LELAKI MATAHARI
By Dian Nafi
Lelaki itu datang tepat ketika awanku gelap, pekat. Hujan tangis baru saja menenggelamkanku dalam kepedihan. Suamiku meninggal di awal April tahun itu. Saat aku melarikan diri dan kesepianku ke laman-laman maya di fesbuk, lelaki itu menemukanku. Dalam catatan-catatan kehilanganku, dia membaca jelas apa yang kubutuhkan.
Seorang teman.
Lambat laun dengan kepiawaiannya dalam mengayun hati dengan bahasa puitis dan kecerdasan, dia membawaku menjauh. Dari hutan gelap tempatku banyak berkontemplasi, menuju pantai yang menawarkan kisah baru.
Kisah indah.
Kisah cinta.
Aku terbuai. Aku terlena. April tahun berikutnya, tanpa kusadari dia telah menjeratku dalam perangkapnya. Aku, perempuan rapuh yang kesepian, seperti menemukan penambat. Sebuah jangkar yang manis dan menenangkan.
Meski awalnya aku berkeberatan, tetapi dia akhirnya berhasil mendapatkan nomer ponselku. Lalu dengan rajin dan telaten, dia terus menanam benih kasih dalam hatiku yang hampir kerontang namun segera basah. Oleh puisi-puisinya tentang cinta dan keindahan. Oleh tag-tag note-nya yang menampilkan keperkasaan ide dan olah pikirnya. Oleh gambar-gambarnya yang kreatif dan anti-mainstream, yang menjungkirbalikkan kesadaran dan menggugah pemahaman. Lalu oleh suaranya yang nge-bass, menyuarakan banyak hal yang membawaku terbang berimajinasi, bermimpi dan bangkit dari keterpurukan.
Mantra-mantra yang dia luncurkan dalam kalimat-kalimat bersayapnya. Membuat aku terus melayang. Dibuai angan. Diterbangkan harapan.
Dogma-dogma yang dia sisipkan dalam tiap percakapan juga perdebatan. Membuat rasa dan pikirku jungkir balik. Sampai-sampai aku luruh, takluk dan lemas tiap kali bersamanya. Meski jarak ratusan kilometer memisahkan kami. Tapi kemayaan itu seakan nyata. Bentang itu serasa tak ada.
Saat itu aku tidak menyadari sepenuhnya apa yang telah menyerangku sedemikian rupa. Kesabarannya mendengarkan keluh kesahku. Juga pemahamannya akan diriku serta masalah-masalahku. Dan bahkan ketulusannya memberikan masukan juga alternative dari berbagai dilema yang kualami. Mulai dari masalah keluarga, anak-anak sampai dengan karir serta pilihan-pilihan dalam kehidupan.
Demi membalas kebaikannya itulah, aku pun mendengarkannya dengan hatiku. Beberapa persoalan yang membebani hatinya. Yang meski tidak dia ungkap secara jelas, tapi bisa kubaca dan kuraba dari serpihan catatan-catatan yang dia posting.
Tentang ibunya yang meninggal sejak dia masih bayi. Tentang dirinya yang menjadi sebatang kara. Tentang karirnya yang terus berpindah-pindah. Tentang beban pekerjaannya dan tetek bengek lainnya.
Dan yang lebih masygul, yang membuatku jatuh iba.
Tentang istrinya yang kembali berhubungan dengan mantan pacarnya. Yang membuat kelelakiannya nyaris rubuh. Kepercayaannya nyaris runtuh.
Demikianlah lama kelamaan kami semakin tergantung satu sama lain. Telponnya setiap pagi jam delapan selama satu jam penuh itu awalnya sedikit mengganggu. Namun lama kelamaan menjadi candu.
Rasa simpati dan empati juga kekaguman perlahan bertumbuh menjadi kasih. Ketika sedang gandrung, bahkan ada kalanya dia bisa terus menerus menelponku sepanjang hari. Dari pagi sampai hampir malam. Hanya diselingi makan siang atau waktu-waktu ibadah.
Saat aku berada di persimpangan antara melanjutkan karir yang sesuai dengan background pendidikanku, ataukah mengerjakan sesuatu baru yang lebih sesuai dengan passionku, dia bicara. Dan sudah dapat ditebak. Aku mengikuti anjurannya. Meski seringkali dia bilang bahwa semuanya terserah aku.
Jadilah hari-hari kami makin saling kait mengkait. Ketergantungan yang bernama apa saja. Teman, sahabat, ayah, kakak, partner kerja, juga lawan diskusi. Dan akhirnya rekan duet dalam menulis.
Sayangnya kenyataan bahwa dia bukanlah single yang available untuk dijadikan kekasih, menjadikan diriku berada di antara keinginan berhenti dari ketidakpantasan dan tarikan untuk melanjutkan sebuah petualangan yang tidak tahu di mana ujungnya.
Namun tiap kali aku berusaha melepaskan diri dari lelaki ini, tulangku serasa lepas. Tak jelas di mana ruhnya berada, lemas. Dan sepertinya ambruk menidurkan diri akan lebih baik untukku daripada terjaga dengan rasa hampa. Dalam masa-masa seperti itu aku merasa makin membutuhkan seseorang yang bisa mendekapku. Meski hanya lewat kata-kata. Hanya lewat sapaan-sapaan. Hanya lewat tag-tag note dan gambar.
Kecanduanku menjadi-jadi. Padahal kami belum pernah bertemu. Kiranya demikian pula dengan yang menimpa dirinya. Dalam rasa kepenasaran yang tinggi itulah akhirnya dari kota metropolitan dia datang mengunjungiku di kota kecil tempat kelahiranku.
Aku menuliskannya dalam sebuah cerpen tentang pertemuan kami ini. Judulnya Tapak Tangan. Kalian bisa googling kisah ini dan merasakan apa yang kurasakan saat itu. Kukira kami tak akan lagi saling tergila-gila seperti sebelumnya setelah pertemuan itu. Yang kukira akan menjadi pertemuan pertama sekaligus terakhirnya. Yang kusangka akan menjadi pertemuan satu-satunya.
Tapi dugaanku salah. Kami masih terus bersama-sama. Dalam kemayaan yang terasa nyata. Dalam jarak yang terasa dekat. Dia masih setia menelponku setiap pagi. Juga setiap sore. Dia masih rajin menuliskan note juga puisi. Tentang kami. Dia masih rajin men-tag aku setiap waktu.
Semakin aku berusaha menghindar, semakin jauh aku terikat padanya.
Dalam kegilaanku, dia orangnya yang selalu menjadi inspirasi dalam kisah-kisah yang kutuliskan. Baik saat menulis duet bersamanya. Maupun saat aku menuliskannya sendiri. Dalam puisi, dalam cerpen, dalam kisah inspiratif maupun dalam novel.
Terus begitu. Bahkan setelah dia sempat mematahkan hatiku. Awalnya terjadi sedikit kesalahpahaman. Dia tidak pernah mau hubungan kami yang indah ini terekspos. Karena tentu saja ada banyak hati yang ingin dia jaga. Istri dan anak-anaknya. Dan tentu juga keluarga besarnya. Aku menyambut ‘aturan’ ini dengan senang hati. Karena toh aku juga butuh tampil menjadi single available yang terhormat. Sehingga suatu hari saat aku bosan hanya menginbox saja, aku memakai jalur lain untuk komunikasi. Melalui status fesbuk. Tentu saja aku men-setting rahasia postingan status-status yang kubuat khusus untuknya.
Tapi tahu-tahu dia kalap. Dia mengatakan yang tidak-tidak tentangku. Dia menyamakan aku dengan mereka yang ada dalam film Narnia. Yang menyimpan kisah imajinasi sendiri tentang hubungan kami. Dengan kata lain dia hendak cuci tangan, menyangkal kegilaannya padaku. Juga kisah kami yang terangkai indah selama dua tahun ini. Dia dengan gaya bicaranya yang khas, dengan kalimat bersayapnya, seakan mencap aku gila atau sinting. Berada dalam halusinasiku sendiri.
Tidak saja aku terkejut dengan sikapnya yang arogan, kekanakan tapi juga pengecut ini. Tapi aku juga sangat kecewa dan marah. Masygulnya, aku kembali menuliskan tentang dia dalam kekecewaan dan kemarahanku itu.
Untuk sesaat kami tidak lagi berkomunikasi seperti dulu. Aku yang sering minta maaf jika ada suatu hal yang tidak berkenan baginya, kali ini merasa jengah. Meski tetap aku berusaha menjelaskan tentang setting status fesbuk yang kubuat rahasia itu. Bahwa status itu hanya bisa terbaca olehku dan dirinya saja.
Dia mulai mengendur ketegangannya demi mengetahui hal ini. Tapi aku mengalami titik balikku. Aku seperti terbangun dari mimpi panjangku saat itu. Betapa dua tahun itu aku menyia-nyiakan waktu, energy, pikiran dan hatiku untuk menjalin kasih dengannya. Yang jelas-jelas bukan milikku. Dan tidak akan pernah bisa menjadi milikku.
Untunglah saat itu aku bertemu dengan orang baru. Yang usianya lebih muda dariku. Sehingga untuk sesaat aku merasa bisa mengalihkan kepedihan dan kekecewaanku. Untuk jangka waktu yang agak lama, aku berhasil tidak memperdulikannya lagi. Biarlah kukubur kisahku dengan lelaki beristri itu, demikian tekadku saat itu.
Rasa sakit yang kualami belakangan ini berbeda dengan rasa sakit ketika aku berada dalam dilema terus bersama atau meninggalkannya pada waktu lalu. Aku melacak dan merunut lagi serta mempelajari bagaimanakah hubungannya dengan perempuan-perempuan lain. Memang menyakitkan. Sepertinya dia memanfaatkan para perempuan yang kesepian sebagai korban. Kebanyakan janda sepertiku. Ada juga perempuan bersuami yang mungkin mengalami masalah dengan pasangannya. Kurasa lelaki ini gila. Aku tidak mau lagi berhubungan dengannya, begitulah janjiku saat itu.
Tapi mungkin memang dia terlahir untukku juga. Dalam masa-masa mendungku yang masih kadang datang dalam kehidupan dan keseharianku, tiba-tiba dia datang lagi. Dengan caranya yang elegan. Yang menyentuh. Yang sama seperti dulu saat dia datang menyibak awan pekatku.
Dia kembali menyinari hari-hariku. Dia kembali menghangatkan hatiku. Dia lelaki matahariku. Datang tiap pagi melalui sapaannya di telpon selama satu jam. Dan aku tak bisa lagi menolaknya. Kekecewaan dan kemarahanku sebelumnya perlahan luntur. Tersapu kepandaiannya merangkai kata, alibi, kisah dan alasan. Gelombang kasihnya yang besar menghantam dinding keangkuhan dan pertahananku.
Cinta memang buta.
Tidak seperti matahari atau matahati yang punya mata.
Cinta memang buta.
Kali ini aku tidak lagi peduli dia milik siapa. Bahkan tidak lagi mencemaskan apapun. Dia tidak harus meninggalkan siapa-siapa untuk bersamaku. Aku menerima dia apa adanya. Seperti matahari yang terbit dan menyinari siapa saja.
Hello, Saya Puan Sandra Ovia, wang pemberi pinjaman swasta, adakah anda dalam hutang? Anda memerlukan rangsangan kewangan? kami juga menyediakan pinjaman akhir tahun, pinjaman untuk christmas pakej, tahun baru, seorang sehingga bil anda, mengembangkan perniagaan anda dan juga untuk pengubahsuaian rumah anda. Saya memberi pinjaman kepada syarikat-syarikat tempatan, antarabangsa dan juga pada kadar faedah yang sangat rendah sebanyak 2%. Anda boleh menghubungi kami melalui E-mel: (sandraovialoanfirm@gmail.com)
BalasHapusAnda dipersilakan untuk syarikat pinjaman kami dan kami akan memberikan anda perkhidmatan yang terbaik kami.