Kasus hukum kerap menjadi masalah yang
tidak terhindarkan dari kehidupan kita. Beberapa kasus biasanya berakhir
dengan baik, buruk, atau justru tidak terselesaikan. Kasus yang tidak
terselesaikan biasanya adalah kasus besar yang melibatkan berbagai
pihak. Seperti kasus lumpur Lapindo yang terjadi pada akhir bulan Mei
2006 yang hingga kini, belum ada penyelesaiannya.
Lumpur Lapindo atau Lumpur Sidoarjo
adalah peristiwa jebolnya tanggul di lokasi pengeboran Lapindo Brantas
Inc. yang menyebabkan banjir lumpur panas. Kejadian ini berlokasi di
Kecamatan Porong, yang terletak sekitar 12 km sebelah selatan kota
Sidoarjo. Pada awalnya, lumpur hanya menggenangi empat desa dengan
ketinggian 6 meter. Namun banjir lumpur meluas dan hingga Agustus 2006,
telah menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Jumlah warga yang
diungsikan pun mencapai angka ribuan jiwa. Tidak hanya rumah warga yang
tidak dapat ditinggali, sejumlah tempat pendidikan, rumah ibadah, kantor
pemerintahan, sampai pabrik pun terpaksa ditutup. Atas semua kerugian
ini, apakah warga hanya bisa diam dan pasrah tanpa menuntut keadilan?
***
Seorang bapak membangkitkan semangat
warga dengan pidatonya di tempat pengungsian. Dia meminta para warga
untuk bersama-sama menuntut keadilan atas semua kerugian yang
ditimbulkan oleh pihak Lapindo. Namun, ternyata ada dua hukum yang
berlaku di negeri ini. Pertama, hukum perundang-undangan yang “ditulis
dengan tangan kanan”. Kedua, hukum uang yang “diberikan dengan tangan
kiri”. Semangat kebenaran dan keadilan yang dikoarkan ternyata tidak
seutuhnya berjalan mulus. Ada pihak yang menghentikan pidato bapak
tersebut dan berjanji akan memberikan jaminan asal para warga bersedia
mengungsi keluar pulau. Tentu usul tersebut ditolak dan si bapak tetap
menuntut “dikembalikan” desanya.
Pihak yang tidak mau disebutkan namanya
itu pun beralasan bahwa perusahaan sudah berupaya tiga kali menghentikan
semburan lumpur, tetapi tetap gagal. Belum lagi, biaya untuk membuat
tanggul setinggi gunung yang memakan biaya sangat besar, bisa membuat
perusahaan bangkrut. Jadi, pihak tersebut justru meminta negara untuk
memberikan ganti rugi, bukan mereka. Mereka juga membuat
kebijakan-kebijakan yang membingungkan dan kesepakatan hukum hitam di
atas putih. Pengajuan yang awalnya adalah ganti rugi, berubah menjadi
jual beli.
Keadaan pun berubah 180 derajat. Para
warga terpecah, ada yang ingin mempertahankan desanya, ada yang ingin
meminta ganti rugi dengan menjual mahal tanahnya, ada pula yang ingin
relokasi. Sayang, beberapa warga telah gelap mata karena sejumlah uang
yang dijanjikan perusahaan untuk membeli tanah warga. Para warga lupa,
bahwa pihak yang diuntungkan adalah yang membeli, bukan yang dibeli.
Lantas jika sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab?
***
Kisah di atas hanya satu dari tujuh kisah inspiratif tentang hukum yang terangkum dalam buku Mereka Menggugat.
Ketujuh cerita ini adalah cerita pemenang Sayembara Penulisan Kisah
dari Dunia Hukum yang diselenggarakan oleh Penerbit Visimedia Pustaka.
Tidak disangka, sebuah kasus hukum dapat menginspirasi para penulis buku
ini.
Jika hukum berbicara, kita semua sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, apakah semua hukum itu berujung pada keadilan? Buku Mereka Menggugat
memuat kisah- kisah inspiratif dari dunia hukum tentang orang-orang
yang haknya tertindas. Keadilan bukan hanya milik segelintir orang,
rebutlah!
sumber : http://www.visimediapustaka.com/hukum-praktis/435-apa-kabar-lumpur-lapindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar