Bagaimana menjalaninya dengan baik, itulah PR-nya.
Nah, kemarin ada kultwit dari mbak Windy Gagase. Nih, aku copas-in ya :)
- kayaknya sudah lama gue nggak ngomongin soal penerbitan dan penulisan. well, sebuah email dari anak sma siang ini menggerakkan gue.
- sebelumnya harus gue sampaikan ini bukan tema yang enak dibahas. gue juga butuh menimbang-nimbang apakah gue mau membahas ini.
- namun, email anak sma ini bikin gue cemas. ia ingin jadi penulis, namun ia berpikir membatalkannya karena membaca twit seorang penulis.
- jadi, gue putuskan, mari kita membahasnya agar jelas di semua pihak atau siapa pun yang ingin menjadi penulis buku.
- si anak bertanya tentang isu lama. 'kata akun xxxxxx percuma nulis buku bagus kalau follower kita nggak banyak, kak. gak bakal laku.'
- si akun xxxxx tersebut adalah seorang penulis yang kebetulan penjualan bukunya tak cukup bagus. ia lalu memuntahkan kekesalannya ke sosmed.
- anak ini follower penulis tersebut. ia jadi gentar untuk mengirimkan naskahnya karena sejumlah alasan yang disampaikan penulis idolanya.
- begini, pertanyaan paling dasar yang gue ajukan, 'apakah ada penerbit di muka bumi ini yang berharap buku terbitannya tak laku?'
- gue berani bertaruh 100% gak bakal ada yang mau. setiap penerbit menerbitkan karya seorang penulis karena ia melihat sesuatu di naskah itu.
- untuk menerbitkan 1 judul beroplag min. 3000 saja, penerbit berinvestasi puluhan juta. belum termasuk biaya lainnya di luar ongkos produksi.
- di dalam dunia penerbitan, gue sendiri mengenal 4 kuadran terbitan. dan ini yang gue lihat selama hampir 10 tahun gue main di industri ini.
- 1. ada buku bagus yang penjualannya bagus; 2. ada buku bagus yang penjualannya tidak bagus; 3. ada buku jelek penjualan bagus; dan ....
- yang ke-4 inilah yang berusaha mati-matian dihindari penerbit: buku jelek yang penjualannya jelek.
- begitulah wajah pasar. tak ada seorang pun yang mampu menebaknya dengan tepat. gue sendiri nggak pernah bisa jawab kalo ada yang nanya ini.
- gimana caranya bikin buku bestseller, mbak w?' guys, kalau gue udah tahu, maka gue nggak bakal puyeng mikirin omzet yang naik-turun. ;p
- nah, kalau gue dan teman-teman di gagasmedia grup tahu rumusan bikin buku bestseller, kita udah jadi penerbit paling kaya di dunia, dong.
- yang kami tahu sebagai penerbit kami berupaya menebak pasar. penerbit mayor atau indie semuanya sama, kita berhadapan dengan pasar.
- jadi, ketika sebuah buku yang kami anggap bagus justru tidak direspons pasar, itu juga sebuah kekecewaan bagi penerbit.
- tapi apakah kami lantas menyalahkan pembaca (baca: pasar)? menyalahkan penulis karena membuat karya tak laku? tentu tidak. semuanya jadi pr.
- atau kalau sekarang, tiba-tiba menganggap faktor follower lah yang membuat sebuah buku laku. kawan, mari gue beri tahu: tidak.
- baru-baru ini gagasmedia menerbitkan sebuah novel karya anak sma yang tak main di jejaring media sosial. ia juga bukan seorang pesohor.
- bukunya #tearsinheaven mendapatkan respons positif. nama penulisnya angelia caroline. kami mempromosikan buku ini lewat media sosial.
- banyak juga penulis lama yang lahir sebelum era twitter tak memiliki follower hingga ribuan. namun, tetap saja penjualan bukunya bagus.
- media sosial buat gue hanya salah satu alat untuk mengetahui apakah seseorang punya 'konten'. dulu pada 2000-an, blog adalah alat itu.
- ketika twitter booming, maka mereka yang memiliki konten menarik yang biasanya mampu menarik audiens untuk mengklik 'follow'.
- Content from Twitter
- tarik mundur lagi. masih ingat zaman anita cemerlang? yang suka baca cerpen umumnya beli majalah ini. kenapa? karena kontennya.
- selamanya, menjadi penulis adalah persoalan apa yang kita sampaikan di tulisan kita. bukan soal follower. bukan soal siapa yang lo kenal.
- penerbit bertaruh soal 'konten' itu. sama seperti para penulis. penerbit bahkan tidak hanya berhenti pada persoalan laku-tidak laku.
- ketika buku terbitannya tidak laku, ia berhadapan dengan persoalan stok yang menumpuk di gudang & bagaimana mencari pasar alternatifnya.
- ketika sebuah buku tak direspons dengan baik, penerbit pun sebenarnya gelisah. pekerjaan rumahnya panjang. belum lagi menghadapi penulisnya.
- hal lain yang perlu dipahami, zaman berubah. penulis sekarang justru lebih memiliki alternatif sarana berpromosi yang lebih banyak.
- realitas: penerbit tak hanya mengurusi satu penulis. ia tak hanya memikirkan penulis yang bukunya telah terbit, tetapi juga yang belum.
- berdasarkan pendeknya pengalaman gue, gue merumuskan satu hal: alat berpromosi paling ampuh dari sebuah tulisan adalah penulisnya.
- sewajarnya penulis berjuang mati-matian menjadi juru bicara untuk karyanya. penerbit akan mendukungnya sesuai kapasitas.
- di industri perbukuan dan penulisan: content is the king. itu tak pernah terbantahkan. namun, 'pasar' selamanya adalah sebuah misteri.
- berhentilah menyalahkan banyak pihak. menyalahkan jumlah follower, menyalahkan selera baca, menyalahkan penerbit.
- kalau ingin jadi penulis, maka menulis. kalau ingin tahu bagaimana menulis yang baik, maka bacalah banyak buku dan menulislah lagi.
- kalau kau menjadikan follower atau penjualan yang buruk sebagai alasan untuk tidak atau berhenti menulis, maka gue hanya bisa bilang 2 hal.
- penulis adalah profesi yang menuntut ketahanan mental.
- kedua, penulis bukan profesi untuk para pemalas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar