TAK PERNAH
By Diannafi
Kami tidak pernah berjanji setia. Sebenarnya tidak ada yang menghalangiku sama sekali jika aku berpaling atau mendua. Tapi aku kadung merasa sehati dengannya. Kami soulmate, itu jelas. Dia sangat memahami aku, seperti aku sangat memahaminya.
**
“Aku akan pindah kantor Senin depan”, Gerhana mengejutkanku.
“Oh ya? Kok bisa tiba-tiba sekali?”
Ia telah lama bekerja untuk Devpra, sebuah perusahaan advertising yang dimiliki teman SMAnya. Lebih dari dua belas tahun. Kukira ia akan selamanya di sana dan jika keluar, itu karena alasan akan mendirikan perusahaannya sendiri.
“Pindah ke mana?”, tanyaku lebih lanjut.
“Ke Orange, perusahaan yang juga bergerak di bidang yang sama tapi lebih besar”
“Alhamdulillah. Congrats ya”,aku lega mendengarnya.
“Tapi kedengarannya agak – agak berbau asing ya?”, tebakku.
“Memang punya orang Amerika. Yang di Jakarta ini, satu-satunya cabang di Indonesia”, aku menangkap sedikit sesal di suaranya.
“cas cis cus dong habis ini”, selorohku.
“Bukannya aku mengkhianati bangsaku yaaa….meski aku bekerja sama penjajah….”, ia menambahkan garis bawah dan penebalan bagi penyesalannya. Aku bisa memahami kegalauannya bekerja untuk perusahaan asing meski gajinya tentu saja lebih tinggi.
**
Aku tahu.
Gerhana sangat nasionalis, ia berusaha sangat ‘Indonesia’, ia mencintai negeri ini. Dan dengan kejujurannya atas nurani, ia ingin berbuat sesuatu. Seperti ia juga sangat relijius dan mencintai Islam dengan segenap jiwanya meski dia seorang mualaf. He’s the most true person I know. Seseorang yang melimpahkan segenap perhatian dan kasih untuk sesuatu yang ia cintai. Termasuk sahabat. Beruntung aku menjadi salah satunya.
“Aku mungkin tidak bisa sesering dulu menelponmu”,
Nah! Ini yang bikin aku lebih menyesal.
Sebagai pekerja di tempat baru, tentu saja Gerhana butuh menyesuaikan diri dan ia bilang di Orange, strukturnya ada di bawah komando seorang manager. Beda dengan di Devpra, di mana ia hanya bertanggung jawab langsung kepada direkturnya. Keleluasaannya berubah.
“Chat atau inbox-an juga, mungkin hampir tak ada”, sambungnya.
Duh! Lemes aku.
**
Hari – hari tak bersama suaranya di telpon, chat dan inbox-nya membuatku luruh, hampir habis, seperti kehabisan bensin.
Aku menghibur diriku sendiri dengan membenamkan diri dalam buku-buku. Mencari teman-teman baru baik di dunia maya ataupun bergabung dengan komunitas di dunia nyata. Tapi sulit mencari pengganti Gerhana.
Meski kangen mendera, aku tak berani menelponnya lebih dulu karena takut mengganggu pekerjaan barunya.
Bip bip.
Jadi tiap ada telpon masuk dari Gerhana, aku girang sekali.
Saking kangennya, kadang-kadang kami tidak bercakap –cakap di telpon. Hanya diam dan mendengar suara nafas masing-masing.
Edan memang!
“Bagaimana pekerjaan barunya?”
“Alhamdulillah, baik. Yaaaa…samalah dengan pekerjaan di Devpra, hanya intensitasnya lebih tinggi. Klien-kliennya lebih high class dan lebih strik”
**
Kebersamaan Gerhana dengan teman-temannya di Devpra sudah seperti keluarga. Sebagian besar orang-orang di sana adalah jebolan dari SMA yang sama. Duabelas tahun adalah bukan rentang waktu yang pendek. Aku mengacungkan jempol untuk kesetiaan Gerhana ini, meski sebenarnya jika ia mau, ia bisa hengkang dari sana sejak lama. Tapi mungkin setia mengurungkan hal itu.
Seperti juga ia amat setia dengan istrinya, meski istrinya sempat selingkuh dengan mantan pacar masa kuliahnya dulu.
**
“Nih. Ada lagu bagus. Bodoh Untuk Setia”, suatu ketika Gerhana mengirimkan lagu itu via email, aku tinggal mendownloadnya.
Hatiku perih sebenarnya, aku bisa merasakan kelukaan yang ia rasakan. Istrinya adalah cinta pertama dan terakhirnya. Ia masuk Islam juga demi untuk bisa menikahi perempuan yang membuatnya jatuh cinta. Tapi pengkhianatan terjadi di depan matanya namun ia tak bisa lari. Ia hanya bisa menangis. Kalian bisa bayangkan seorang pria menangis?
Tak hanya air mata, tapi juga menangis batin. Gerhana tak pernah mau pergi. Ia telah mengambil janji, mitsaqon golidhon, janji yang berat.
“Tuhan sedang jatuh cinta padaku, karenanya ia ingin aku lebih mendekat”, tuurnya.
Syukurlah, Gerhana selalu melihat ujian sebagai bentuk kasih sayangNya. Sebuah cara Tuhan untuk membuatnya tersimpuh, luruh, tunduk dan semakin sering bercakap-cakap denganNya. Cara Tuhan untuk menguji kesetiaan hamba.
Jadi, aku pada akhirnya bisa mendudukkan diriku sendiri pada tempat yang sesuai, yang pas. Kedekatannya denganku sama sekali bukan pengkhianatan atau balas dendamnya pada istri yang dicintainya. Aku adalah jiwanya yang lain, seperti ia adalah jiwaku yang lain. Kami adalah satu jiwa. Titah Tuhan yang istimewa, yang mungkin melewati nalar logika kebanyakan orang.
**
“Ada lomba menulis bareng soulmate. Tapi kayaknya kamu sibuk sekali”, tulisku ke inboxnya.
Gerhana tidak membalas.
“Kalau sibuk. Aku mungkin terpaksa mencari pasangan lain, meskipun itu bukan soulmate-ku. Aku belum punya soulmate lain”, inboxku lagi.
Tak ada jawaban dari Gerhana.
Aku tidak mengirimnya inbox lagi.
Bip bip.
Telpon pagi dengan kejutan dari Gerhana. Dia ternyata merancang sebuah ide novel untuk kami kerjakan bersama lagi.
“Ini akan jadi sejarah”, dengan penuh antusias dia bertutur.
Ah! Aku lega.
Dia tidak membalas inbox-ku bukan karena dia tak mau. Tapi dia memiliki pemikiran yang lebih hebat dan lebih luas. Big think. Think big. Itu terutama yang kusuka darinya dan tak pernah bisa membuatku berpaling.
“Mengangkat sejarah daerahmu yang sebenarnya sangat fenomenal”, lalu panjang lebar dia uraikan semuanya seperti seorang professor.
Aku semakin mencintai daerahku setelah mendengarnya, padahal dulu aku sangat tidak bangga karena menganggap kota kecilku ini udik dan tidak keren. Ajib memang, seperti dia juga mengembalikan aku pada ibuku meski dulunya ada jarak terbentang dan dinding tinggi serta rumah es dalam keluargaku. Seperti dia juga mengembalikan aku pada passion utamaku yang selama ini mungkin terbenam.
Menurutku, kesetiaannya yang tinggi terhadap nurani itulah yang membakar orang lain termasuk diriku untuk menemukan apa –apa yang esensial bagi diri kami. Tanpa kesetiaannya pada kasih dan kejujuran, tak mungkin dia bisa menggerakkan apapun dan siapapun.
**
Ide novel baru kami godog bersama dan targetnya enam bulan ke depan harus selesai. Di antara waktu – waktu itu, aku tentu saja tak bisa melepaskan hasratku untuk tetap mengirim tulisan untuk kompetisi menulis di jejaring social. Karena Gerhana tampak tak merespon ajakanku, akhirnya aku menulis dengan pasangan menulis yang lain untuk lomba menulis bareng soulmate itu. Aku tak pernah bermaksud mengkhianati Gerhana. Tak pernah.
Tapi kami, aku dan pasangan baru menulisku menang. Cerpen-cerpen kami dibukukan dan tentu saja Gerhana mengetahui kabar ini dari wall jejaring social. Beritanya ada di mana- mana.
“Selamat ya!”, inbox darinya.
Gerhana tidak pernah memberiku selamat sebelumnya jika aku memenangkan apa saja. Dia menganggap kemenangan-kemenangan itu sebagai suatu hal yang biasa, bahkan yang seharusnya. Kalaupun tidak menang diakui oleh khalayak ramai, kita harus menang di dalam diri. Jadi kalah menang adalah biasa, tidak istimea. Jadi aku agak terkejut dan merasa tidak enak hati membaca inbox-nya kali ini.
“Terimakasih. Maaf ya. Aku minta maaf”
Penuh penyesalan aku bicara di telpon. Gerhana mengalihkan pembicaraan. Dia tak mau membahas hal itu, tapi aku tahu dia kecewa. Mungkin juga marah. Dia tak menyangka kalau aku akhirnya ke lain orang. Dia mungkin mengira aku ke lain hati.
**
“Aku minta maaf”, aku memohonnya sekali lagi.
“Tidak perlu meminta maaf, kamu kan tidak salah”, jawabnya.
“Aku tak pernah bermaksud berkhianat”
“Tapi kamu lakukan”
“Maunya gimana? Aku tidak perlu ikut lomba jika kamu tak bisa menemani?”
“Kalau perlu, kenapa tidak?”
“Kupikir kamu berbesar hati dan berpikiran luas”
“Kupikir kamu setia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar