THE OLD CITY AND THE YOUNG MAN
Oleh Dian Nafi
Memasuki kota tua ini, bayangan wajahnya semakin lekat dalam benak dan bahkan tampak nyata dalam pandangan mataku yang terpejam. Lesung pipitnya yang dalam, senyum yang khas dengan gigi gingsulnya, lengan kukuh dengan jemari lentiknya, bulu lembut di kulit coklatnya, kepasrahannya akan lekukanku yang luwes tiap pagi yang dingin dan senja yang meluruh. Lelaki muda itu, kukira aku yang mematahkan hatinya. Namun saat ini bisa kurasakan, akulah yang terbenam dalam ketidakadilan rekayasa ini. Aku yang terbujur kaku dalam kenangan yang tak mau sembunyi. Kental dan semakin mencengkeram kuat ketika diriku berada seinchi demi seinchi lagi memasuki kampung tempat tinggalnya, tempat aku pernah setahun menghisap kehangatan dan keluguannya.
**
“Apa artinya ini, mbak?”
Matanya yang sendu dan sayu mencari jawab dari rengkuhanku yang tiba-tiba begitu saja mengalun di bawah langit biru kota paling eksotik yang kukenal.
“Bukan apa-apa”
Tak mungkin menyembunyikan semburat malu di pipi karena bagaimanapun aku adalah perempuan. Meskipun usiaku lebih tua darinya empat tahun. Tapi bukan aku namanya jika tak mampu menutupi kebusukan ‘gejolak muda berangkat dewasaku ‘.
Dia hanya mendesah. Mungkin menikmati. Mungkin merasa berdosa. Atau entah apalagi yang dipikirkannya, aku tak tahu. Dan karenanya segera kulepas rengkuhanku tapi ia malah menarik tanganku kembali.
“Mbak keberatan?” tanyanya takut-takut.
“Sudah siang. Aku masuk dulu ya. Kamu juga harus ke kampus kan? Jangan sampai terlambat. Terima kasih ya sudah mengantarku.”
Aku tetap menarik tanganku, bahkan turun dari boncengan motor gedenya dan mengusirnya secara halus. Garis wajahnya terbaca sekali, kecewa dan murung. Tapi ia bergegas melibasnya dengan senyuman manisnya.
“Aku yang terima kasih. Nanti sore mau dijemput jam berapa?”
Oh. Anak yang manis dan tawaran yang juga manis sekali.
“Tidak. Terima kasih. Aku pulang sendiri saja. Hati-hati di jalan ya”
Kulambaikan tanganku dan berharap ia segera pergi dan berlalu. Aku tak mau ia membaca isi kepalaku kalau aku hanya memanfaatkannya saja. Bagaimanapun ia anak yang sangat baik, lugu. Dan entahlah, membaca sikapnya, bisa kupastikan mungkin aku wanita dewasa pertama dalam kehidupannya. Mungkin ia dulu hanya pernah mengalami cinta monyet saja karena aku pernah mendengar dari sepupuku yang tetangganya – aku tinggal bersama sepupuku ini- bahwa Radindra-nama cowok itu- pernah punya pacar yang tetangganya juga.
Radindra punya kriteria cowok yang aku sukai kecuali satu, ia terlalu muda. Dan jelas-jelas tidak masuk criteria bagi ibuku yang konservatif. Dan aku, tak pernah sekalipun menggugat ibuku dan aturan-aturannya karena aku gadis puritan. Di dalam diriku yang Nampak lincah, bebas, merdeka dan berpikiran moderat, sesungguhnya aku ada di garda depan pendukung pikiran –pikiran kuno perempuan ini. Yang kepadanya aku berhutang banyak, yang di telapak kakinya tersimpan surgaku.
**
Kuhirup udara kota tua yang tak pernah tidur ini. Dari setiap sudutnya, setiap jalan yang kulalui, setiap pohon dan kafe –kafe itu, semua kenanganku akannya tersembul menggoda. Padahal aku datang kembali bukan untuknya. Kami datang untuk acara buka bersama di rumah nenek yang kutinggali bersama sepupuku sewaktu aku bekerja di kota ini.
Aku beserta seluruh keluargaku menempuh jarak tujuh puluh kilometer untuk buka puasa bersama keluarga besar. Hal yang mulai ditradisikan agar ikatan kekeluargaan tetap terjalin meski kami tinggal berjauhan. Biasanya kami datang hanya pada acara-acara penting saja. Seperti setahun yang lalu, saat pemakaman nenekku.
Saat itu lelaki muda yang pernah kukelabui perasaannya- Radindra- juga hadir. Ia yang tinggal bersama ayah ibunya di rumah yang hanya selisih delapan rumah dari rumah nenekku bahkan ikut sibuk dalam upacara penghormatan sampai pemakaman. Aku bisa menangkap kerinduan di matanya ketika tak sengaja kami sesaat bersirobok pandang. Namun hanya luruh yang mungkin dirasakannya karena aku duduk bersama seorang pria yang tak kalah tampan darinya. Gery, tunanganku.
Ia, lelaki muda yang lembut hatinya itu, merasa terkelabui sekali lagi.
Yang untung lagi-lagi aku. Karena Gery memperlakukanku begitu istimewa setelah ia tahu ada seorang muda ganteng yang begitu menggilaiku. Sepupuku-Lily- yang menceritakannya setelah tunanganku itu mempertanyakan keganjilan yang ia tangkap dari bahasa tubuh dan sorot mata seorang lelaki muda di tengah kedukaan hari itu.
**
Tapi siapa yang tahu jalan takdir. Gery yang menyayangiku sepenuh hatinya malah pergi tanpa pamit. Ditinggalkan Gery begitu saja, tak ayal membuatku limbung. Aku gadis penakluk dan pematah hati. Jadi kepergian Gery sama sekali jauh dari dugaan dan perkiraanku. Kami hanya tinggal beberapa minggu menuju pelaminan. Tapi Tuhan merengkuhnya sebelum aku.
Tak harus memakan waktu lama untuk menyembuhkan luka ternyata. Berkunjung kembali ke kota tua ini tiba-tiba sebersit harapan timbul. Secercah cahaya menyinari relung kalbuku yang gelap beberapa waktu lalu. Aku masih punya Radindra. Radindra yang menggilaiku. Ia mungkin menungguku untuk kembali padanya.
**
Seusai berbuka bersama, langkah kakiku ringan menuju masjid di seberang rumah nenek. Sholat berjamaah maghrib dilanjut sampai Isya dan tarawih di masjid AlFurqon akan menyenangkan sekali kurasa. Karena semuanya lagi-lagi akan membawa kembali kenanganku bersamanya.
Ia yang rajin mengajar TPQ di masjid ini, menjadi muadzin yang paling rajin, dari kompor semangatnya para remaja rajin berjamaah dan meramaikan masjid dengan berbagai acara. Burdah tiap malam jumah, latihan khitobah bergantian setiap jumat malam, majalah dinding, diskusi juga kajian rohani dan latihan rebana setiap minggu pagi setelah kerja bakti bersih-bersih lingkungan masjid.
**
Remaja masjid yang dipelopori Radindra mengadakan rihlah di suatu akhir pekan saat aku masih anyar tinggal di lokasi ini. Ia yang menjadi teman pertamaku di tempat baru mengajakku ikut serta dan aku tak kuasa menolak. Radindra telah dengan baik hati mengantarku ke kantor beberapa kali. Kadang dengan vespa tuanya, kadang dengan motor gedenya.
Di pantai Baron Yogya, aku tak bisa menahan keliaran-keliaranku. Berjalan berdua dengannya di tepi pantai yang indah dan langit biru yang cerah, mungkin itulah penyebabnya.
“Belum pernah ke sini, mbak? Indah kan?” tanyanya lugu.
“Belum. Memang indah sekali. Seandainya aku datang ke sini dengan seorang kekasih, betapa lebih indahnya” jawabku spontan.
Satu komentar kecil nakalku itulah yang kukira membangkitkan sesuatu yang tidur dalam dirinya. Aku bisa menangkap dari bahasa tubuhnya yang tak mau jauh-jauh dariku padahal teman-temannya yang sama-sama muda mengajak berlarian, bermain dan beraktifitas lainnya. Ia memilih duduk denganku yang paling tua dalam rombongan ini, di atas pasir putih dengan pemandangan pantai serta laut yang eksotik, membincangkan apa saja dari yang remeh temeh sampai hal-hal yang agak berat.
Bisa ditebak gunjingan teman-temannya sepulang rekreasi itu. Si jangkung idola sekampung berwajah manis serupa artis itu kepincut hatinya dengan seorang pendatang baru di kampung mereka yang usianya lebih tua dan dari lagak perempuan dewasa itu bisa menarik sekaligus beberapa pria. Itu karena ketika perjalanan rekreasi sampai di Malioboro, Radindra kehilangan jejakku dan aku berhasil ditemani Divo yang tinggi besar dan seorang pemain band. Berburu batik, souvenir dan bakpia pathok. Waktu singgah di pantai Kukup, adik lelaki Radindra- Yahya- yang menemaninya mencari kerang dan kerakal yang bagus-bagus untuk dibawa pulang.
Efek dari akhir pekan kontroversial itu langsung terwujud Senin ketika ia mengantarku ke kantor. Pagi itu ia seperti seorang penderita obsesif kompulsif, menghujaniku dengan banyak pertanyaan aneh, mempertanyakan kedirian dan kemauanku, ke mana arah anginku. Dan aku tak bisa menjawab kecuali dengan rengkuhan dari arah punggungnya. Mungkin hanya untuk menutup mulutnya yang tiba-tiba ceriwis dan menggangguku, mungkin juga karena tiupan dingin angin pagi yang menampar wajah dan tubuhku di boncengan motor gedenya yang melaju di bawah langit biru kota tua yang eksotis.
**
“Aku harus pulang”
Kusentakkan lembut tangannya yang mencoba menghalangiku pergi. Ibuku membutuhkanku di kampung halamanku sendiri sepeninggal ayahku yang terenggut bersama penyakit jantungnya.
Radindra menatapku perih. Aku resign dari kantor secara tiba-tiba dan melepasnya begitu saja dari rutinitasnya mengantar-jemputku tiap pagi dan sore karena kampusnya searah dengan kantorku. Ia akan kehilangan momen-momen bersama tanpa kejelasan hubungan yang pasti. Dan aku bahkan seperti menemukan jalan untuk melarikan diri.
**
“Mbak, aku sudah sampai depan rumah”
Suara dari seberang telpon yang kuangkat siang itu kukenali dengan mudah. Suara resah mendesah pemilik lelaki muda yang tak pernah lelah menjamah angkuhku yang jengah. Rumah siapa? Pikirku. Lalu kudengar suara ketukan di pintu rumahku.
Oh!
“Radindra!” teriakku kecil.
Ia yang basah kuyup oleh hujan berdiri dengan tegap di hadapanku. Setelah telpon dan sms-nya tak pernah kujawab. Aku baru akan mengucapkan kalimat pengusiran halus tetapi kalah cepat oleh suara ibuku.
“Radindra! Masuk, nak. Kok hujan-hujanan begitu? Sendirian?”
Ibu yang mengenalinya sebagai tetangga nenek di kota tua, menyuruhnya masuk. Mengambilkannya handuk, membuatkannya teh hangat, menyuruhnya mandi dan berganti baju yang disiapkan ibu, menemaninya duduk dan bercakap. Bahkan memintanya menginap.
Apa –apaan ibu? Pikirku. Bukankah ibu menjodohkan aku dengan Gery? Meski aku belum sepenuhnya setuju dengan pilihan ibu karena aku yang terbiasa seperti elang terbang di lautan bebas belum siap untuk berdiam dalam satu sarang.
Lalu kenapa ibu sedemikian baik dengan Radindra? Padahal ibu tahu persis cerita dari sepupuku Lily dan juga sedikit bocoran dariku bahwa Radindra sangat mungkin sekali menaruh hati denganku.
“Radindra tahu apa yang harus dipersiapkan untuk menuju pernikahan?” tanya ibu sampai pada suatu paragraph setelah berbanyak busa antaranya dan Radindra, lelaki muda yang sedang berjuang mencari dan mengambil hati orang tua di depannya.
“Saya akan lulus tahun depan dan segera mencari pekerjaan” jawabnya mantap. Aku hanya mengangkat bahu di samping ibuku yang tersenyum. Entah apa arti senyumnya. Karena pagi harinya, sesaat setelah lelaki muda itu berpamitan, ibu masih tetap dalam keputusannya untuk menjodohkan aku dengan Gery. Dan aku terpaksa menuruti ibu untuk memutuskan semua kontak dengan Radindra. Ganti nomer ponsel sesudah secara jelas dan tegas menyampaikan fakta kepadanya bahwa aku sudah dijodohkan dengan orang lain sehingga tak ada peluang untuknya mendekatiku lagi.
**
Sudah lama berlalu tetapi tatapan penuh kerinduan miliknya masih kusimpan erat dalam ingatanku. Dengan Ulin-sepupuku yang lain- yang tinggal di kota tua ini aku berbincang menjelang berbuka bersama di sudut kamar tamu. Aku mencoba mencari tahu kabar Radindra. Hanya sedikit-sedikit saja sentilanku di antara percakapan hal lainnya karena kuatir dicurigai dan diledek. Itupun ternyata tertangkap Ulin dan ia akhirnya meledek juga.
“Aku kirimkan salam untuk dia ya mbak” godanya sambil cengengesan.
“Eh…jangan…jangan…” malu hati juga aku. Tapi aku tahu Ulin hanya bercanda. Ia cuma meledekku.
**
Seusai sholat maghrib, mataku berkeliling mencari sosoknya yang sangat kukenal. Biasanya dulu dia yang mengumandangkan adzan dan iqomah. Mungkin setelah berlalunya waktu ada banyak mereka yang lebih muda yang menggantikannya. Jarak antara jamaah pria dan wanita agak jauh. Meski demikian pandangan bebas karena terpisah oleh pintu kaca full dari ambang atas sampai bawah.
Aku berusaha tenang dalam dudukku yang gelisah. Tetapi mataku tetap bergerilya. Ada banyak wajah-wajah lama. Nenek –nenek tua yang selalu kami hormati dengan mencium punggung tangannya. Wajah-wajah baru bermunculan termasuk seorang gadis cantik yang duduk di dekatku. Aku dulu belum pernah melihatnya di lingkungan ini. Mungkin sama sepertiku dia sedang berlibur di rumah neneknya untuk suatu acara atau apa. Tampaknya ia sangat pendiam sehingga aku tak mengajaknya berbincang. Apalagi orang-orang tampak khusyu dan alasan lainnya adalah aku akhirnya melihat sosok yang kucari. Radindra. Masih setampan dulu, setegap dulu. Aku bisa mencium bau tubuhnya dari jarak yang jauh dan terhalang pintu pintu kaca itu. Terendus begitu saja. Hanya tampak samping belakang, tapi cukup mengobati kerinduanku. Astaganaga, apa kubilang? Nhah! Ternyata aku juga merindukannya.
Dia sekarang harapanku. Setelah pernikahan yang gagal dengan Gery, setelah limbungku, tak ada salahnya kembali pada Radindra. Peduli amat dengan peraturan ibu tentang suami yang harus lebih tua dari istri. Aku mungkin akan menentangnya kali ini. Kebahagiaan akan tercapai jika kita menikah dengan orang yang mencintai kita, begitu kata-kata bijak yang sering kita dengar.
**
Turun dari jamaah sholat tarawih, aku berjalan pelan. Dan benar seperti dugaanku, Radindra menemukanku.
“Mbak. Apa kabar?” tanyanya menghentikan langkahku. Kini kami berdiri berhadapan di depan teras rumah nenek yang berseberangan dengan masjid.
“Alhamdulillah, baik. Kamu apa kabar?” aku menyembunyikan getar di balik suaraku yang menahan kerinduan.
“Alhamdulillah sehat. Kapan datang, mbak?”
“Tadi sore.”
Hening. Kami seperti tercekam, terseret kenangan saat-saat kami bersama.
“Masih sering nyinom ?” tanyaku memecah kebisuan. Dulu ia biasa memimpin remaja masjid dan juga remaja kampung untuk menjadi tim pramusaji di acara kondangan dan perhelatan pesta yang banyak digelar di kota tua ini. Sungguh anak muda yang berdedikasi tinggi. Pekerjaan yang sering dianggap rendahan itu dikerjakannya dengan rapi dan penuh senyum keramahan. Dikerjakannya penuh cinta, seolah nyinom melayani menghidangkan sajian bagi tamu-tamu ini seperti sebuah pekerjaan seni yang agung.
“Alhamdulillah, masih. Tapi seringnya hanya berada di balik layar dan meja, mbak. Teman-teman bisa dilepas sendiri, saya mengatur jadwal dan lobi-lobi saja” jawabnya santun, khas dirinya. Rendah hati.
Rupanya ia sudah naik pangkat jadi manajer dan mungkin kantornya sendiri dengan armada tim yang kompak karena telah ia pimpin dan kelola sejak ia masih mahasiswa. Ini berita bagus buatku. Akan jadi poin tambahan jika aku mengajukannya nanti di hadapan ibu.
“Eh, Yahya juga kebetulan pas pulang. Ia kerja di Jakarta. Itu dia..” telunjuknya yang lentik menunjuk ke seorang pemuda, tampak siluet Yahya di lorong jalan kampung yang gelap pada beberapa sisi.
“Kupanggilkan ya….” Ia menawarkan sesuatu. Apa ia masih menyimpan cemburunya pada Yahya karena selama setahun waktu di sini dulu diam-diam aku juga sering berboncengan dengan Yahya. Double kencan buatku biasa. Tetapi mengencani dua kakak beradik ini memang pengalaman excited bagiku. Gila benar memang, adrenalin terpacu dan main petak umpet yang nyaris sempurna. Mungkin baru ketahuan setelah aku pergi meninggalkan kota tua ini waktu itu. Mungkin mereka berdua berbagi cerita dan ah, itu pasti menggelikan dan sekaligus tragis.
“Nggak usah ah. Aku senang bertemu kamu lagi” aku langsung menandaskan ini supaya ia tahu bahwa hatiku tetap lebih cenderung padanya disbanding adiknya.
“Aku juga” pendek kalimatnya cukup menghentikan waktu. Seakan dikungkung awan pekat hangat, aku terpaku. Kurasa pipiku memerah, untung tersembunyi di bawah langit gelap karena lampu jalan kampung hanya temaram. Mata dan tatapan kerinduannya menusukku. Harum tubuhnya dalam jarak dekat ini menerbangkanku ke langit ketujuh. Hari –hari indah bersamanya di masa mendatang menggoda jiwa. Radindra. Akhirnya waktu mempertemukan kita kembali.
“Yuli…sini. Ini mbak Fina” cowok itu memanggil seorang gadis yang tampak turun dari masjid, dengan isyarat tangan menyuruhnya mendekat.
Keningku berkerut, dadaku berdegup. Cewek yang mencium punggung tanganku ini ternyata gadis cantik yang duduk di dekatku waktu sholat tarawih tadi. Dari sikapnya kepadaku kini kentara sekali kalau ia menaruh hormat dan simpati padaku. Entah apa yang diceritakan Radindra tentangku padanya. Dan yang lebih penting lagi, siapakah gadis ini? Sepupunya yang tinggal sementara di rumah keluarga Radindra kah?
“Saya pulang dulu…” gadis yang dipanggil dengan nama Yuli itu berpamitan, terutama kepada Radindra kurasa. Ada sedikit cemburu menyelip di dadaku. Gadis itu cantik, muda. Ia lebih cocok untuk Radindra dibanding aku.
“Yo wis, ya sudah sana….” Jawab Radindra dengan gerakan tangan mengusir gadis itu pergi. Bagus, pikirku. Setengah jam berbincang di pinggir jalan depan rumah nenekku kini bisa berlanjut berdua saja dengan Radindra.
“Siapa itu?” tetap saja keingintahuanku harus terjawab. Aku siap bersaing sehat.
“Siapa? Yuli? Istriku, mbak” jawabnya tanpa dosa, lugu seperti dulu.
Aku segera berpamitan. Meninggalkan Radindra tergugu di tepi jalan karena ia tampak masih ingin melanjutkan obrolan denganku tetapi aku memutuskan pergi sebelum menangis.
Bergegas aku masuk ke dalam rumah nenekku dengan tergesa-gesa. Menghambur ke dalam kamar tamu dan menemukan Ulin masih tiduran di sana.
“Kamu jahat ya Lin. Kenapa tidak bilang kalau ia sudah menikah?” ucapku lirih kuatir terdengar banyak orang.
“Siapa? Siapa yang menikah?” tanya Ulin pura-pura polos. Lalu tersenyum tengil.
“Mbak kan nggak tanya ia sudah menikah atau belum?”
Kutonyo kening sepupuku dengan pelan pura-pura marah sambil menahan tangis dan luka di dadaku. Kota tua ini dan lelaki muda itu, ah perihnya.
Oleh Dian Nafi
Memasuki kota tua ini, bayangan wajahnya semakin lekat dalam benak dan bahkan tampak nyata dalam pandangan mataku yang terpejam. Lesung pipitnya yang dalam, senyum yang khas dengan gigi gingsulnya, lengan kukuh dengan jemari lentiknya, bulu lembut di kulit coklatnya, kepasrahannya akan lekukanku yang luwes tiap pagi yang dingin dan senja yang meluruh. Lelaki muda itu, kukira aku yang mematahkan hatinya. Namun saat ini bisa kurasakan, akulah yang terbenam dalam ketidakadilan rekayasa ini. Aku yang terbujur kaku dalam kenangan yang tak mau sembunyi. Kental dan semakin mencengkeram kuat ketika diriku berada seinchi demi seinchi lagi memasuki kampung tempat tinggalnya, tempat aku pernah setahun menghisap kehangatan dan keluguannya.
**
“Apa artinya ini, mbak?”
Matanya yang sendu dan sayu mencari jawab dari rengkuhanku yang tiba-tiba begitu saja mengalun di bawah langit biru kota paling eksotik yang kukenal.
“Bukan apa-apa”
Tak mungkin menyembunyikan semburat malu di pipi karena bagaimanapun aku adalah perempuan. Meskipun usiaku lebih tua darinya empat tahun. Tapi bukan aku namanya jika tak mampu menutupi kebusukan ‘gejolak muda berangkat dewasaku ‘.
Dia hanya mendesah. Mungkin menikmati. Mungkin merasa berdosa. Atau entah apalagi yang dipikirkannya, aku tak tahu. Dan karenanya segera kulepas rengkuhanku tapi ia malah menarik tanganku kembali.
“Mbak keberatan?” tanyanya takut-takut.
“Sudah siang. Aku masuk dulu ya. Kamu juga harus ke kampus kan? Jangan sampai terlambat. Terima kasih ya sudah mengantarku.”
Aku tetap menarik tanganku, bahkan turun dari boncengan motor gedenya dan mengusirnya secara halus. Garis wajahnya terbaca sekali, kecewa dan murung. Tapi ia bergegas melibasnya dengan senyuman manisnya.
“Aku yang terima kasih. Nanti sore mau dijemput jam berapa?”
Oh. Anak yang manis dan tawaran yang juga manis sekali.
“Tidak. Terima kasih. Aku pulang sendiri saja. Hati-hati di jalan ya”
Kulambaikan tanganku dan berharap ia segera pergi dan berlalu. Aku tak mau ia membaca isi kepalaku kalau aku hanya memanfaatkannya saja. Bagaimanapun ia anak yang sangat baik, lugu. Dan entahlah, membaca sikapnya, bisa kupastikan mungkin aku wanita dewasa pertama dalam kehidupannya. Mungkin ia dulu hanya pernah mengalami cinta monyet saja karena aku pernah mendengar dari sepupuku yang tetangganya – aku tinggal bersama sepupuku ini- bahwa Radindra-nama cowok itu- pernah punya pacar yang tetangganya juga.
Radindra punya kriteria cowok yang aku sukai kecuali satu, ia terlalu muda. Dan jelas-jelas tidak masuk criteria bagi ibuku yang konservatif. Dan aku, tak pernah sekalipun menggugat ibuku dan aturan-aturannya karena aku gadis puritan. Di dalam diriku yang Nampak lincah, bebas, merdeka dan berpikiran moderat, sesungguhnya aku ada di garda depan pendukung pikiran –pikiran kuno perempuan ini. Yang kepadanya aku berhutang banyak, yang di telapak kakinya tersimpan surgaku.
**
Kuhirup udara kota tua yang tak pernah tidur ini. Dari setiap sudutnya, setiap jalan yang kulalui, setiap pohon dan kafe –kafe itu, semua kenanganku akannya tersembul menggoda. Padahal aku datang kembali bukan untuknya. Kami datang untuk acara buka bersama di rumah nenek yang kutinggali bersama sepupuku sewaktu aku bekerja di kota ini.
Aku beserta seluruh keluargaku menempuh jarak tujuh puluh kilometer untuk buka puasa bersama keluarga besar. Hal yang mulai ditradisikan agar ikatan kekeluargaan tetap terjalin meski kami tinggal berjauhan. Biasanya kami datang hanya pada acara-acara penting saja. Seperti setahun yang lalu, saat pemakaman nenekku.
Saat itu lelaki muda yang pernah kukelabui perasaannya- Radindra- juga hadir. Ia yang tinggal bersama ayah ibunya di rumah yang hanya selisih delapan rumah dari rumah nenekku bahkan ikut sibuk dalam upacara penghormatan sampai pemakaman. Aku bisa menangkap kerinduan di matanya ketika tak sengaja kami sesaat bersirobok pandang. Namun hanya luruh yang mungkin dirasakannya karena aku duduk bersama seorang pria yang tak kalah tampan darinya. Gery, tunanganku.
Ia, lelaki muda yang lembut hatinya itu, merasa terkelabui sekali lagi.
Yang untung lagi-lagi aku. Karena Gery memperlakukanku begitu istimewa setelah ia tahu ada seorang muda ganteng yang begitu menggilaiku. Sepupuku-Lily- yang menceritakannya setelah tunanganku itu mempertanyakan keganjilan yang ia tangkap dari bahasa tubuh dan sorot mata seorang lelaki muda di tengah kedukaan hari itu.
**
Tapi siapa yang tahu jalan takdir. Gery yang menyayangiku sepenuh hatinya malah pergi tanpa pamit. Ditinggalkan Gery begitu saja, tak ayal membuatku limbung. Aku gadis penakluk dan pematah hati. Jadi kepergian Gery sama sekali jauh dari dugaan dan perkiraanku. Kami hanya tinggal beberapa minggu menuju pelaminan. Tapi Tuhan merengkuhnya sebelum aku.
Tak harus memakan waktu lama untuk menyembuhkan luka ternyata. Berkunjung kembali ke kota tua ini tiba-tiba sebersit harapan timbul. Secercah cahaya menyinari relung kalbuku yang gelap beberapa waktu lalu. Aku masih punya Radindra. Radindra yang menggilaiku. Ia mungkin menungguku untuk kembali padanya.
**
Seusai berbuka bersama, langkah kakiku ringan menuju masjid di seberang rumah nenek. Sholat berjamaah maghrib dilanjut sampai Isya dan tarawih di masjid AlFurqon akan menyenangkan sekali kurasa. Karena semuanya lagi-lagi akan membawa kembali kenanganku bersamanya.
Ia yang rajin mengajar TPQ di masjid ini, menjadi muadzin yang paling rajin, dari kompor semangatnya para remaja rajin berjamaah dan meramaikan masjid dengan berbagai acara. Burdah tiap malam jumah, latihan khitobah bergantian setiap jumat malam, majalah dinding, diskusi juga kajian rohani dan latihan rebana setiap minggu pagi setelah kerja bakti bersih-bersih lingkungan masjid.
**
Remaja masjid yang dipelopori Radindra mengadakan rihlah di suatu akhir pekan saat aku masih anyar tinggal di lokasi ini. Ia yang menjadi teman pertamaku di tempat baru mengajakku ikut serta dan aku tak kuasa menolak. Radindra telah dengan baik hati mengantarku ke kantor beberapa kali. Kadang dengan vespa tuanya, kadang dengan motor gedenya.
Di pantai Baron Yogya, aku tak bisa menahan keliaran-keliaranku. Berjalan berdua dengannya di tepi pantai yang indah dan langit biru yang cerah, mungkin itulah penyebabnya.
“Belum pernah ke sini, mbak? Indah kan?” tanyanya lugu.
“Belum. Memang indah sekali. Seandainya aku datang ke sini dengan seorang kekasih, betapa lebih indahnya” jawabku spontan.
Satu komentar kecil nakalku itulah yang kukira membangkitkan sesuatu yang tidur dalam dirinya. Aku bisa menangkap dari bahasa tubuhnya yang tak mau jauh-jauh dariku padahal teman-temannya yang sama-sama muda mengajak berlarian, bermain dan beraktifitas lainnya. Ia memilih duduk denganku yang paling tua dalam rombongan ini, di atas pasir putih dengan pemandangan pantai serta laut yang eksotik, membincangkan apa saja dari yang remeh temeh sampai hal-hal yang agak berat.
Bisa ditebak gunjingan teman-temannya sepulang rekreasi itu. Si jangkung idola sekampung berwajah manis serupa artis itu kepincut hatinya dengan seorang pendatang baru di kampung mereka yang usianya lebih tua dan dari lagak perempuan dewasa itu bisa menarik sekaligus beberapa pria. Itu karena ketika perjalanan rekreasi sampai di Malioboro, Radindra kehilangan jejakku dan aku berhasil ditemani Divo yang tinggi besar dan seorang pemain band. Berburu batik, souvenir dan bakpia pathok. Waktu singgah di pantai Kukup, adik lelaki Radindra- Yahya- yang menemaninya mencari kerang dan kerakal yang bagus-bagus untuk dibawa pulang.
Efek dari akhir pekan kontroversial itu langsung terwujud Senin ketika ia mengantarku ke kantor. Pagi itu ia seperti seorang penderita obsesif kompulsif, menghujaniku dengan banyak pertanyaan aneh, mempertanyakan kedirian dan kemauanku, ke mana arah anginku. Dan aku tak bisa menjawab kecuali dengan rengkuhan dari arah punggungnya. Mungkin hanya untuk menutup mulutnya yang tiba-tiba ceriwis dan menggangguku, mungkin juga karena tiupan dingin angin pagi yang menampar wajah dan tubuhku di boncengan motor gedenya yang melaju di bawah langit biru kota tua yang eksotis.
**
“Aku harus pulang”
Kusentakkan lembut tangannya yang mencoba menghalangiku pergi. Ibuku membutuhkanku di kampung halamanku sendiri sepeninggal ayahku yang terenggut bersama penyakit jantungnya.
Radindra menatapku perih. Aku resign dari kantor secara tiba-tiba dan melepasnya begitu saja dari rutinitasnya mengantar-jemputku tiap pagi dan sore karena kampusnya searah dengan kantorku. Ia akan kehilangan momen-momen bersama tanpa kejelasan hubungan yang pasti. Dan aku bahkan seperti menemukan jalan untuk melarikan diri.
**
“Mbak, aku sudah sampai depan rumah”
Suara dari seberang telpon yang kuangkat siang itu kukenali dengan mudah. Suara resah mendesah pemilik lelaki muda yang tak pernah lelah menjamah angkuhku yang jengah. Rumah siapa? Pikirku. Lalu kudengar suara ketukan di pintu rumahku.
Oh!
“Radindra!” teriakku kecil.
Ia yang basah kuyup oleh hujan berdiri dengan tegap di hadapanku. Setelah telpon dan sms-nya tak pernah kujawab. Aku baru akan mengucapkan kalimat pengusiran halus tetapi kalah cepat oleh suara ibuku.
“Radindra! Masuk, nak. Kok hujan-hujanan begitu? Sendirian?”
Ibu yang mengenalinya sebagai tetangga nenek di kota tua, menyuruhnya masuk. Mengambilkannya handuk, membuatkannya teh hangat, menyuruhnya mandi dan berganti baju yang disiapkan ibu, menemaninya duduk dan bercakap. Bahkan memintanya menginap.
Apa –apaan ibu? Pikirku. Bukankah ibu menjodohkan aku dengan Gery? Meski aku belum sepenuhnya setuju dengan pilihan ibu karena aku yang terbiasa seperti elang terbang di lautan bebas belum siap untuk berdiam dalam satu sarang.
Lalu kenapa ibu sedemikian baik dengan Radindra? Padahal ibu tahu persis cerita dari sepupuku Lily dan juga sedikit bocoran dariku bahwa Radindra sangat mungkin sekali menaruh hati denganku.
“Radindra tahu apa yang harus dipersiapkan untuk menuju pernikahan?” tanya ibu sampai pada suatu paragraph setelah berbanyak busa antaranya dan Radindra, lelaki muda yang sedang berjuang mencari dan mengambil hati orang tua di depannya.
“Saya akan lulus tahun depan dan segera mencari pekerjaan” jawabnya mantap. Aku hanya mengangkat bahu di samping ibuku yang tersenyum. Entah apa arti senyumnya. Karena pagi harinya, sesaat setelah lelaki muda itu berpamitan, ibu masih tetap dalam keputusannya untuk menjodohkan aku dengan Gery. Dan aku terpaksa menuruti ibu untuk memutuskan semua kontak dengan Radindra. Ganti nomer ponsel sesudah secara jelas dan tegas menyampaikan fakta kepadanya bahwa aku sudah dijodohkan dengan orang lain sehingga tak ada peluang untuknya mendekatiku lagi.
**
Sudah lama berlalu tetapi tatapan penuh kerinduan miliknya masih kusimpan erat dalam ingatanku. Dengan Ulin-sepupuku yang lain- yang tinggal di kota tua ini aku berbincang menjelang berbuka bersama di sudut kamar tamu. Aku mencoba mencari tahu kabar Radindra. Hanya sedikit-sedikit saja sentilanku di antara percakapan hal lainnya karena kuatir dicurigai dan diledek. Itupun ternyata tertangkap Ulin dan ia akhirnya meledek juga.
“Aku kirimkan salam untuk dia ya mbak” godanya sambil cengengesan.
“Eh…jangan…jangan…” malu hati juga aku. Tapi aku tahu Ulin hanya bercanda. Ia cuma meledekku.
**
Seusai sholat maghrib, mataku berkeliling mencari sosoknya yang sangat kukenal. Biasanya dulu dia yang mengumandangkan adzan dan iqomah. Mungkin setelah berlalunya waktu ada banyak mereka yang lebih muda yang menggantikannya. Jarak antara jamaah pria dan wanita agak jauh. Meski demikian pandangan bebas karena terpisah oleh pintu kaca full dari ambang atas sampai bawah.
Aku berusaha tenang dalam dudukku yang gelisah. Tetapi mataku tetap bergerilya. Ada banyak wajah-wajah lama. Nenek –nenek tua yang selalu kami hormati dengan mencium punggung tangannya. Wajah-wajah baru bermunculan termasuk seorang gadis cantik yang duduk di dekatku. Aku dulu belum pernah melihatnya di lingkungan ini. Mungkin sama sepertiku dia sedang berlibur di rumah neneknya untuk suatu acara atau apa. Tampaknya ia sangat pendiam sehingga aku tak mengajaknya berbincang. Apalagi orang-orang tampak khusyu dan alasan lainnya adalah aku akhirnya melihat sosok yang kucari. Radindra. Masih setampan dulu, setegap dulu. Aku bisa mencium bau tubuhnya dari jarak yang jauh dan terhalang pintu pintu kaca itu. Terendus begitu saja. Hanya tampak samping belakang, tapi cukup mengobati kerinduanku. Astaganaga, apa kubilang? Nhah! Ternyata aku juga merindukannya.
Dia sekarang harapanku. Setelah pernikahan yang gagal dengan Gery, setelah limbungku, tak ada salahnya kembali pada Radindra. Peduli amat dengan peraturan ibu tentang suami yang harus lebih tua dari istri. Aku mungkin akan menentangnya kali ini. Kebahagiaan akan tercapai jika kita menikah dengan orang yang mencintai kita, begitu kata-kata bijak yang sering kita dengar.
**
Turun dari jamaah sholat tarawih, aku berjalan pelan. Dan benar seperti dugaanku, Radindra menemukanku.
“Mbak. Apa kabar?” tanyanya menghentikan langkahku. Kini kami berdiri berhadapan di depan teras rumah nenek yang berseberangan dengan masjid.
“Alhamdulillah, baik. Kamu apa kabar?” aku menyembunyikan getar di balik suaraku yang menahan kerinduan.
“Alhamdulillah sehat. Kapan datang, mbak?”
“Tadi sore.”
Hening. Kami seperti tercekam, terseret kenangan saat-saat kami bersama.
“Masih sering nyinom ?” tanyaku memecah kebisuan. Dulu ia biasa memimpin remaja masjid dan juga remaja kampung untuk menjadi tim pramusaji di acara kondangan dan perhelatan pesta yang banyak digelar di kota tua ini. Sungguh anak muda yang berdedikasi tinggi. Pekerjaan yang sering dianggap rendahan itu dikerjakannya dengan rapi dan penuh senyum keramahan. Dikerjakannya penuh cinta, seolah nyinom melayani menghidangkan sajian bagi tamu-tamu ini seperti sebuah pekerjaan seni yang agung.
“Alhamdulillah, masih. Tapi seringnya hanya berada di balik layar dan meja, mbak. Teman-teman bisa dilepas sendiri, saya mengatur jadwal dan lobi-lobi saja” jawabnya santun, khas dirinya. Rendah hati.
Rupanya ia sudah naik pangkat jadi manajer dan mungkin kantornya sendiri dengan armada tim yang kompak karena telah ia pimpin dan kelola sejak ia masih mahasiswa. Ini berita bagus buatku. Akan jadi poin tambahan jika aku mengajukannya nanti di hadapan ibu.
“Eh, Yahya juga kebetulan pas pulang. Ia kerja di Jakarta. Itu dia..” telunjuknya yang lentik menunjuk ke seorang pemuda, tampak siluet Yahya di lorong jalan kampung yang gelap pada beberapa sisi.
“Kupanggilkan ya….” Ia menawarkan sesuatu. Apa ia masih menyimpan cemburunya pada Yahya karena selama setahun waktu di sini dulu diam-diam aku juga sering berboncengan dengan Yahya. Double kencan buatku biasa. Tetapi mengencani dua kakak beradik ini memang pengalaman excited bagiku. Gila benar memang, adrenalin terpacu dan main petak umpet yang nyaris sempurna. Mungkin baru ketahuan setelah aku pergi meninggalkan kota tua ini waktu itu. Mungkin mereka berdua berbagi cerita dan ah, itu pasti menggelikan dan sekaligus tragis.
“Nggak usah ah. Aku senang bertemu kamu lagi” aku langsung menandaskan ini supaya ia tahu bahwa hatiku tetap lebih cenderung padanya disbanding adiknya.
“Aku juga” pendek kalimatnya cukup menghentikan waktu. Seakan dikungkung awan pekat hangat, aku terpaku. Kurasa pipiku memerah, untung tersembunyi di bawah langit gelap karena lampu jalan kampung hanya temaram. Mata dan tatapan kerinduannya menusukku. Harum tubuhnya dalam jarak dekat ini menerbangkanku ke langit ketujuh. Hari –hari indah bersamanya di masa mendatang menggoda jiwa. Radindra. Akhirnya waktu mempertemukan kita kembali.
“Yuli…sini. Ini mbak Fina” cowok itu memanggil seorang gadis yang tampak turun dari masjid, dengan isyarat tangan menyuruhnya mendekat.
Keningku berkerut, dadaku berdegup. Cewek yang mencium punggung tanganku ini ternyata gadis cantik yang duduk di dekatku waktu sholat tarawih tadi. Dari sikapnya kepadaku kini kentara sekali kalau ia menaruh hormat dan simpati padaku. Entah apa yang diceritakan Radindra tentangku padanya. Dan yang lebih penting lagi, siapakah gadis ini? Sepupunya yang tinggal sementara di rumah keluarga Radindra kah?
“Saya pulang dulu…” gadis yang dipanggil dengan nama Yuli itu berpamitan, terutama kepada Radindra kurasa. Ada sedikit cemburu menyelip di dadaku. Gadis itu cantik, muda. Ia lebih cocok untuk Radindra dibanding aku.
“Yo wis, ya sudah sana….” Jawab Radindra dengan gerakan tangan mengusir gadis itu pergi. Bagus, pikirku. Setengah jam berbincang di pinggir jalan depan rumah nenekku kini bisa berlanjut berdua saja dengan Radindra.
“Siapa itu?” tetap saja keingintahuanku harus terjawab. Aku siap bersaing sehat.
“Siapa? Yuli? Istriku, mbak” jawabnya tanpa dosa, lugu seperti dulu.
Aku segera berpamitan. Meninggalkan Radindra tergugu di tepi jalan karena ia tampak masih ingin melanjutkan obrolan denganku tetapi aku memutuskan pergi sebelum menangis.
Bergegas aku masuk ke dalam rumah nenekku dengan tergesa-gesa. Menghambur ke dalam kamar tamu dan menemukan Ulin masih tiduran di sana.
“Kamu jahat ya Lin. Kenapa tidak bilang kalau ia sudah menikah?” ucapku lirih kuatir terdengar banyak orang.
“Siapa? Siapa yang menikah?” tanya Ulin pura-pura polos. Lalu tersenyum tengil.
“Mbak kan nggak tanya ia sudah menikah atau belum?”
Kutonyo kening sepupuku dengan pelan pura-pura marah sambil menahan tangis dan luka di dadaku. Kota tua ini dan lelaki muda itu, ah perihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar