in. Aku tak kuasa menyembunyikan ketakjuban atas permainan gitar pacar baruku itu. Tak disangka, seorang Magister Hukum yang kukenal saat kami sama-sama riset di sebuah institusi, ternyata petikan gitarnya aduhai.
“Ayo nyanyi dong..”, pinta Sam sambil mengulum senyum, sehingga nampak lesung pipitnya yang manis.
“Nyanyi apa dong?”, tanya aku manja.
“Apa aja.”,Sam memetik gitar dan intronya mengantarku faham lagu favorit kami berdua. Sst…..sebenarnya lagu favoritku juga dengan salah satu mantanku yang dulu.
Kutatap mega tiada yang hitam
Betapa indah hari ini
Kumenanti seorang kekasih yang terbaik yang datang di hari ini
Adakah dia akan selalu tersenyum
Menanti hidup penuh pesona harapanku
Iwan Fals punya tuh lagu. Wah, mabuk deh kalo sudah nyanyi-nyanyi kayak gitu.
“Besok aku mau mulai buka kiosnya. Kamu datang kan?”, Sam mengingatkan agenda pentingnya minggu ini.
‘Insya Allah.semoga bisa”, tak ada yang bisa menolak permintaan seorang kekasih. Iya kan?
Sebenarnya aku tidak begitu sreg dengan pilihan Sam untuk membuka persewaan buku dan komik seperti ini. Secara, seorang magister mustinya jadi dosen atau apalah yang lainnya tapi bukan pemilik usaha persewaan komik. Aneh.
“Mas. Sholat dulu lah” suatu siang aku mengingatkan Sam yang tenang –tenang saja walaupun adzan sudah lama berlalu dan hampir masuk waktu sholat ashar.
“Nggak apa-apa. “, jawab Sam santai.
Ampuuun deh. Meskipun aku badung, nakal dan slengekan, kalau masalah sholat dia merasa harus disiplin. Termasuk pacarku , harus disiplin dan atau didisiplinkan.
“Maaassss….”, rengekku.
Aku sendiri sedang tidak sholat, tapi Sam harus sholat. Harus.
“Sudah gih, buruan sanaaaaa….”
Aku mulai kesal. Melihat Sam nggak juga beranjak, kesabaranku habis. Tanpa ba bi bu, kustarter motor dan mengebut balik ke rumah kost dengan berlinang air mata. Sampai di rumah, kulihat miscall dari Sam berulangkali. Tapi sudah kuputuskan untuk putus. Titik.
September ceria hanya berlaku bagi Vina Panduwinata. September tahun itu adalah September paling duka bagiku. Sam yang telah terpilih hatiku, terangkum dalam harapan untuk mengakhiri masa lajang, akhirnya hanya menyisakan perih. Aku menangis berhari – hari sesudahnya.
“Sudahlah, kak. Semua memang harus dilewati. Dia bukan yang terbaik untuk kakak”, adikku, Naya, berusaha terus untuk meredakan tangisku.
Tapi tak mudah meredakan tangis kali ini. Aku baru saja membuka hati untuk seorang lagi pria setelah sebelumnya pernah terluka begitu dalam. Tangis yang bahkan berbulan-bulan. Lunglai tanpa tulang, terduduk di setiap saat aku teringat patah hati itu.
Jadi ketika aku menemukan Sam. Di sanalah kulabuhkan harapan. Aku ingin Sam yang menemani sampai selamanya. Aku tak mau lagi patah hati. Sayangnya, aku melabuhkan hati terlalu cepat sebelum aku memahami dan mengenal betul siapa Sam.
***
“Semoga lekas sehat ya bu”, aku menaruh kedua telapak tangan di atas tangan ibu Sam yang sedang tergolek di kamar sebuah rumahsakit.
“Terimakasih,nak”, kata sang ibu yang tidak faham benar siapa aku.
Aku datang karena seperti Sam mengasihi adik-adikku, aku juga ingin mengasihi orang-orang terdekat Sam. Meskipun Sam tak tahu kalau aku datang, tidak perlu tahu lah. Kasih kadang memang diberikan begitu saja tanpa harus diketahui apalagi diumumkan.
Aku cukup puas sudah menemui wanita yang urung menjadi calon mertuanya itu, tanpa harus bertemu Sam. September yang menyayat hati namun aku tetap menaruh simpati kepada wanita yang melahirkan seseorang yang sempat kucintai sepenuh jiwa.
Saat kami masih bersama, Sam mengajariku banyak hal termasuk bagaimana berkasih sayang. Keharmonisan keluarga Sam adalah salah satu daya tariknya. Di samping semangatnya dalam menimba ilmu agama.
“Aku hendak dijodohkan dengan seorang perempuan”, ujar Sam suatu sore.
Kami sedang duduk berhadapan di ruang meeting kantor surveyor. Hm? Aku mencoba menyembunyikan keterkejutanku. Sam dan aku tampak sekali tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa kami berdua saling tertarik. Hanya saja memang belum ada ungkapan verbal di antara kami.
Jadi apa maksud dari ucapan Sam barusan? Aku meraba –raba.
“Bagaimana menurutmu?”, Tanya Sam sambil mencoba menangkap dua bola mataku.
Aku tertunduk. September lalu, aku pernah sangat terluka. Hubunganku dengan teman kampus tidak berlangsung dengan sukses. Kami akhirnya putus setelah putus sambung lebih dari sepuluh kali. Bertemu dengan Sam, entah kenapa hatiku yang beku lama kelamaan mencair.
“Bagaimana ?” desak Sam lagi.
“Kamu mau tidak?” tanyaku balik.
“Hatiku sudah condong pada gadis lain..”, suara Sam lirih seperti terbang tertiup angin.
Dan senja itu, kami akhirnya menautkan hati.
***
Inna lillahi wa inna ilaihi roojiuun.
Kita semua milikNya, dan kepadaNya kita semua kembali. September kembali menorehkan luka setelah hanya beberapa bulan kami berdua jalan.
Inna lillahi wa inna ilaihi roojiuun.
Kita semua milikNya, dan kepadaNya kita semua kembali.
Sam datang ketika ayahku meninggal. Tidak ada yang memberitahu, tapi ia datang. Wajahnya kurus dan terlihat nelangsa. Aku memandangnya iba, tapi sudah ada Tora yang mendampingiku selama sebulan ini.
Sejak aku melarikan diri ketika insiden meninggalkan sholat setahun yang lalu itu, Aku memang menghindar dan memutuskan hubungan sama sekali. Tanpa penjelasan karena sudah jelas tanpa harus dijelaskan alasannya.
Permintaan maaf dan kedatangan Sam berkali-kali ke rumah sama sekali tak kugubris. Aku langsung keluar dari kantor surveyor yang menaungi kami berdua.
“Kenapa pindah? Sayang sekali lho. Prestasimu bagus. Kamu sebentar lagi mungkin diangkat jadi supervisor” bosku di kantor menahanku agar tak jadi keluar.
Tapi tekadku sudah bulat. Jika aku masih di kantor surveyor itu dan berarti sesekali bertemu Sam, mungkin aku akan luluh. Bisa –bisa aku kembali dalam pelukannya. Jadi aku harus keluar. Bahkan kemudian aku memutuskan pindah ke kota lain dan akhirnya bertemu Tora. Tak ada pria yang sempurna seperti halnya diriku juga bukan perempuan sempurna. Namun Tora adalah seseorang yang memegang teguh prinsip dan ia juga rajin sholat. Itu penting.
**
Ini tepat setahun September luka itu. Ternyata masih ada luka September berikutnya. Kehilangan ayah, sosok yang paling kucintai. Aku tak habis mengerti bagaimana September menjejakkan tangis dalam perjalanan kehidupanku. Aku bertekad September depan adalah September bahagia. Aku ingin Tora menikahiku September depan.
Tapi aku tak ingin melihat duka di mata Sam. Bagaimanapun aku pernah mencintai pria ini.
“Sam” ujarku ketika pemuda itu berpamitan, masih dengan duka di matanya.
“Ya”, sahutnya pendek.
“Tetaplah menjadi bintang di langit”, aku menegaskan harapan.
Sam hanya mengangguk kecil. Tersenyum kecil. Dan berlalu.
Doa melagu di hati Aku. Berlalulah duka September, pergilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar