SEBUAH NAMA
By Dian Nafi
Aku menikmati malamku di Inn Crowd . Sudah lewat jam Sembilan malam, tapi ruang duduk masih ingar bingar oleh tamu yang berbincang di kursi atau lesehan di bantal besar sambil membuka laptop. Ruang tamu dirancang macam ruang pub dengan meja- meja permainan. Interior menyala berdinding merah atau jingga, termasuk di kamar tidur.
“ Hati- hati, Alya”, pesan Mama sekali lagi menjelang aku berbaring di kamar.
“Iya, ma. Doakan ya”, aku menjawab singkat.
Sudah lelah, seharian ini aku bertemu beberapa klien untuk presentasi desain furniture pesanan mereka. Dan besok, menikmati hari terakhirku di kota Singa ini aku ingin jalan-jalan menikmati Deepavali. Ada sesuatu yang menarikku ke sana. Tapi tentu saja aku harus fresh, dan karenanya tidak mau terlambat tidur.
**
Dari tempat menginap hanya perlu sepuluh menit jalan kaki ke utara menuju Little India. Di mulut Dickson Road, aroma khas rempah-bumbu kari, kunyit, merica, ketumbar, cengkeh, kapulaga, jinan- menjadi pertanda telah tiba di gerbang pemukiman berlatar budaya Tamil India, kelompok etnik ketiga terbesar yang menyumbang 9,2 % populasi di Singapura.
Aku masih mengingat nama itu. Ia hadir di antara kami. Suamiku almarhum, semoga Tuhan mengampuninya, membawa nama itu bahkan sejak sebelum kami menikah.
**
“Aku harus cerita ini sebelumnya”, ujar Fahri. Seminggu lagi pernikahan kami. Tadi selepas dari KUA untuk pemeriksaan surat-surat syarat menikah dan suntik TT bagi calon pengantin, kami mampir ke café sebelum pulang ke rumah. Aku hanya mengiyakan saja, mungkin ada hal penting yang ingin disampaikan Fahri.
Entahlah. Karena ada hal tidak biasa. Aku merasakan getarannya.
“Cerita saja,Fahri”, Aku agak gusar juga karena Fahri mencekatku dalam lorong rasa tak berpintu tak berjendela.
“Aku sudah pernah punya pacar sebelumnya. Namanya Farah”
Bukan sesuatu yang mengejutkan lah. Aku juga pernah punya, banyak malah. Tidak masalah, semua orang punya masa lalu. Yang harusnya merasa bersalah justru aku karena tak pernah menceritakan tentang apapun dengan Fahri, bahkan sampai saat ini. Apa aku harus mengaku juga, terlintas tanya dalam benakku.
“Dua belas tahun”, kembali Fahri menahan nafas.
“Aku mengenalnya sejak SMA. Kami pacaran dua belas tahun. Tapi harus putus karena tidak disetujui keluarga. Keturunan India, jadi perbedaan budaya menghalangi.”
Ada sejuta mendung menggelayut di kalimat Fahri.
Dan Duar!!
Ada sejuta petir menyambar ujung syarafku.. Aku tidak ingin terpenjara di penjara kepalsuan nan semu. Aku menelan ludah.
Hmmm…pantesan waktu itu pandangan orang-orang rumah Fahri seperti melihat seorang pahlawan dalam diriku. Seorang dewi yang lama ditunggu untuk menyelamatkan ….entah apa yang hendak diselamatkan.
Ya ya ya….yeach!!
arghhh!!!!
Seketika aku hendak berteriak sekencang – kencangnya. Sudah terlambat untuk bilang tidak. Tinggal seminggu lagi. Undangan sudah disebar, gedung sudah dibooking, catering dan seluruh persiapan sudah matang. Apa yang terjadi pada ibu jika ia mundur.
Oh oh oh…
Meski Fahri tidak menceritakan lebih lanjut bagaimana kisah kasihnya dengan Fara dan kelukaan yang dirasanya. Aku cukup tahu dan merasakan apa yang mungkin tertinggal.
“Maafkan aku tidak bercerita sebelumnya”
Suara Fahri terdengar berat. Terlambat, Fahri, terlambat.
“Nggak apa- apa, Fahri. It’s fine”, aku menutupi getir hatiku.
“Sudah yuk pulang” kuputuskan untuk menutup hari itu lebih cepat. Seketika romantisme menguap. Harapan mengabu. Asa melepas. Aku tak hendak menceritakan kegundahan hatiku pada siapapun. Tidak dua adikku. Tidak ibu. Tidak siapapun.
**
Deepavali tak ubahnya kemeriahan natal atau lebaran di tanah air, baju baru- makanan enak – dan hiburan hiburan. Di sini, ditetapkan sebagai hari libur nassional, semangat Deepavali menyelimuti semua etnis dan bangsa di Singapura tanpa memandang agama dan kebangsaan.
Aku membuka lagi alamat yang kutulis di hape-ku. Tujuan utamaku adalah Serangoon Road, jalur niaga utama di pertemuan Rochor Canal Road dan Bukit Timah Sungei Road,sampai Lavender Street. Sebulan sebelum puncak Deepavali, yang berlangsung sejak awal Oktober hingga awal November, sepanjang Serangoon Road sampai pertemuan dengan Bukit Timah Road gemerlapan oleh lampu hias.
Aku menemukannya tanpa sengaja di fesbuk setelah aku hampir melupakan nama itu. Nama yang membuatku penasaran karena setelah enam tahun pernikahan kami, Fahri tampaknya maih belum bisa melupakan Farah. Bahkan perjalanannya ke Jakarta malam kecelakaan di tol itu, adalah mungkin juga perjalanannya mencari Farah di samping tujuan utamanya mengerjakan proyek pembangunan pabrik Besi di sisi selatan Jakarta.
Setelah kematian suamiku di usianya yang sangat muda, 40 tahun, ada fesbuk yang menemani kesendirianku, mengantarku melanglang buana, bertemu teman-teman lama dan banyak teman baru. Dan itu juga awal pencarianku atas sebuah nama, Farah Diva.
“Kamu ada- ada saja, Alya. Itu namanya terobsesi”, sahabat mayaku, Faisal, menggodaku.
“Ya,bolehlah dibilang begitu. Penasaran saja”, jawabku.
Kami rajin chatting tiap hari. Faisal seperti soulmate saja bagiku. Semua keluhan . bahkan juga rahasia-rahasiaku mengalir begitu saja. Mungkin karena background-nya ia pernah kuliah psikologi dan kemudian komunikasi sehingga kepiawaiannya mengorek semua masalah yang menyumbat kanal-kanal jiwa.
“Terus kalau sudah ketemu, memang mau ngapain?”, godanya lagi.
“Hmm..nggak tau. Hanya ingin tahu saja. Kenapa? Salah ya?”, aku menyergah cepat.
Lalu aku punya puluhan teman maya dengan akun Farah, tetapi belum kutemukan Farah Diva seperti foto yang pernah diperlihatkan Fahri kepadaku. Di hari ketujuh pernikahan kami, di hari aku diboyong ke rumahnya.
Sampai kemudian aku bosan sendiri dan menghentikan pencarian. Melupakannya. Lalu Faisal yang kemudian malah memberiku sebuah informasi berkenaan Farah Diva yang kucari selama ini. Perjalananku ke Singapura untuk pekerjaan kali ini kumanfaatkan juga untuk menemukan perempuan dengan nama itu.
**
Semarak Deepavali membuatku terhanyut dalam arus orang-orang yang lalu lalang. Matapun tertuju pada aneka dagangan di sana kios kios buah dan sayuran segar –tomat, terong, okra (sejenis oyong atau gambas), diker, umuni.
Arus manusia yang kebanyakan pria dewasa India berkemeja rapi membawaku ke bazaar khusus Deepavali di naungan tenda . Faral, sajian khusus Diwali berisi penganan manis seperti karanji (pastel), ladoo (bola – bola manis), shankarpale (kue biji ketapang), anarase (kue beras) dan penganan berempah seperti chakli, sev, kadboli, dan chivda (kacang-kacangan dengan serutan kelapa) sungguh menggoda.
Sesekali kembang api dinyalakan menarik perhatian. Tampak juga pernak –pernik Diwali, ada toran, serbuk warna warni untuk membuat rangoli, hiasan pintu, kandil atau lentera kertas, diwali diyas atau pelita di cawan tanah liat dan lampu ghee –minyak samin.
Obsesiku terhadap Farah yang keturunan India, membuat pengetahuanku tentang budayanya itu semakin banyak. Ya, anggap saja ini sisi baiknya dari rasa terobsesi.
Aku tiba di seruas jalan kecil yang diapit deretan ruko-ruko – layaknya melewati lorong- yang didominasi mini market, kafe dan rumah makan khas India, termasuk bagi vegetarian. Kumanfaatkan kesempatan ini mengambil beberapa foto dengan kameraku.
Tiba di Serangoon Road, bukan berarti kerumunan berkurang di sepanjang jalan dan gang. Hanya saja di tempat ini, aku lebih leluasa mengamati pria wanita dewasa yang mengenaikan pakaian terbaik. Anak-anak dan remaja juga pesta kostum.
Masuk ke sebuah toko perhiasan yang tertulis alamatnya di hape-ku ada desir mengalir di dadaku. Aku sedikit gugup.
“Ada yang bisa kami bantu”, Tanya seorang perempuan berkulit putih dalam bahasa Inggris.
“Saya ingin bertemu seseorang bernama Farah Diva. Dia pemilik tempat ini?”, aku bertanya ragu-ragu dalam bahasa yang sama.
Dia mengambil gagang telpon dan berbicara dengan seseorang di seberang sana.
“Boleh tahu nama Anda dan tujuan Anda bertemu nona Farah?”
Nona? Aku agak terkejut, tetapi kemudian menyembunyikan keterkejutanku.
“ Saya istri almarhum Fahri Halim. Hanya ingin bersilaturahim”, aku sengaja membawa nama almarhum suamiku untuk memudahkan pertemuan ini. Jika ini benar-benar Farah Diva yang aku cari, mungkin senjataku ini cukup ampuh.
Sejenak perempuan pramuniaga itu bercakap di telpon sambil tak henti memandangku.
“Silakan”, dia kemudian mengantarku ke sebuah ruang tamu di bagian belakang toko.
**
“Farah berboncengan dengan seorang pria di hari aku akan memintanya menikahiku. Dua belas tahun berhubungan, lima tahunnya menunggu persetujuan keluargaku ternyata membuat ia jenuh. Mungkin. Jadi ia pantas meninggalkan aku”, Fahri bercerita padaku suatu sore.
Aku masih melihat cinta di nada suaranya, di matanya. Farah tak pernah benar-benar pergi dari hatinya. Dan ini sungguh membuatku cemburu.
“Farah tidak melihatku ketika aku melihat itu. Kami sudah beberapa bulan sebelumnya memutuskan untuk rehat sementara. Tapi dia meninggalkan aku. Ya sudahlah”, Fahri menghela nafas panjang.
**
“Aku memang belum pernah menikah”, ucap Farah.
Ternyata benar, sama seperti foto yang kulihat Sembilan tahun lalu di lemari Fahri. Fahri menunjukkannya kepadaku dan setelahnya aku yang menyimpannya, tapi suatu ketika kemudian kukubur foto itu.
“Kamu menangis?”, tanyaku.
Ia kelihatan menghapus airmatanya.
Rasa marah dan cemburu yang membelitku bertahun –tahun lalu luruh demi melihat air matanya. Cinta memang aneh. Apa aku bisa melarang cinta yang tumbuh antara suamiku dengan kekasihnya yang datang sebelum aku? Aku saja yang mungkin kurang berhasil memindahkan cintanya itu beralih sepenuhnya padaku. Fahri adalah suami yang penuh kasih dan sangat bertanggung jawab. Kekurangannya hanya satu, ia memendam nama itu jauh di dasar lubuk hatinya.
“Almarhum? Kamu tadi bilang dengan pegawaiku, kalau Fahri almarhum? Kapan? Bagaimana ceritanya?”, ia memberondongku dengan pertanyaan- pertanyaan.
Aku menceritakan kejadian malam kecelakaan itu.
Ia semakin tergugu. Kupegang bahunya dengan mataku sendiri juga tak kuasa menahan airmata.
“Aku memang di Jakarta waktu itu. Tapi aku tidak pernah tahu kalau Fahri mencariku atau bermaksud menemui aku. Maafkan aku, Alya. Aku tak pernah bermaksud melukaimu”, ia semakin terbenam dalam tangisannya dan aku percaya.
Kami berpelukan erat dan kurasakan Fahri hadir di antara kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar