Jazz, bogor dan aku
By dian nafi
Susah banget kayaknya harus
menghubungkan tiga hal yang tidak punya kaitan secara langsung. Tapi konon
kecerdasan seseorang itu datang kalau dia berusaha dan berhasil menghubungkan
hal-hal yang bahkan tidak punya keterkaitan. Jadi tema ini justru menantang. Hehe.
Aku kenal Bogor untuk pertama
kalinya ketika mengikuti study tour jaman SMA. Kami mengunjungi Kebun Raya
Bogor dan Museum di dekatnya kemudian ke Museum Lubang Buaya, Monas dan Masjid
Istiqlal di Jakarta. Waktu itu aku belum mengenal apa itu Jazz. Meskipun mungkin
tanpa sengaja menikmatinya ketika mendengarkan lagu-lagu golden memories di
salah satu stasiun radio favoritku. Waktu itu lagu-lagu favoritku macam
lagu-lagunya Rod Stewart.
Bogor berikutnya yang kuakrabi
adalah kampusnya beberapa kakak kelasku di
SMA yang melanjutkan studi dengan kuliah di IPB. Salah satu dari mereka adalah
apa ya namanya…penggemarku dan akupun mengaguminya, pokoknya kami saling
mengagumi, mensupport dan kirim-kiriman lagu juga. Sayangnya waktu itu kami
juga sama-sama belum mengenal jazz. Lagu andalannya malah lagu-lagu milik Yana
Julio and friends. Haha.
Kenal Jazz baru belakangan ini. Sekitar
tahun 2010. Seorang teman maya suka mengirimiku lagu-lagu mp3 via email. Awal-awalnya
lagu milik band-band indie. Lalu belakangan music jazz. Dia bilang orang-orang yang selera seninya
bagus biasanya selera musiknya juga keren dan tak biasa. Dia pula yang
mendorongku terus menerus untuk merintis jalan karir kepenulisan. Padahal waktu
itu aku masih asyik di dunia arsitektur. Selain membuat desain rumah tinggal
dan bangunan lainnya bagi para klien
yang memesan, aku juga membangun unit-unit rumah tipe kecil di lahan yang kami
bebaskan. Tentu saja untuk dijual langsung ke pengguna. Tapi keberuntunganku
memenangkan beberapa lomba menulis rupanya menarik perhatiannya. Dia mengasahku
melalui beberapa kali stimulasi yang dia lakukan sehingga tanpa sadar aku
mengeluarkan potensiku yang tersimpan cukup lama dan dalam. Dia membangkitkannya
lagi dan aku kecanduan. Bersama iringan alunan music-musik jazz yang dia
kirimkan, aku semakin rajin menulis dan menulis. Sehingga menghasilkan beberapa
buku antologi dan akhirnya buku-buku solo. Sayangnya kekaguman dan rasa terima
kasihku padanya mulai menipis ketika kusadari dia tidak hanya ‘mendekati’ dan ‘membimbingku’
seorang. Kuketahui belakangan hari kemudian ada seorang ibu muda tinggal di
Bogor yang juga menjadi pengagum beratnya. Kutahu ini adalah efek dari gaya
mentoringnya yang memang membuai. Seketika itu aku marah, kecewa, menyesal dan
segala rasa campur aduk jadi satu. Untuk beberapa waktu aku selalu merasa mual
tiap mendengar lagu-lagu yang pernah dia kirimkan.
Ada seorang pakar yang mengatakan
bahwa untuk menyembuhkan trauma bukanlah dengan menghindarkan seseorang dari
yang hal-hal yang mengingatkannya pada trauma. Tapi justru dengan menjadikannya
‘sahabat’ atau mengakrabinya. Jika saja mendengarkan kembali jazz di Bogor yang
diselenggarakan Moksa Event Management (bogorjazzreunion.com) bisa menjadi salah satu caranya, mungkin ini
bisa dicoba. Sekalian mampir ke Rumah Kata Indonesia (rki.or.id) karena aku
sudah berjanji akan datang mengunjunginya kapan-kapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar