Hutang Setahun Dibayar Ngopi Sehari
Oleh Dian Nafi
Aku menghindari dan tidak menghadiri
undangan ngopimu setahun ini tanpa kusadari. Permasalahannya bukan karena aku
tidak suka kopi. Aku bahkan kecanduan banget. Tetapi aku merasa tidak siap
bertemu denganmu.
Tengah tahun itu, kita sedang sama-sama
berada di Jakarta untuk kepentingan dan acara yang berbeda. Aku penulis yang
menghadiri sebuah acara award di Palmerah. Kamu pengusaha yang ikut pameran di PRJ. Kamu terus berusaha menghubungiku. Untuk secangkir kopi, katamu? Itu
malah membuatku takut. Aku ingat aku menghubungimu via inbox fesbuk beberapa malam sebelumnya. Apa yang membuatku tertarik
padamu adalah kesaksian seseorang yang sempat dekat denganku selama satu minggu
di sebuah Mei. Dari matanya aku menangkap kebesaran jiwa dan karismamu.
Membangkitkan benih kekagumanku sendiri setelah kekagumannya.
Lalu ajakan ngopi darimu datang
bertubi-tubi sejak itu. Terus menerus setiap bulan sekali. Juli di Jogja kamu
mengadakan ngopi bareng seluruh rekanan.
Seharusnya aku datang karena kita akhirnya bekerja sama, tapi aku
absen. Agustus di Semarang saat perusahaanmu ikut pameran, kamu mengajakku
ngopi juga tapi aku menghindar lagi. September di Jogja, Oktober di Semarang,
November di Jogja, Desember di Jakarta lagi. Dan aku masih juga ‘lari-lari’,
ketakutan sendiri. Karena dalam masa itu kita lambat laun menjadi sepasang
‘kekasih’ maya sebab komunikasi yang intens via black berry. Dan aku kuatir
akibatnya jika harus bertemu atau kopi darat. Takut jika aku terbuai dan jatuh
dalam pelukanmu, sementara sudah ada seorang istri setia di sisimu.
Januari kamu masih mencoba lagi
mengajakku bertemu dengan modus yang sama, ngopi. Aku lagi-lagi berhasil
menghindar. Februari kamu mengganti modus. Dengan alasan ingin bekerja sama
denganku, ajakan ngopi itu datang lagi. Aku yang makin rapuh saja merasa akan
jatuh terkulai padamu jika menyerah saat itu, jadi aku sengaja membiarkan
ajakanmu itu tak berjawab. Maret, April, Mei dengan sesekali kamu memasang
status betapa nelangsanya ajakan ngopi yang tak pernah bertaut. Aku hanya
tersenyum geli membacanya.
Kemudian kejutan sebelum Ramadlan itu
datang. Setelah akhir Juni kuhabiskan di Jakarta dengan kamu dari jarak jauh
masih terus mengawasiku, Juli datang. Aku yang baru saja turun dari Jakarta ke
Semarang, merasa harus menggunakan kesempatan sempit hari itu untuk pergi ke
Jogja. Setelah lelah terus menerus menghindarimu, aku merasa mungkin ini
saatnya berani bertemu. Karena candu yang dulu kurasai padamu pastilah sudah
berkurang seiring bertambahnya waktu.
Kupikir kita akan bertemu di Jogja saja
dalam satu kesempatan sepeminuman kopi seperti yang selama ini kamu todong.
Tapi Tuhan berkenan lain. Kamu juga sedang di Semarang pagi itu, jadi langsung
menawarkan diri untuk bersama-sama ke Jogja.
Di sinilah aku dan kamu, dalam mobilmu.
Menempuh lima jam perjalanan dari Semarang Jogja. Akhirnya ngopi juga berdua di
kafe Banaran di tengah perjalanan. Dan bahkan kamu mengantarku berkeliling
kampus UGM untuk kepentingan survey setting novelku. Menungguku dengan sabar di
parkirannya ketika aku berkeliling. Lalu mengantarku kembali dengan mobilmu ke
pool travel, sehingga aku bisa kembali pulang ke Semarang dengan nyaman.
That is unpredictable moment.
Dari rencana bertemu sepeminuman kopi di Juni tahun lalu, kita malah
bersama-sama dalam delapan jam. Ternyata aku akhirnya membayar hutang ajakan
ngopi setahun itu dalam pertemuan seharian. Hohoho. Ajaibnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar