Deportasi orang tampan yang dilakukan pemerintah saudi merupakan contoh dalam hal ini. Apa kepentingan masyarakat indonesia dengan kebijakan ini? Sampai mereka harus gempar, bahkan memberikan komentar tanpa arah. Meskipun setidaknya ada satu pelajaran yang bisa kita tangkap dari fenomena ini, bahwa komentar masyarakat kita terhadap kasus tersebut menunjukkan bagaimana tingkat pemahaman mereka terhadap syariat islam.
Berikut beberapa catatan yang bisa kita perhatikan terkait kasus deportasi tersebut,
Pertama, sejatinya kebijakan semacam ini pernah dilaksanakan di zaman khalifah Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu.
Suatu ketika Umar radhiyallahu ‘anhu jalan-jalan di malam hari, melaksanakan tugas sebagai khalifah. Tiba-tiba ada seorang perempuan yang memanggil-manggil nama Nashr bin Hajjaj. Dia berangan-angan untuk bertemu Nashr, sampai tidak bisa tidur. Wanita ini bersyair,
هل من سبيل إلى الخمر فأشربها ….. أو هل من سبيل إلى نصر بن الحجاج
Apakah ada jalan mendapatkan arak agar saya dapat meminumnya * * *
Atau apakah ada jalan untuk menemui Nashr bin Hajjaj.
Dia sedang mabuk kepayang, jatuh cinta dengan Nashr bin Hajjaj.
Pagi harinya, Umar mencari identitas Nashr bin Hajjaj. Ternyata dia berasal dari Bani Sulaim. Seketika Umar radhiyallahu ‘anhu menyuruh Nasrh untuk menghadap. Ternyata Nashr bin Hajjaj ialah orang yang pandai bersyair, sangat bagus rambutnya dan sangat tampan wajahnya.
Kemudian Umar memerintahkan agar rambutnya digundul. Dia pun menggundul rambutnya. Tapi ternyata dia semakin tampan. Lantas Umar memerintahkan agar dia memakai surban. Setelah memakai surban, justru menambah ketampanananya dan menjadi hiasan baginya. Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak akan tenang bersamaku seorang laki-laki yang dipanggil-panggil oleh perempuan.” Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu memberinya harta yang banyak dan dia mengutusnya ke Bashrah agar dia melakukan perdagangan yang dapat menyibukkan dirinya dari memikirkan perempuan dan menyibukkan perempuan dari dirinya.
Kisah ini disebutkan oleh sejumlah ulama. Diantaranya Syaikhul islam dalam kitab Istiqamah dan Majmu’ Fatawa, Ibnul Qoyim dalam Badai Al-Fawaid, Al-Alusi dalam Tafsirnya; Ruhul Ma’ani, dan As-Syinqithi dalam Adhwaul Bayan. Kisah ini dishahihkan Al-Hafidz Ibn Hajar dalam Al-Ishabah (6/485).
Kedua, bagi orang yang belum memahami rahasia dibalik kesempurnaan syariat, akan bertanya-tanya, apa urusan Umar dengan ketampanan Nashr bin Hajjaj?
Tentu saja yang dilakukan Umar bukan karena beliau iri dengan Nashr atau semata karena kurang kerjaan. Pemimpin sekelas Umar sangat jauh dari dugaan semacam ini.
Untuk bisa mengerti latar belakang keputusan Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, kita perlu memahami satu kata kunci bahwa syariat islam adalah syariat yang membuka setiap jalan kebaikan dan menutup semua celah keburukan.
Jika kita perhatikan aturan syariat, kita bisa menyimpulkan bahwa syariat islam sangat antusias untuk membuka setiap celah kebaikan dunia-akhirat dan menutup rapat setiap celah keburukan dunia-akhirat. Karena itulah, dalam urusan yang haram, islam tidak hanya melarang yang haram saja, tapi juga melarang semua celah yang bisa mengantarkan kepada yang haram. Islam mengharamkan zina, islam juga mengharamkan setiap celah menuju zina. Islam mengharamkan riba, islam juga mengharamkan setiap celah menuju riba, seperti jual beli ‘inah, dst. Semangat seperti inilah yang sering dikenal oleh para ulama ushul fiqih dengan istilah Saddud Dzari’ah : menutup celah setiap jalan yang bisa memicu timbulnya perbuatan yang terlarang.
Syaikhul Islam mengatakan,
إن الشريعة جاءت بتحصيل المصالح وتكميلها وتعطيل المفاسد وتقليلها فالقليل من الخير خير من تركه ودفع بعض الشر خير من تركه كله …
“Sesungguhnya syariat datang untuk mewujudkan semua bentuk kebaikan dan menyempurnakannya, serta menghilangkan semua bentuk kerusakan dan menguranginya. Menjaga kebaikan yang sedikit, itu lebih baik dibandikangkan mengabaikannya. Mengurangi keburukan yang seidkit, itu lebih baik dari pada membiarkan semuanya.” (Majmu’ Fatawa, 15/312).
Setalah menyebutkan prinsip penting di atas, selanjutnya Syaikhul islam menyebutkan kisah Nashr bin Hajaj bersama Umar,
ومما يدخل في هذا أن عمر بن الخطاب نفى نصر بن حجاج من المدينة ومن وطنه إلى البصرة لما سمع تشبيب النساء به..
Termasuk upaya mewujudkan semangat ini adalah sikap Umar bin Khatab yang mendeportasi Nashr bin Hajjaj dari kota asalnya Madinah ke kota Bashrah. Karena beliau mendengar beberapa wanita menyanjung-nyanjung dirinya…
Ketiga, Apakah Ini Hukuman?
Jika kita perhatikan, sejatinya semacam ini bukan hukuman. Andaipun disebut hukuman, sejatinya hanya hukuman yang sangat ringan. Karena orang ini hanya dideportasi ke tempat lain, dan selanjutnya dia bisa beraktivitas sebagaimana umumnya masyarakat. Dia tetap mendapat hak kelayakan hidup.
Dan kebijakan pemerintah muslim dalam hal ini adalah menjaga timbulnya peluang maksiat yang lebih besar. Sehingga tujuan sejatinya adalah sebagai pendidikan bagi umat.
Ini sebagaimana dijelaskan Syaikahul islam dalam lanjutan fatwanya,
فهذا لم يصدر منه ذنب ولا فاحشة يعاقب عليها؛ لكن كان في النساء من يفتتن به فأمر بإزالة جماله الفاتن فإن انتقاله عن وطنه مما يضعف همته وبدنه ويعلم أنه معاقب وهذا من باب التفريق بين الذين يخاف عليهم الفاحشة والعشق قبل وقوعه وليس من باب المعاقبة
Dalam kasus ini, Nashr bin Hajaj sebenarnya tidak melakukan dosa maupun perbuatan keji, sehingga dia layak dihukum. Akan tetapi mengingat ada beberapa wanita yang tergila-gila dengannya maka beliau perintahkan untuk mengurangi kadar kegantengan pemicu fitnah. Dengan dia dideportasi dari negerinya akan mengurangi pikiran yang tidak karuan, fisiknya dan dia akan menyadari bahwa dia sedang dihukum. Semacam ini hakekatnya adalah menjauhkan orang dari kekhawatiran timbulnya perbuatan keji dan mabuk cinta, sebelum itu terjadi, dan bukan sebagai hukuman. (Majmu’ Fatawa, 15/313).
Keempat, Bukankah Ini Merugikan Satu Pihak?
Kita sepakat ini akan merugikan pihak yang dideportasi. Padahal dia tidak melakukan kesalahan. Tapi harus ada yang dikorbankan demi berlangsungnya pendidikan bagi umat. Dalam kajian fikih, semacam ini termasuk bentuk mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan individu. Para ulama meletakkan kaidah,
يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر عام
Diambil kerugian yang lingkupnya kecil untuk menghindari kerugian yang lingkupnya umum. (Al-Wajiz fi Idhah Qawaid Al-Fiqh Al-Kuliyah, hlm. 263).
Mengorbankan hak orang yang dideportasi, itu pasti. Tapi pengorbanan ini akan lebih ringan dibandingkan kemaslahatan yang bisa dinikmati banyak orang. Setelah memahami ini, berlebihan ketika ada orang yang menggugat fenomena tersebut atas nama HAM.
**
Kisah tentang Nashr bin Hajjaj dapat di baca pada Bada’i al Fawaid (Ibn Qayyim Al Jauziyyah), Rûhul Ma’âni (Al Alusi), Adlwâ’u al Bayân (Asy Syinqithi), dan Ibnu Hajar menshahihkan sanadnya dalam Al Ishobah.
**
Kisah yang lain :
Nashr adalah pemuda paling tampan dimasa itu di Madinah. Sosoknya sangat tekun beribadah, dan memiliki sifat kalem (Gayanya cool kalo jaman sekarang gitu loh). Secara diam-diam, Nashr adalah pemuda idaman kaum hawa saat itu. Dia begitu disukai gadis-gadis.
Sampai suatu saat Umar Bin Khattab mendengar seorang perempuan menyebut nama Nashr dalam bait-bait puisi kerinduanyang dilantunkan di malam hari. Mendengar itu, Umar mencari sosok yang disebut dalam puisi tersebut. Terpanalah Umar melihat ketampanan dan kekerenan dari Nashr bin Hajjaj ini. Umar mengatakan : “Ketampananmu telah menjadi fitnah bagi gadis-gadis di Madinah.”
Maka, selaku khalifah yang arif, Umar mengirim Nashr ke Basra (Irak). Disini Nashr dititipkan pada sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri yang telah bahagia kehidupannya. Namun lagi-lagi ketampanan Nashr menimbulkan masalah, karena istri dari tuan rumah tersebut jatuh hati pada Nashr. Dan lebih parah lagi, Nashr ternyata juga jatuh hati pada kecantikan dan kebaikan budian istri keluarga tersebut.
Suatu ketika, Nashr berkumpul dengan tuan rumah yang terdiri dari suami dan istri tersebut. Nashr menulis sesuatu dengan tangannnya diatas tanah yang kemudian dijawab oleh sang istri dengan tulisan juga. Karena buta huruf, suami yang sudah curiga itupun memanggil sahabatnya untuk membaca tulisan itu setelah acara berkumpul tersebut selesai. Sahabatnya mengatakan bahwa tulisan yang terdapat ditanah yang ditulis oleh istrinya dan Nashr berbunyi : “Aku Cinta Padamu..”
Nashr tentu saja malu. Akhirnya dengan menanggung beban malu, Nashr memutuskan meninggalkan rumah keluarga itu, dan hidup sendiri disebuah gubuk terpencil. Namun, perasaan cintanya pada sang istri keluarga tersebut tak mampu dia hapus. Nashr menderita karenanya, hidup merana karena Cinta.
Sampai akhirnya Nashr jatuh sakit dan badannya kurus kering karena menanggung derita cinta yang tiada akhir (kata mutiara cinta Pat Kai). Melihat peristiwa itu, suami perempuan itu kasihan melihat kondisi Nashr bin Hajjaj yang tadinya tampan rupawan, jadi kurus kering dan sakit parah. Dia menyuruh istrinya untuk mengobati Nashr.
Betapa gembiranya Nashr ketika melihat perempuan itu datang. Tapi cinta mereka tak mungkin berakhir di pelaminan. Memang mereka berdua tidak melakukan dosa perselingkuhan badan. Namun mereka sangat menderita karena hal itu, dan Nashr akhirnya meninggal karena kepedihan jiwa yang cintanya tak mampu memiliki wanita idamannya.
Itulah derita panjang dari sebuah cerita cinta yang tumbuh di ladang yang salah. Tragis memang, tapi perasaan cinta memang tak mampu dibendung, sehingga Nashr lebih rela membayarnya dengan kepedihan hati dan derita karena cinta hingga akhir hayatnya.
Pastilah cinta yang seperti itu akan menjadi penyakit. Sebab cinta sebenarnya, cinta antara pria dan wanita, hanya akan menemukan kekuatannya dengan sentuhan fisik. Makin intent sentuhan fisiknya, makin kuat dua jiwa dan dua cinta saling tersambung.
Maka, ketika sentuhan fisik menjadi mustahil, cinta seperti yang dialami Nashr akan berkembang menjadi penyakit. Itulah sebabnyacinta antara pria dan wanita sebaik-baiknya adalah dengan menyatukan hati dan fisik mereka di
pelaminan atau pernikahanSampai suatu saat Umar Bin Khattab mendengar seorang perempuan menyebut nama Nashr dalam bait-bait puisi kerinduanyang dilantunkan di malam hari. Mendengar itu, Umar mencari sosok yang disebut dalam puisi tersebut. Terpanalah Umar melihat ketampanan dan kekerenan dari Nashr bin Hajjaj ini. Umar mengatakan : “Ketampananmu telah menjadi fitnah bagi gadis-gadis di Madinah.”
Maka, selaku khalifah yang arif, Umar mengirim Nashr ke Basra (Irak). Disini Nashr dititipkan pada sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri yang telah bahagia kehidupannya. Namun lagi-lagi ketampanan Nashr menimbulkan masalah, karena istri dari tuan rumah tersebut jatuh hati pada Nashr. Dan lebih parah lagi, Nashr ternyata juga jatuh hati pada kecantikan dan kebaikan budian istri keluarga tersebut.
Suatu ketika, Nashr berkumpul dengan tuan rumah yang terdiri dari suami dan istri tersebut. Nashr menulis sesuatu dengan tangannnya diatas tanah yang kemudian dijawab oleh sang istri dengan tulisan juga. Karena buta huruf, suami yang sudah curiga itupun memanggil sahabatnya untuk membaca tulisan itu setelah acara berkumpul tersebut selesai. Sahabatnya mengatakan bahwa tulisan yang terdapat ditanah yang ditulis oleh istrinya dan Nashr berbunyi : “Aku Cinta Padamu..”
Nashr tentu saja malu. Akhirnya dengan menanggung beban malu, Nashr memutuskan meninggalkan rumah keluarga itu, dan hidup sendiri disebuah gubuk terpencil. Namun, perasaan cintanya pada sang istri keluarga tersebut tak mampu dia hapus. Nashr menderita karenanya, hidup merana karena Cinta.
Sampai akhirnya Nashr jatuh sakit dan badannya kurus kering karena menanggung derita cinta yang tiada akhir (kata mutiara cinta Pat Kai). Melihat peristiwa itu, suami perempuan itu kasihan melihat kondisi Nashr bin Hajjaj yang tadinya tampan rupawan, jadi kurus kering dan sakit parah. Dia menyuruh istrinya untuk mengobati Nashr.
Betapa gembiranya Nashr ketika melihat perempuan itu datang. Tapi cinta mereka tak mungkin berakhir di pelaminan. Memang mereka berdua tidak melakukan dosa perselingkuhan badan. Namun mereka sangat menderita karena hal itu, dan Nashr akhirnya meninggal karena kepedihan jiwa yang cintanya tak mampu memiliki wanita idamannya.
Itulah derita panjang dari sebuah cerita cinta yang tumbuh di ladang yang salah. Tragis memang, tapi perasaan cinta memang tak mampu dibendung, sehingga Nashr lebih rela membayarnya dengan kepedihan hati dan derita karena cinta hingga akhir hayatnya.
Pastilah cinta yang seperti itu akan menjadi penyakit. Sebab cinta sebenarnya, cinta antara pria dan wanita, hanya akan menemukan kekuatannya dengan sentuhan fisik. Makin intent sentuhan fisiknya, makin kuat dua jiwa dan dua cinta saling tersambung.
Maka, ketika sentuhan fisik menjadi mustahil, cinta seperti yang dialami Nashr akan berkembang menjadi penyakit. Itulah sebabnyacinta antara pria dan wanita sebaik-baiknya adalah dengan menyatukan hati dan fisik mereka di
dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar