Di Antara Empat
Soko Guru
oleh Dian Nafi
Kamu masih ingat
dua belas tahun lalu, sayang? Di malam tahun baru seperti ini?
Saat itu tanpa
kuketahui alasannya dengan jelas, engkau menekuk mulutmu. Memalingkan wajahmu
dariku, padahal kita pengantin baru. Yang duduk bersanding di pelaminan
beberapa bulan lalu.
Aku baru saja masuk
kamar kita setelah tadi berkumpul dengan ibu dan adik-adikku di ruang tengah.
Menikmati tayangan akhir tahun di televisi seperti biasanya. Heran saja kenapa
kamu tak juga keluar dari kamar padahal kami berempat sudah teriak-teriak dan
seru-seruan mengomentari semua yang tampil di layar kaca malam ini.
“Mas, ada apa?” aku
mendekatimu dengan sebungkah penasaran.
Kamu diam saja.
Membisu. Bungkam.
Mungkin saja cecak di
dinding kamar sempit kita turut menahan napas menunggu kalimat-kalimatmu.
“Mas marah sama aku?
Tapi kenapa?” kuputar isi kepalaku untuk mencoba mencari tahu apa kesalahanku
padamu.
Tapi kamu masih
bergeming.
“Tolong mas kasih tahu
saya kenapa mas jadi marah?” aku terus mendesakmu.
Namun hanya wajah kusut
dan mbetatut yang kuterima.
Karena tak juga
mendapat jawaban darimu sementara suara iklan di televise sudah selesai, aku
pun beranjak.
“Mau ke mana?” akhirnya
kamu membuka suara.
“Nonton TV lagi,”
dengan nada ringan dan senyum terkembang aku menjawab.
Akhirnya kamu mau
bicara. Aih, senangnya.
Cecak yang tadi diam di
dinding sebelah atas kaligrafi bergerak cepat mengejar mangsanya.
“Kamu nih! Bukannya
menemaniku tetapi malah nonton TV terus!”
Aha! Oh jadi ini yang
membuatmu manyun.
“Aduh, maaas. Maaf
yaaaa..” aku menghambur memelukmu.
“Apa meluk-meluk?” kamu
merenggangkan pelukanku, menepiskan kedua tanganku dari pinggangmu agak kasar
tapi masih dengan hati-hati.
“Maaf ya maass…
Habisnya sudah menjadi kebiasaan di rumah ini kalau tahun baru-an kami pasti
sama-sama nonton televise karena acaranya seru-seru,” aku berusaha menjelaskan.
“Tapi kan itu dulu
sebelum ada aku,” wajah murammu masih di situ.
“Kenapa mas tidak
bergabung saja dengan kami. Kan sekarang mas anggota keluarga juga. Ayo yuk,”
aku menggamit lenganmu.
“Nggak! Aku nggak mau
nonton televisi,” masih kamu jaga nada suaramu agar tidak terlalu tinggi dan
keras.
Aku tahu kamu berusaha
agar ibu dan adik-adikku tidak mendengar perdebatan kita di malam yang seharusnya
dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Menurutku. Menurut kebiasaan keluarga
kami.
“Terus mas maunya
sekarang ngapain?” aku mengerjap-ngerjapkan mataku ke arahmu.
Siapa tahu kamu mau
mengulang malam pertama kita waktu itu. Yang justru terjadi bukan di malam
pertama setelah pesta pernikahan kita. Tapi seminggu sesudahnya karena
biasalah… ada bulan yang suka datang sehingga sedikit menunda kesenangan.
Membuat makin penasaran. Dan menjadikan gelombang yang datang makin besar dan
dahsyat.
Hmmm.. malam tahun baru
oke juga buat main gelombang-gelombang-an. Halagh.
“Ayo kita jalan-jalan
saja,” ajakmu akhirnya setelah tak kuasa menahan cemberut lagi. Tapi cukup malu
untuk langsung mengiyakan ‘ajakanku’ sebagai ‘permintaan maafku’.
**
Kita lalu menyusuri jalan
yang mulai ramai oleh orang-orang yang bertahun baru. Alun-alun penuh dengan
orang-orang yang bersuka ria. Suara dangdutan di atas pentas. Sahut menyahut
terompet dari segala penjuru. Klakson kendaraan dari arah kejauhan, dari jalan
raya yang berada dekat sisi timur alun-alun.
Aku mencoba menggandeng
tanganmu, mencairkan kebekuan di antara kita yang tadi sempat tercipta. Kamu
tidak menolaknya tapi juga tidak membalas genggamanku seperti biasanya.
Semarah itukah kamu?
Apa kamu cemburu dengan
ibu dan adik-adikku?
Atau memang aku yang
keterlaluan karena tidak peka dengan kemauan dan keinginanmu?
“Mas?”
Dan kamu masih diam
saja. Pandangan matamu jauh memandangi kerlap kerlip kembang api di tengah
alun-alun. Aku pun hanya bisa mengikutimu, menikmati malam tahun baru ini dalam
diam. Dalam sepi di tengah keriuhan suara terompet dan ledakan petasan di
mana-mana.
Beberapa pasangan muda
mudi bergandengan seperti kita menyusuri jalan dan menikmati malam. Tapi
wajah-wajah mereka tampak sumringah dan berbunga-bunga. Tidak seperti kita. Aku
yang terbelenggu tanya. Dan kamu yang memendam jawabnya.
Seekor kucing buluk
tampak berjalan cepat menyelinap di antara orang-orang yang duduk lesehan
menyantap makan dan jajanan. Kamu memberinya jalan melewati kita, sementara penjual
nasi-yang merasa kecurian ikan- meneriakinya. Kucing itu berlari cepat dan kamu
tak menghiraukannya. Aku ingin tertawa melihat betapa tak pedulinya kamu. Tapi
wajah cemberutmu mengurungkanku. Cukup berjalan di sisimu saja mungkin hal yang
terbaik yang bisa kulakukan saat ini. Jelas kamu sedang tidak ingin bergurau
dan melucu seperti biasanya.
Deretan warung makanan,
minuman dan jajanan pun tidak ada yang menggugah seleramu. Seleraku juga.
Beruntung sekali beberapa tahun terakhir aku melanglang berbagai kota. Sehingga
tak banyak orang yang kukenal dan mengenaliku di tengah kota kecilku malam
ini. Dan artinya aku tidak perlu
memasang senyum atau bersandiwara pada siapapun. Bagaimanapun berjalan-jalan
bersama suami sebagai pengantin baru tanpa kelihatan hangat dan mesra akan
menimbulkan tanda tanya.
Aku berharap langkah
kita agak lebih jauh sehingga bisa melewati masjid agung, tempat perjumpaan
kita pertama dulu. Tempat kamu mengucapkan akad nikahmu setengah tahun sesudah
itu. Mungkin menginjak pelatarannya, memasuki terasnya, berdiam di dalam
ruangan utamanya, bisa menyejukkan kita. Dan meredam kesal serta amarahmu. Atau
apapun itu yang mengganggu pikiranmu.
Aku masih ingat pertama
kali bagaimana kita bertemu. Kamu sedang tiduran di teras masjid kuno dengan
enam tiangnya yang dari majapahit itu. Aku dengan satu payung terkembang dan
satu payung lagi di tangan kiri, berjalan mondar mandir di pelataran masjid.
Mencari sosokmu. Satu jam sebelumnya kamu datang ke rumah karena disuruh ibumu
untuk menemuiku. Gadis yang dijodohkan denganmu. Tapi aku tengah pergi
kondangan, sehingga kamu pamit ke masjid untuk sholat dan istirahat.
Aku membangunkanmu dan
menanyakan namamu karena tak yakin. Aku menungguimu sholat. Lalu berjalan di
belakang dirimu yang tidak mengembangkan payung yang kuberikan. Membiarkan
titik-titik air membasahi rambut dan tubuhmu yang bagus. Kurasa sejak itu aku sudah
mulai jatuh cinta padamu. Sejak aku mengamati punggung dan pinggangmu saat kita
melintasi pelataran masjid menuju rumahku.
Aku berharap langkah
kita agak lebih jauh sehingga bisa melewati masjid agung, tempat perjumpaan
kita pertama dulu. Tempat kamu mengucapkan akad nikahmu setengah tahun sesudah
itu. Mungkin menginjak pelatarannya, memasuki terasnya, berdiam di dalam
ruangan utamanya, bisa menyejukkan kita. Dan meredam kesal serta amarahmu. Atau
apapun itu yang mengganggu pikiranmu.
“Yuk pulang ke rumah,” ajakanmu membuyarkan
harapanku barusan.
Tapi aku menurut saja. Karena
istri sholihah dalam pengertianku, pengertianmu juga, adalah yang sami’na wa
atho’na pada suami. Alias yang mendengar dan manut.
Langkah-langkah
pendekku mengejar langkah-langkah kaki panjangmu. Sementara suara batinku
sebenarnya masih bertanya-tanya. Yang bergema jauh di dalam lubuk hatiku adalah
apakah kamu sebenarnya sungguh mencintaiku? Mengingat bahwa sebenarnya kita
bertemu karena dijodohkan.
Apakah cemburumu tadi
pada ibu dan adik-adikku adalah pertanda cintamu?
Mungkinkah ini waktu
yang tepat untukku menanyakan perihal ini kembali?
“Mas..” bisikku lembut
sembari menyandarkan kepala di lenganmu waktu kita sampai di dalam kamar
kembali.
“Apa?” kamu menegakkan
punggung seolah hendak menghindari sentuhan kulitku atau godaan apapun
dariku.
Tuh kan. Nadamu kok juga
masih sadis gitu ya?
Aku jadi makin ingin
tahu sebenarnya kamu sungguh mencintaiku atau tidak? Atau belum?
Apa yang sesungguhnya
berdiam dalam pikiranmu tentangku? Tentang kita?
“Sebenarnya mas ini
cinta sama aku atau tidak?” malu-malu kutanyakan juga akhirnya.
Kulepaskan peganganku
untuk memberimu ruang. Sekaligus agar aku bisa leluasa mengawasi perubahan
ekspresi wajahmu.
“..”
Dan wajahmu datar.
“Mas?” setengah putus
asa aku merajuk.
“Pertanyaan opo kuwi?”
sembari bergeser dan menyandarkan punggungmu ke kepala ranjang.
“Kok gitu sih mas? Mas
ini cinta sama aku atau nggak?” aku bergeming, kekhawatiran merayapiku.
“Nggak perlu dijawab,”
acuh tak acuh nada suaramu.
Tanganmu meraih kaca
mata di atas meja nakas dan memakainya. Lalu meraih buku teka teki silang yang
kamu suka isi jika sedang sendiri di rumah ini. Saat-saat aku sedang berada di
kantor dan kamu hanya bisa menunggu dalam kamar. Karena tempat kerjamu sejam
dari kota kecil ini dan bisa tutup kapan saja. Sebuah toko alat tulis dan
tempat foto kopi yang kadang ramai kadang sepi.
“Mas nggak cinta aku
ya?” desakku sembari mengawasimu yang entah pura-pura atau sungguh-sungguh
mengisi TTS.
Ini jelas bukan malam
tahun baru yang lumrah. Tidak bisa disebut sebagai perayaan. Setidaknya
bercinta sebenarnya lebih baik daripada sekedar mengisi TTS. Tapi sebelum
membuat percintaan malam tahun baru ini istimewa, aku butuh tahu sesuatu.
Sebuah kejelasan.
Sebuah pengakuan.
Sebuah pernyataan.
“Kamu kok nanyanya
gitu?” kamu meletakkan buku TTS bercover foto artis ibu kota.
Semoga frase kata
barusan tidak membosankan meski klise.
“Saya mau tahu mas ini
cinta sama saya, nggak?” aku yakin cantik bukan ukuran cinta. Jadi meskipun aku
kalah cantik dengan artis di cover TTS itu, aku masihlah bisa dan patut
mendapatkan cinta. Dari suamiku sendiri.
“Nggak perlu dijawab,” pendek,
tegas.
Jawabanmu membuatku
tercekat.
“Ya Allah. Berarti mas
nggak cinta aku?” masih kuberi kesempatan untukmu memperbaiki kalimatmu.
Tapi kamu memilih
berbaring. Tidur tanpa mengajakku. Aku bisa saja membalasnya dengan keluar
kamar dan meneruskan nonton televise dengan ibu dan adik-adikku. Tapi aku
memilih berbaring di sampingmu. Dengan hanya bisa memandangi punggungmu.
Mungkin benar kamu
belum bisa mencintaiku. Mungkin benar cinta pertamamu yang keturunan India dan
bernama Farah Diba itu telah menghabiskan seluruh rasamu dan tak menyisakannya
untukku.
Tahukah kamu ini
menyiksaku?
**
Dan penasaran itu terus
menyiksaku bahkan setelah kepergianmu. Kucari nama Farah Diba melalui dunia maya
via socmed apa saja. Berdasarkan ingatanku akan fotonya yang kamu perlihatkan padaku
seminggu setelah pernikahan kita. Saat kamu boyong aku ke rumah orang tuamu. Tapi
tak kutemukan Farah Diba yang sama. Kamu mati membawa misteri. Apakah kamu hanya
mencintai Farah Diba seumur hidupmu, sehingga tidak berhasil mencintaiku.
Apakah semua pengorbanan yang kamu lakukan untukku dan keluarga
kecil kita itu bisa disebut cinta? Aku selalu ingin menanyakannya kembali tetapi
kamu keburu pergi.
Dua belas tahun berlalu
sejak malam tahun kita sama-sama waktu itu. Hanya enam tahun kita bersama. Enam
tahun berikutnya kulewati malam tahun baru tanpamu lagi. Kamu pergi terlalu
cepat. Hanya selang sepuluh hari setelah ulang tahunmu yang keempat puluh.
Tak terasa malam tahun
baru datang lagi. Dan seperti sebelum-sebelumnya, aku selalu teringat malam
tahun baru yang pertama kali kita lewati bersama. Dalam kejengkelanmu,
kepenasaranku dan kebekuan kita. Yang kubawa terus penasaran itu sampai
sepeninggalmu.
Malam ini langkahku
menapaki jalan-jalan yang dulu kita lewati malam tahun baru waktu itu. Dari
depan teras rumah ibuku menyusuri jalan sepanjang tepi alun-alun. Menikmati
malam yang berwarna oleh kembang api yang meluncur dari berbagai tempat. Juga
ramai oleh tiupan terompet.
Tidak seperti dulu saat
kita balik kanan dan bukannya melangkah jauh memasuki pelataran masjid, kali ini
aku melakukannya. Bulikku menceritakan sebuah
mitos padaku waktu itu, beberapa waktu setelah kita menikah. Untung saja aku bertemu
dengan kamu di masjid tua ini, katanya. Karena siapa saja yang bertemu dengan seorang
lawan jenis yang ditaksirnya di masjid ini, maka mereka akan menjadi pasangan. Wow!,
seruku waktu itu. Setengah percaya setengah tidak. Lalu bulik menyebutkan beberapa
nama pasangan yang kisahnya hampir mirip dengan kita. Bertemu di masjid tua dengan
enam tiang dari majapahit dan empat soko guru itu membawa keberkahan tersendiri.
Pertanyaan berikutnya adalah
apakah menjadi pasangan saja cukup? Apakah kita juga membutuhkan cinta selain mempunyai
pasangan?
Ke masjid ini aku kembali
melangkah. Mengingati kenangan kita waktu itu saat bertemu di terasnya dengan enam
tiangnya yang berasal dari keratin majapahit. Berbeda jauh dengan keadaan alun-alun
dan jalanan yang penuh sesak dengan orang-orang yang merayakan tahun baru, masjid
sepi. Hanya beberapa orang yang tampak sholat. Yang lainnya duduk-duduk dan tiduran.
Kutatap tempat dulu kamu
pernah berbaring. Melewatinya dengan mencoba mencium dan mengingat aroma bau tubuhmu.
Tapi aku tak berhasil. Enam tahun ternyata jarak yang cukup jauh. Pintu masjid berukiran
petir yang terkenal dengan nama pintu gledheg itu seperti mengundangku masuk. Langkahku
makin jauh. Di dalam masjid, semakin sedikit orang. Empat soko guru berdiri menantang
di tengah-tengah ruangan utama masjid. Saka sebelah tenggara adalah buatan
Sunan Ampel. Sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati. Sebelah barat laut
buatan Sunan Bonang. Sedang sebelah timur laut buatan Sunan Kalijaga. Yang dikenal
sebagai saka tatal karena tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan
disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu.
Aku pernah mendengar mitos
dari beberapa orang. Bahwa dengan memeluk salah satu soko guru itu, kita bisa mendapatkan
apa yang kita inginkan. Dan saat ini aku ingin mendapatkan jawaban. Setelah dua
belas tahun menunggu, apakah aku akan mendapatkan jawabannya sekarang, batinku meragu.
Kenapa tidak kupeluk soko guru ini bertahun-tahun lalu. Kenapa aku sekarang menjadi
sedemikian gila sehingga mempercayai mitos. Tapi bertanya-tanya saja hanya akan
membawa rasa penasaran ini semakin membesar. Dari tahun ke tahun. Aku tak ingin
melewatkan malam tahun baru tahun depan dengan pertanyaan yang sama.
Biarlah aku memeluk salah
satu soko guru. Tidak peduli apakah aku akan mendapatkan jawaban yang kutunggu dan
kuinginkan.
Biarlah aku memeluk salah
satu soko guru. Tidak peduli apakah orang akan menganggapku gila atau menganggapnya
sebagai tradisi baru dalam merayakan tahun baru.
Persoalannya sekarang adalah manakah dari antara empat soko guru ini yang akan kupeluk?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar