Aku mulai bosan. Kanan kiriku tak lagi memberi pemandangan indah,
hanya gundukan tanah berwana coklat dengan sedikit hehijauan. Perjalanan
Semarang- Wonosobo ini bukan kali pertama untukku. Aku pernah studi
ekskursi bareng teman-teman kampus sekitar tahun 1996, berarti lima
belas tahun yang lalu. What?! Setua itukah aku?
Pandanganku lepas ke pemandangan yang sekarang beralih menjadi deretan
rumah-rumah penduduk. Beberapa mustaka masjid nampak dominan di antaranya.
Kota ini mengingatkanku pada Lombok yang terkenal dengan sebutan pulau
seribu masjid, hmm..seribu atau sejuta ya?
Beberapa kali sms dari teman-temanku masuk. Mereka baik sekali
mau menungguku padahal aku belum jelas kapan sampainya. Perjalanan kali
ini memang penuh perjuangan. Aku mendapat ijin dari ibu hanya beberapa
menit terakhir sebelum keberangkatan.
Ibu termenung melihatku yang sudah siap pergi, dengan suara tertahan
ia bertanya “Jadi ke Wonosobo?”
“Iya, bu. Doakan ya bu.”
Aku tidak ingin pergi dalam keadaan tidak direstui. Jadi aku meski
berhati-hati sekali meski jelas caraku pergi memaksa beliau tak punya
pilihan lain. Aku bersikeras meski berulang kali ibu menyatakan keberatannya.
“Ya. Hati-hati.”
Oh yes!
Ternyata di terminal Terboyo Semarang, aku dihadang calo. Kuatir semakin
kesiangan aku mengambil saja tiket yang ia sodorkan dan kubayar dengan
segera. Well well ! Benar saja dugaanku, aku dioper ke bis lain ketika
sampai di Bawen. Peduli amat dengan calo sinting dan kernet sialan yang
ternyata mengoperku ke bis lain tanpa membayar kernetnya. Jadi aku terpaksa
membayar lagi. Tapi aku takkan membuang energiku dengan mengomel, aku
pergi untuk bersenang-senang.
Bis yang berjalan sangat lambat ini semakin membuatku tak sabar. Beberapa
pesan pendek dari twin dan mas Gus bersahut-sahutan dengan balasan sms-ku.
Beberapa kali twin juga menelpon. Ponsel berbunyi lagi saat tiba-tiba
saja tanpa ada yang memberi tahu sebelumnya, bis berhenti. Sopir dan
kernet turun untuk sarapan dulu di warung pinggir jalan.
“Sampai di mana? Kok lama sekali”
Suara temanku terdengar jelas mengkhawatirkan keadaanku, mungkin agak
sedikit tercampur rasa tak sabar. Secara, perjalanan mereka yang seharusnya
sudah dimulai satu jam yang lalu masih harus tertunda lagi sampai entah
berapa menit lagi.
“Ini sopirnya sarapan dulu. Eh, aku naik ojek saja ya biar cepat,”
Aku langsung mengambil inisiatif meski tak tak tahu persis berapa
kilometer lagi rumah temanku.
Aku benar-benar buta arah dan lokasi. Yang kuyakini hanya aku menyampaikan
informasi yang benar kepada tukang ojeknya, bahwa aku minta diturunkan
ke pangkalan ojek selokromo. Dan tukang ojek ini pastilah orang terpercaya
karena ini bukan Jakarta. Jadi aku berusaha menikmati perjalanan di
atas dua roda itu.
Angin hangat dhuha pegunungan menampar-nampar wajahku. Jajaran pohon
membentuk dinding hijau yang bersela-sela dengan rumah-rumah. Beberapa
kali aku melihat langit yang mulai berawan. Di kakinya tampak pegunungan
dari kejauhan. Aku menghirup udaranya penuh-penuh. Kalau saja tasku
tidak terlalu berat, mungkin aku sudah berdiri dan merentangkan
kedua tanganku bebas ke atas. Beraksi seperti Rose yang menaiki ujung
dek Titanic bersama pacarnya.
Ternyata jauh juga selokromo itu. Sudut bibirku tertarik ke atas ketika
nama dusun tempat tinggal twin terucap olehku. Teringat guyonan sopir
bis tadi.
“Watu kawin, mbak?”
“He?” tanyaku tak mengerti apa maksudnya.
“Watu kawin,” dia mengulangi kata-katanya itu sampai tiga kali
baru aku sadar dia bicara tentang apa.
“Hehehe…iya, pak. Bisa aja bapak ini.”
“Iya kan? Selo itu waktu, kromo itu kawin,” jelas pak sopir mengundang
tawa para penumpang yang duduk di sekitar kursinya.
Motor ojek akhirnya berhenti. Aku memberikan uang sesuai yang dimintanya
setelah turun. Segera aku memberi kabar via sms pada twin bahwa aku
sudah sampai. Dan baterei ponselku hampir habis.
Nah! Sekarang benar-benar habis. Aku tak punya pilihan lain selain
menunggu. Aku duduk cemas sambil mataku berkeliling mencari kamar kecil.
Tapi pandanganku tertubruk tulisan besar di dinding tanggul sungai.
BLAWONG. WHAT!! Aku minta diturunkan di pangkalan ojek Selokromo dan
bukannya Blawong. Oh my! Oh my! Ambil nafas…ambil nafas. Allz is well.
Tidak masalah kalau aku salah turun, aku bisa naik lagi ojek untuk pergi
ke tempat yang benar. Jangan sampai twin menjadi kesal karena ketika
menjemputku di tempat kami janjian, di pangkalan ojek selokromo, tapi
aku justru ada di tempat lain, blawong.
“Pak..nyuwun sewu, nderek tangklet.”
“Pangkalan ojek selokromo puniko pundi njih?”
“Lha mriki niki, mbak.”
“Nyuwun pangapunten. Sebab wonten mriko seratanipun Blawong, pak.
Sanes Selokromo.”
Dua orang tukang ojek yang duduk di bangku bambu pangkalan ojek itu
tertawa renyah.
“Sami, mbak. Mriki niki nggeh pangkalan ojek Selokromo.”
Aku tersipu malu, tidak tahu persis bagaimana roman mukaku. Apakah
culun atau nampak bodoh atau cemas. Entahlah.
“Matursuwun, pak.”
Lega karena aku ada di tempat yang benar. Aku segera duduk kembali
di buk beton jembatan kecil yang menghubungkan jalan raya dan jalan
kampung, melintasi parit lebar di bawahnya. Keinginanku untuk berkunjung
ke rumah temanku terpaksa tertunda karena sepagi-paginya aku berangkat
dari Demak, tetap saja paling banter aku sampai di Wonosobo jam sembilan
atau sepuluh pagi. Sehingga tak ada waktu ke basecamp temanku dan keluarganya.
**
Wajahku pasti tampak sumringah ketika mobil sampai di depan mata. Aku cukup gelisah menunggu lebih dari seperempat jam di atas buk
jembatan itu sendirian. Ditambah rasa bersalah, karena mereka terpaksa menungguku tadi hampir dua jam.
Senangnya setelah tahu kalau ada teman-teman yang datang dari Solo, kota
kelahiran moyangku. Semuanya menjadi lebih cair dengan pembicaraan pembuka
ini. Dan aku bisa mengkorek beberapa ilmu dari senior kami sepanjang
perjalanan dalam mobil. Kami berangkat berwisata alam juga berwisata sejarah menuju Kawah Sikidang dan Candi Dieng. Canda tawa menjadi penghias sepanjang perjalanan.
Hanya saja hatiku bergejolak di tengah perjalanan. Apalagi saat mobil yang kami tumpangi melewati sekerumunan orang yang meluap memenuhi lapangan tempat diselenggarakannya acara pengajian bersama habib Syeikh. Betapa ironisnya, betapa mirisnya.
Hanya saja hatiku bergejolak di tengah perjalanan. Apalagi saat mobil yang kami tumpangi melewati sekerumunan orang yang meluap memenuhi lapangan tempat diselenggarakannya acara pengajian bersama habib Syeikh. Betapa ironisnya, betapa mirisnya.
Hampir saja aku melompat dari dalam mobil dan memilih bergabung dengan
jamaah habib Syeikh itu. Suara habib yang damai terdengar sayup dari
kejauhan seolah memanggil-manggilku. Sungguh kontras dengan pemandangan
yang terjadi dalam mobil. Karena aku justru berada dalam mobil bersama teman-teman yang entah bagaimana kondisi keimanannya, mengingat sepertinya agak-agak bebas pergaulannya.
Arggh!! Bagaimana aku yang dulunya aktivis ROHIS dan ibu nyai enom
sebuah pesantren bisa terjepit dalam kemaksiatan seperti ini? Apakah
aku benar-benar harus melepaskan diri dari rombongan ini dan bergabung
dengan habib Syeikh?
Tapi pikiran warasku langsung bekerja. Aku tak mungkin turun di sini.
Wonosobo bukan daerahku, aku sungguh buta dan mungkin tak tahu jalan
pulang seandainya aku nekat. Pikiran warasku yang lain membisikiku,
Tuhan tak mungkin membiarkan aku dalam situasi ini jika Dia tak ingin
aku melakukan sesuatu. Iya kan? Tapi apa yang bisa kulakukan? Haruskah
aku menegur mereka? Mungkin itu bukan sikap bijaksana. Bagaimanapun
aku bukan yang dulu lagi, yang kurang matang dalam bersikap. Tuhan pernah
menempatkan aku sedemikian rupa sehingga aku bisa memahami jalan pikiran mereka.
Pandanganku lepas ke luar jendela mobil yang kubiarkan terbuka. Angin
pegunungan menerpa wajahku,sejuk. Lukisan sang maha Kuasa di depan mata
sejenak mengalihkan perhatianku pada debat dalam nuraniku.
“Wow! Subhanallah!” seruku hampir bersamaan dengan yang lainnya.
Tampaknya semua yang ada di mobil takjub dengan hamparan sawah yang
menghijau.
Klik klik.
Kamera kami sibuk mengabadikan puisiNya yang sangat menawan.
Hijau dalam keteraturan terasering yang apik. Berpadu dengan coklat
bebatuan pegunungan menjadikannya harmoni seperti lagu merdu. Oh! Aku
mendengarMu, Tuhan. Sungguh, Alam raya ini, lekuknya, sudutnya, lengkungnya.
Bagaimanakah sampai aku mengira Engkau keliru menempatkanku di sini,
bersama mereka. Mereka juga hambaMu seperti aku. Bahkan dengan kesetiakawanan
yang mereka tunjukkan dengan mau menungguku satu jam lebih tadi pagi,
mungkin mereka bahkan lebih baik dariku. Jadi siapalah aku jika mau
menyombongkan diri dan merasa bersih?
Sesampai di tempat wisata, hujan makin mengguyur, namun kami tak mundur. Kebersamaan begitu terasa, apalagi saat harus menggunakan satu payung untuk bertiga sampai berlima orang.
Teman-teman baruku ini ramah-ramah dan aku haru, basah dan larut dalam kebersamaan bersama mereka sejak kilometer pertama perjalanan kami. Kemudian menjadi basah beneran karena kehujanan sama –sama di Dieng, kawasan wisata yang kami kunjungi untuk wisata sastra kali ini.
Kami tertawa dan berpose bersama di depan kawah. Di antara bau belerang menyengat, bebatuan dan pasir berwarna coklat kekuningan. Di bawah langit yang kemudian gelap oleh awan hitam yang berarak. Lalu hujan turun dari rintik sampai deras, sebentar terhenti sebentar kemudian deras lagi. Aku benar-benar basah. Basah oleh air, juga basah oleh cinta dan persahabatan.Tak sia-sia aku menempuh hampir enam perjalanan dari rumah ke Wonosobo. Aku mendapatkan charge energi untuk jiwaku. Terima kasih Tuhan untuk karuniaMu dan caraMu yang tak biasa.
Sesampai di tempat wisata, hujan makin mengguyur, namun kami tak mundur. Kebersamaan begitu terasa, apalagi saat harus menggunakan satu payung untuk bertiga sampai berlima orang.
Teman-teman baruku ini ramah-ramah dan aku haru, basah dan larut dalam kebersamaan bersama mereka sejak kilometer pertama perjalanan kami. Kemudian menjadi basah beneran karena kehujanan sama –sama di Dieng, kawasan wisata yang kami kunjungi untuk wisata sastra kali ini.
Kami tertawa dan berpose bersama di depan kawah. Di antara bau belerang menyengat, bebatuan dan pasir berwarna coklat kekuningan. Di bawah langit yang kemudian gelap oleh awan hitam yang berarak. Lalu hujan turun dari rintik sampai deras, sebentar terhenti sebentar kemudian deras lagi. Aku benar-benar basah. Basah oleh air, juga basah oleh cinta dan persahabatan.Tak sia-sia aku menempuh hampir enam perjalanan dari rumah ke Wonosobo. Aku mendapatkan charge energi untuk jiwaku. Terima kasih Tuhan untuk karuniaMu dan caraMu yang tak biasa.
Selamat Harlah Kabupaten Wonosobo yang ke-189 tahun. Semoga makin seksi dan eksotis!
Postingan artikel ini diikutsertakan dalam Giveaway #HariJadiWonosobo189
Tidak ada komentar:
Posting Komentar