AKU PEREMPUAN YANG HADIR DAN MENGALIR
Abidah El Khalieqy
Aku perempuan yang hadir dan mengalir
membawa kemudi
panji matahari
Aku perempuan yang kembali
dan berkemas pergi
Kalimat di atas, merupakan bagian dari bait puisi "Aku Hadir" yang saya tulis pada lima belas tahun lalu. Ketika itu, saya masih menenteng tas bekas mahasiswa dan ikut aktif dalam berbagai forum kajian: dari dan untuk perempuan. Meski tidak semua-mua merupakan inspirasi bagi saya menulis (karena saya sudah menulis sejak berada di Pesantren Putri Modern "PERSIS" Bangil), ia telah meniupkan energi kreatif untuk memasuki dunia dalam diri, dan kemudian keluar menyeberangi realitas di luar diri, dengan cara membaca dan menulis.
Maka kembaralah saya ke dalam hutan kata-kata. Menggeledah tema-tema keperempuanan, lebih menyuruk ke dasar ceruk paling dalam. Tapi saya tetap saja kembali, tidak pernah merasa bebas dari ikatan historis, kultural dan teologis untuk menjelajahi dunia yang berada di luar status saya sebagai seorang perempuan. Dan itulah kesadaran utama saya ketika berkemas dan pergi, menulis puisi dan prosa. Hinggalah lahir metafora, alusi, simbol, tokoh dan karakter yang tak henti-henti memburu eksistensi, ide-ide feminitas dari sifat dan kebijaksanaan Ilahi. Menggali semesta luka dan keindahan bumi. Intelektualitas cinta, transendensi dan spiritualitas yang tersimpan dalam kompleks kehidupan, aurora tubuh dan jiwa perempuan.
Aku menulis karena Aku perempuan.
Begitulah kira-kira. Saya tak mungkin bersuntuk ria dengan tema-tema yang selama ini saya geluti, jika saja saya terlahir dengan kelamin laki-laki. Mustahil juga bagi saya untuk menulis sesuatu tanpa ada rasa tertarik dan terlibat sepenuh hati di dalamnya. Karena itu pula saya selalu berburu setiap subjek yang mengganggu pikiran, tubuh dan jiwa saya. Mengejar dan menangkapnya sampai ke dalam ruang yang paling rahasia. Ruang misteri, sifat keperempuanan Ilahiah.
Mengapa? Bukan semata karena perempuan adalah ladang materi, hujan inspirasi yang tak pernah henti, tapi juga tetesan ilham api, ayat keindahan yang mencuat selaksa marjan kehidupan. Perempuan juga, ternyata, adalah samudra raya bagi setiap buku dan kitab-kitab dunia. Dia mampu melahap karamkan sekaligus menyimpan bertumpuk luka dan kepedihan. Dan sastra-lah yang memiliki kekuatan untuk mengisahkan. Menggambarkan tokoh-tokoh baru dari turunan wajah Adam dan Hawa. Kesatupaduan karakter, serta jalinan kepribadian di antara keduanya, menjadi tema-tema yang menarik untuk dituang ke dalam sastra. Sebab sastra adalah pergulatan antara imajinasi dan realitas kehidupan. Dan kehidupan bukan milik lelaki cuma. Sehingga sastra perlu juga menelusuri ide, kisah dan inti cerita yang mencuat dari asal-usul penciptaan manusia. Mengapa Adam dan Hawa bertemu di Arafah? Tidak di Majapahit atau Mataram namun Jeddah (Moyang Perempuan)? Mengapa Adam monopoli kuasa, sementara Hawa memenuhi halaman dukalara?
Jadi, sastra dan perempuan itu memang dunia. Dunia yang dalam dasawarsa akhir ini banyak dikunjungi para penulis fiksi. Namun yang lebih penting, harapan sastra dan perempuan akan menjadi lebih bermakna jika ditulis oleh perempuan. Bagaimana seorang perempuan dapat menebar gagasannya melalui puisi dan prosa. Dan berusaha untuk dapat mengekspresikannya secara bebas dengan bahasanya sendiri. Bahasa perempuan. Memecahkan persoalan, dan konflik budaya dalam perspektif perempuan. Mengungkap inci-inci sejarah dunia dengan logika dan intuisi seorang perempuan.
Selain itu, sastra dan perempuan bisa juga ditarik secara khusus untuk mendekati bagaimana seorang perempuan menulis karya sastra yang berkaitan dengan unsur-unsur feminitas dalam dunia keperempuanan. Problematika ketubuhan dan jiwa perempuan. Masalah-masalah khusus yang hanya dimiliki dan bisa dirasakan oleh perempuan. Unsur-unsur feminitas dalam jiwa perempuan yang disebut "sophianic feminine" atau "perempuan bijaksana". Namun saya lebih suka menyebutnya dengan "shufiah al-mar’ah" atau "kebijaksanaan perempuan". Yang pertama lebih mengait pada sosok perempuan yang memiliki kemampuan untuk melahirkan kebijaksanaan ilahiah, serta dapat ditauladani dalam kehidupan manusia. Sedang kedua lebih maujud pada tindakan, karakter, dan ide-ide kebijaksanaan ilahiah yang mengacu pada unsur-unsur feminitas. Tanpa membedakan apakah itu dilahirkan oleh manifes tokoh perempuan atau laki-laki. Ide-ide "kebijaksanaan perempuan" dalam puisi, cerpen atau novel, bisa diberikan gambarnya sebagai visi tentang keindahan dan kebijaksaanan ilahiah, yang mampu mendorong unsur-unsur feminitas dalam pikiran, imajinasi dan kreativitas dalam kehidupan manusia. Namun bisa juga muncul melalui citra keindahan fisikal perempuan sebagai simbol untuk mendekati keindahan sifat-sifat ilahiah.
Persis seperti gejolak sang pecinta, yang mencari cara apapun agar bisa sedekat mungkin, sedalam mungkin, seintim mungkin dengan - sang tercinta. Dalam cinta, semua emosi dan semesta imaji adalah hujan bagi ladang sang kekasih. Maka saat cinta memanggil, ikuti ke mana dia pergi, sekalipun tubuh serasa dipotong dan ditusuk, lalu dipanggang di atas tungku api. Untuk itu, saya rela berkuyup mendatangi segala penjuru imaji, membaca realitas, fakta dan data setiap inci luka dan bahagia. Khusyuk dan syahdu. Lalu saya pikuni segala selain apa yang sedang merasuk dalam kepala. Maka jangan tanya berapa kali saya hampir kolaps karena diserang makhluk –migrain dan insomnia. Jika sudah begini, jangan tanya lagi untuk apa saya menulis? Sebab menulis, mencipta karya, tak bisa didefinisikan melalui hukum kapitalis. Kadangpun saya merasa bermukim di luar sistem budaya, politik dan ekonomi.
Begitulah jika sang penulis membuka hatinya paling dalam, menyiram mekarkan seribu mawar kehidupan. Ah! Subjektif kata orang. Tapi, adakah penulis di dunia ini yang tidak berangkat dari dunia subjektif? Karena sebuah karya sastra akan terasa lebih bernilai jika tergali dari hal-hal yang bersifat subjektif. Lebih menyuruk ke dunia dalam. Dunia sang pengarang. Itu pula sebabnya, saya tak percaya jika pengarang dianggap telah mati, the author was dead, mengkhianati anak sendiri.
***
Dalam percaturan sastra Indonesia mutakhir, eksistensi perempuan pengarang telah menjadi ratu tanpa mahkota. Berbagai karya fiksi yang lahir dari tangan mereka, terutama novel dan cerita pendek, merupakan fenomena tersendiri yang menarik untuk dicermati. Baik dari segi perkembangan estetik maupun dalam konteks perubahan sosial dan budaya.
Sebagai salah satu perempuan yang bergerak di dalamnya, saya sering berpikir untuk tidak terjurumus ke dalam sungai yang sama. Terbawa arus yang tidak tentu arah gelombang dan muaranya. Kepergian yang tak pernah kembali ke dalam rumah sendiri. Mungkin juga itu sebabnya, ketika menulis, saya tidak pernah berpikir tentang teknik, bentuk dan gaya. Dengan pola konvensional atau eksperimental dalam membangun arsitektur kata. Semua saya biarkan mengalir begitu saja. Kecuali ada gangguan liar yang berusaha merintangi otoritas kebebasan saya sebagai pengarang untuk - memainkan bahasa- ke dalam berbagai kemungkinan sastra. Dan dalam proses kemungkinan itu, saya lebih memusatkan pada pergulatan visi yang sekiranya dapat dihayati dan diterima secara estetis oleh pembaca. Karya sastra, menurut saya, tidak mesti berkutat pada kebebasan ekspresi, kerumitan, keanehan dan keganjilan manusia dalam menyeberangi dunia fana. Karenanya, sering juga saya berpikir, alangkah indahnya dunia fiksi ini jika para perempuan pengarang tidak mudah terjebak ke dalam otonomi (daerah) sastra yang belum jauh beranjak dari kendali tradisi dan budaya patriarki. Sehingga keberhasilan sastra, cerpen dan novel mutakhir dalam memasuki teknologi media, budaya populer dan pasar kapital, selayaknya disikapi secara kritis dan estetis.
Namun, sejauh apapun puisi, cerpen dan novel melangkahkan kakinya, pada akhirnya juga akan kembali, hadir dan mengalir menuju muara yang sama. Muara kemanusiaan. Di mana eksistensi pengarang, tak mungkin bisa dibunuh, kecuali bunuh diri melalui kata-kata yang tak bisa dikendali. Salah satu di antara kendali eksistensial bagi pengarang adalah subjektivitas. Kesadaran pribadi yang selalu membuntuti setiap kata, kalimat dan keindahannya. Kesadaran tematis karya-karya saya untuk memperjuangkan harkat, martabat dan derajat kaum perempuan; selain esei yang pernah saya tulis, dapat dibaca jejaknya melalui kumpulan puisi Ibuku Laut Berkobar (ILB) dan cerita pendek Menari Di Atas Gunting (MDG). Dan jejak itu akan menjadi lebih lengkap untuk dilacak melalui novel Perempuan Berkalung Sorban(PBS), Atas Singgasana (AS), dan Geni Jora (GJ), serta novel baru yang sedang diproses dalam penerbitan, untuk sementara saya kasih judul – Nirzona (NZ).
Jika dalam ILB dan MDG, juga puisi dan cerpen-cerpen lain yang tersebar di media, kesadaran saya untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk tertindas yang berteriak dari atas menara, di tengah rimba sejarah dunia, begitu kuat menyusupi imaji. Menyeberangi realitas jauh sekali. Maka perlulah bagi saya untuk kembali ke dalam kehidupan nyata. Untuk mengubah dan memperjuangkan visi keperempuanan melalui tokoh-tokoh pemberontak dan pelawan ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari, di tengah tradisi dan budaya, masjid dan pasar, juga keluarga. Dan sepertinya, tokoh-tokoh serupa hanya mungkin bergerak leluasa melalui cerita panjang yang disebut - novel.
Dalam novel PBS, pembelaan terhadap pemilikan tubuh dan hak-hak reproduksi perempuan merupakan tumpuan eksplorasi. Melalui tokoh Annisa dalam novel tersebut, seolah saya bernafas dan hidup dalam visi perjuangannya, "tubuhmu adalah milikmu, tak seorang pun yang boleh menguasainya, juga lelaki pasangan hidupmu". Sementara dalam AS, perjuangan lebih terarah untuk mengentaskan status dan posisi perempuan dari belenggu tradisi patriarkal dalam ruang domestik maupun publik. Kamila, tokoh utamanya, menjadi representasi dari perempuan pemberontak yang berusaha menemukan kesejatian dirinya di tengah ancaman dan kebusukan kaum lelaki. Karena itu, dalam menempuh kariernya, tokoh Kamila selalu berpindah dari kerja yang satu ke jenis pekerjaan lain. Kemudian menjadi lebih berhargadiri, bermartabat, ketika ia masuk dalam organisasi perempuan yang memiliki tujuan yang tidak berbeda dengan perjuangannya.
Sedangkan GJ melengkapinya dengan independensi dan otonomi kemandirian kaum hawa dalam konteks hubungan antar sesama, sejarah dan budaya. Terlepas dari penobatan GJ sebagai salah satu pemenang dalam Sayembara Penulisan Novel 2003 Dewan Kesenian Jakarta; novel ini menyiratkan subjektivitas ekspresi dan konsistensi saya untuk mengutuhkan kepribadian, kecerdasan dan keyakinan relegius dari tokoh perempuan dalam novel saya sebelumnya. Pengutuhan itu bukan saja saya telusuri dari latar sosial tokoh Kejora, tetapi juga emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi, diskriminasi maupun patrinealisasi tokoh-tokoh antagonis yang selalu berusaha untuk mengurung segala eksistensinya.
Sebagaimana gambar sampul GJ (karya Alfi), bunga yang terbakar api, saya bersetuju dengannya, karena memang di dalam novel ini, ada simbolisasi perempuan yang membakar bunga. Meremuk tradisi yang lapuk, baik dalam konteks sosial, budaya dan agama. Namun, sejauh apapun yang dilakukan, tokoh Kejora novel ini masih dikendali oleh logika spiritual yang cukup lekat dalam dirinya. Dan mungkin, tokoh-tokoh itu akan bertarung kembali dengan tradisi, dan nilai-nilai lokal yang penuh intrik politik dalam NZ. Sedikit promosi-lah, hehe…
Pada akhirnya, refleksi ini hanyalah bagian dari idealisasi kepenulisan saya. Meski ia tidak selalu hadir dan bersama saya di layar monitor, yang tumpah secara ekspresif dan intuitif, tak ada buruknya untuk dialih-sambungkan ke pembaca. Sebab, saya juga percaya, bahwa pembaca memiliki pandangan lain dari tuangan ini. Bahkan mungkin jauh berbeda, jauh menyeberang di luar kesadaran saya. Namun, dengan perbedaan itu pula, nuansa makna sebuah karya sastra akan menjadi lebih utuh dan kaya.***
(sumber : jendela taman budaya)
saya dan mbakAbidah El Khalieqy di malam anugerah novel DKJ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar