By
Dian Nafi
Aku bukan remaja biasa.
Aku sadari penuh hal ini. Eyangku dan keluarga besarnya dari kalangan santri
yang menjunjung tinggi tata krama dan berbagai aturan tak tertulis yang kental
sekali dengan kesantrian. Ibuku meski bukan dari kalangan ningrat walaupun
berasal dari Solo, sangat memegang erat aturan-aturan kuno berkenaan dengan
sopan santun, tentang yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Jadi ini
pemberontakanku yang tak biasa. Aku menyekapnya dalam rahasia lubuk hati, bagai
api dalam sekam, yang siap menyambar jika suatu waktu badai angin mengilukannya
dan membuat lukanya terjaga.
Aku bukan remaja biasa.
Aku terluka di masa lalu, dikerangkeng watak –watak keras dan arogan berbungkus
wajah kealiman, tapi jeritan kebebasan memanggilku. Karena aku dilahirkan
sebagai seorang Gemini. Di bawah rasinya, para pemimpin dilahirkan dan
dibesarkan. Di dua mukanya, si kembar seakan bisa ke kanan dan ke kiri
sekaligus. Ini awal paradoksku yang nyata. Aku dilahirkan sebagai pemberontak
dan paradoks.
Aku bukan remaja biasa.
Kemalangan dan keluhanku membungkus aku dalam wajah absurd dan penuh kemarahan
yang tertahan.
“Pulang ya nak” bujuk
ibu dari seberang telpon.
Aku tergugu, duduk di
sudut kamar entah siapa dengan galau dan air mata yang telah mengering.
“Ibu tidak marah
padamu” seperti bukan ibu yang kukenal selama ini.
Ini tidak mungkin ibu.
Ibu bukan seorang yang pengertian. Ibuku seorang penuntut dan ingin
anak-anaknya sempurna, perfect. Ibu tidak menerima alasan apapun. Ibu tidak mau
tahu. Jika ibu bermaksud memperdayaku, aku akan balik memperdayakannya.
***
“Jangan menyalahkan
ibumu, Dew, atas masa lalumu” Yudhika membelaiku dengan kalimat lembutnya. Kami
tidak pernah bertemu tapi ia dengan mantra dan keajaibannya selalu bisa meredakan
amarah dan gelisahku. Mungkin Tuhan menciptakannya saat Dia jatuh cinta. Jadi
sebenarnya ia bukan seorang manusia, tetapi sebuah hati yang bisa bicara dan
tertawa.
“Berhenti menyalahkan
dirimu sendiri dan ibumu” ujarnya lagi dari seberang telpon.
“Oh ya?!!” pekikku.
Hanya dalam hati, hanya didengar sendiri.
Ibu di sana! Melihatku
dan kejadiannya. Tapi semua berlalu seperti tidak terjadi apa-apa. Bagaimana
aku bisa memaafkan ibuku?!
“Meski demikian. Kamu
masih bisa memaafkannya, Dewi” Yudhika seperti membaca pikiranku. Ia telah tahu
kisah ini sebelumnya. Ia orang pertama yang membuka kotak rahasiaku yang ini.
Aku belum pernah menceritakannya pada siapapun, bahkan pada diriku sendiri. Aku
tidak pernah berani menuliskannya. Meski hanya secuil kertas tissue untuk
kurobek kembali tapi Yudhika dengan kepiawaiannya berhasil membuatku berkelopak
membuka luka lama itu. Yang pada awalnya menyakitkan, tapi tak sempat membuatku
menangis karena yang ada hanya perih membusuk. Kemudian perlahan seperti kanal,
luka itu mengalir membuat torehan –torehannya dalam ingatan, dalam tulisan,
dalam catatan, dalam gurauan, dalam mantra, tapi entah ini penyembuhan seperti
yang dikatakan Yudhika sebelumnya. Atau justru kambuhan atas penyakit bernama
dendam.
***
“Dewi! Jika kamu tidak
pulang segera, ibu tahu harus berbuat apa!”
Nhah!! Ini baru ibuku,
tukas pikiranku cepat.
Tapi aku masih diam,
menahan napas. Aku belum mau pulang. Aku tidak ingin membuat ibu terluka.
Yudhika bilang ibuku sangat mencintai aku dan aku sangat mencintai ibuku,
tetapi kami tidak tahu bagaimana cara mencintai satu sama lain.
***
“Tatap matanya tiga
detik saja, Dew” saran Yudhika suatu ketika.
Aku tiga detik juga
terdiam mencernanya.
“Nggak berani ya?”
tanya sahabat mayaku itu.
“Mungkin……nggak” jawabku
akhirnya.
“Aku bahkan tidak
sempat mengenal ibuku….”Yudhika menyahut lirih.
Ibunya meninggal
beberapa saat setelah melahirkannya. Kerinduan Yudhika akan sosok seorang ibu
kemudian membuatku sadar aku seharusnya lebih bisa memaafkan ibuku dan belajar
mencintainya.
**
Dan aku memutuskan
pulang ke rumah.
“Dewi..” ibu memelukku
erat. Masih ada gumpalan es di sana, di dadaku. Tapi aku perlahan membiarkannya
mencair.
“Maafkan Dewi, bu”
lirih, jujur, penuh pengharapan. Semoga Tuhan mendengar dan membantu hasratku
untuk mulai belajar mencintai ibuku lagi.
“Kamu boleh memilih
sendiri apa yang menjadi keinginanmu, Dew” doa pertama yang terjawab. Pemberian
kebebasan oleh ibu tentu saja menumbuhkan respek di hatiku, salah satu benih
cinta yang bisa dipupuk kemudian.
“Terimakasih, bu” terasa
pelukanku membalasnya erat, mencairkan lagi gumpalan es di sana, di dadaku.
**
Aku mengenalnya melalui
dunia maya. Seorang muda yang kiprahnya luar biasa. Niken. Aku yakin banyak
orang sudah mengenal bahkan memakai
layanan berbagai situs yang dimilikinya. Meski kecemburuan itu ada, tapi aku
menepisnya. Seorang sukses seperti Niken tidak boleh berhenti untuk dicemburui
saja, tetapi harus dikeruk berbagai kecerdasannya dalam menemukan,
menginisiasi, merencanakan, menindaklanjuti dan mengembangkan sayap-sayap
kebebasannya dalam berekspresi dan berkarya.
Meski kadang aku
melihatnya berdiri seperti menara gading, tetapi dia tampaknya selalu berhasil
menjadi air yang menghanyutkan banyak pihak, bahkan orang-orang yang baru
ditemuinya, untuk bersama-sama dia mewujudkan mimpi-mimpinya. Perpaduan
karakter yang unik sebenarnya dan tentu saja tak mudah untuk ditiru, terutama
sekali oleh seorang peragu. Dan yang menarik, Niken tak segan membagi beberapa
rumus yang ia dapatkan sepanjang perjalanan kesuksesannya itu bagi banyak
orang. Dibayar maupun tidak. Walaupun ia seringkali mengkomunikasikannya dalam
bahasa yang hanya sebagian orang tertentu sajalah yang dapat memahaminya. Yang
cerdas dan berkeingin-tahuan tinggi.
Berangkat dari passion,
kecintaannya pada sesuatu, ia menciptakan sendiri keberuntungannya. Demikian ia
seringkali menyebutnya. Luck is when preparation meets opportunity. Dan
keberanian untuk mengambil resiko yang lebih tinggi lagi yang membuatnya
semakin berkibar dan melebar. Meski tak dapat dipungkiri, postur tubuhnya yang
tinggi dan wajahnya yang menarik adalah satu poin tersendiri yang menjadi modal
penting. Tapi ini bisa saja jadi boomerang jika seseorang dengan modal yang
sama tidak memiliki keahlian untuk menampilkannya bersama paket kecerdasan dan
kebijaksanaan.
Memiliki beberapa
layanan online di berbagai bidang, buku-game-enterpreneurship-technologi,
membawanya juga berkiprah di dunia off-line. Maka semakin terasahlah mutiaranya
dan kesuksesan itu tak lagi maya namun juga terang benderang sampai membawanya
menjadi model iklan segala.
Ia tahu apa yang harus
ia tuju dan apa yang harus dikerjakan. Sehingga ia memiliki banyak sekali waktu
untuk jalan-jalan, dari sudut suatu negera ke negara lainnya, around the world.
Yang tentu saja tak pernah lepas dari keseimbangan antara bersenang-senang dan
melebarkan sayap bisnis serta networking. Semua lini usahanya tetap berjalan
lancar meski tidak harus ia tunggui. Inilah sisi penting dan cermin nyata dari
apa yang Robert T Kiyosaki gembar-gemborkan. Berada di kuadran kanan. Bebas
waktu dan financial, pensiun dini.
Menjadi kebiasaan kita
untuk mencari tahu bagaimanakah kehidupannya di balik gemerlapnya kesuksesan
itu. Ia bersuami, berarti kesuksesannya tidak kering. Ia menjalani kehidupan
normal sebagaimana orang lain. Mungkin karena kesibukan atau memang tidak
tertangkap kamera dan reportase, pasangan ini jarang tampak berdua. Namun tak
tampak gelombang yang berarti di antara keduanya. Pencapaian-pencapaian mereka
berdua sepertinya tidak mengganggu ego keduanya, dan mungkin sekali malah
saling mendukung.
Mengenai buah hati,
karena usianya masih muda sekali, agaknya belum hadirnya seorang anak tidak menjadi masalah. Toh ia banyak
berkumpul juga dengan banyak anak-anak termasuk
anak kecil yang menjadi bagian dari pelayanannya terhadap masyarakat.
Dari caranya berkomunikasi dengan mereka, kemungkinan besar ia akan menjadi
seorang ibu yang juga penuh kasih selain cerdas dalam mendidik generasi
penerusnya.
Sempurna. Ia juga
menjaga hijabnya sebagai seorang muslimah. Tak tampak memiliki musuh ataupun
lawan yang berjibaku meskipun hanya sindiran. Sepertinya kehidupannya damai
dalam kesuksesan dan pencapaian-pencapaian. Ah ya, orang tuanya masih komplit
dan mendukung sekali sepak terjangnya bersama adik-adiknya. Datang dari
keluarga harmonis, terdidik dengan baik, merencanakan dan menciptakan
keberuntungannya sendiri (dengan ridlo Tuhan, tentu saja). Bisa dikatakan ini
yang disebut dengan kesuksesan.
Penguasaannya akan
teknologi dan bahasa asing mendukung dan melancarkan langkahnya meraih banyak
hal. Persinggungannya dengan berbagai warna, corak, budaya dan berbagai macam
orang bahkan dari berbagai negara, tidak
mencerabutnya dari akar karakter diri yang asli. Energik namun tetap santun,
menguasai teknologi namun tidak kaku bahkan sangat cair. Perpaduan unik karena
umumnya kita mengenal orang-orang yang canggih teknologi, tidak punya kemampuan
mumpuni untuk membawa diri dalam pergaulan.
Ia juga bisa pergi ke
manapun ke berbagai belahan dunia dan sudah dilakukannya, namun selalu menyempatkan umroh untuk
keseimbangan spiritualitasnya. Meski tak ia ungkapkan dengan gamblang, pastilah
sisi kuat spiritualitas dalam dirinya ini yang menjadi spirit utama bagi langkah-langkahnya
meraih kesuksesan. Ia diberkati dan terbimbing.
Kesuksesan yang
diraihnya menginspirasi banyak orang. Dan ia tampaknya menggali terus menerus
ke dalam dirinya kemampuan terbaiknya sembari meneriakkan lantang ke khalayak
umum, mengenai banyak hal yang harus mulai dikerjakan oleh banyak orang.
Bersama-sama. Ia meniupkan keberanian, memberikan contoh nyata bagaimana
memulai, melangkah dan berinovasi. Kesuksesannya adalah juga bagaimana
mensukseskan orang lain, sebanyak – banyaknya.
Sebagaimana juga kesuksesannya tak mungkin lepas dari dukungan banyak
pihak yang menyertai ataupun di belakangnya. Yang ia sebut namanya dan pasti
juga banyak yang bahkan tak sempat ia sebutkan.
**
“Kamu pingin seperti
dia?”tanya Yudhika sesaat setelah membaca tulisan yang kukirim ke emailnya.
YUPS!, tulisku mantap
di layar monitor.
“Go ahead!” balasnya
dari ym. Kami bahkan bisa menggunakan ym dan facebook chat bersamaan untuk
komunikasi di satu kali duduk. Kebiasaan aneh karena seperti kutu loncat.
“Tapi aku juga mau jadi
arsitek. Aku bahkan melalui acara kabur dari rumah dulu untuk bisa mendapatkan
pilihanku itu direstui ibu. Kalau aku ingin seperti Niken, bukannya aku harus ambil IT sebagai pilihan jurusan ya?”
tanyaku bodoh.
“Hmmmm….” agak lama Yudhika
menggumam, mungkin dia sama bodohnya dengan aku sehingga butuh waktu lama untuk
menjawab.
“Mungkin tidak harus
persis seperti Niken, Dew. Mungkin tidak harus bidang IT atau dunia
kepenulisan. Tetap saja jadi arsitek, tapi spirit Niken yang mandiri dan
menginspirasi bisa diserap. Apa iya gitu atau nggak ya?”dia balik bertanya.
“Eleuh……hahaha…” aku
tahu Yudhika yang ‘maha guru’ buatku itu hanya mengetest.
“Bukannya aku
seharusnya bercermin dari sosok seorang arsitek ya? Tapi Hera Armand juga
seorang penulis lho, Yudh” sambungku.
“Aih..aih..kesimpulannya
kayaknya kamu condong ke kepenulisannya. Niken menulis, Hera menulis. Jadi
kenapa tidak jadi penulis saja?” tanya Yudhika.
“Memangnya kalau
penulis menulis aja? Nggak sekolah gitu? Niken sekolah IT, Hera arsitektur” tegasku.
“Aku pernah kuliah
psikologi, pindah ke komunikasi tapi sering magangnya malah desainer grafis dan
advertising. Nhah lho!” katanya mengingatkanku akan pilihan dan
pengalamannya.
“Dan jadi event
organizer” tambahku menambah daftar panjang petualangan Yudhika.
**
Malam itu aku bersujud
panjang.
Tuhan, pilihkan untukku
saja.
Benar juga kata pak
Mario Teguh. Seseorang dengan banyak kelebihan mungkin sekali bisa menjadi
seseorang yang gagal dibandingkan dengan seseorang yang memiliki kelemahan
namun focus pada satu kelebihan yang bisa ia segera kerjakan.
Jadi Tuhan, mana focus
yang paling tepat untukku.
**
Ada debar
lirih kala kuberjalan menyusuri terakota di bawah rimbun akasia yang berderet
di kanan-kirinya. Hilda dengan ramah mengajakku keliling kampusnya pagi itu.
Sembari menanti pengumuman PMDK, ibu membawaku ke pesantren dekat kampus. Di
sanalah aku kenal Hilda dan melakukan rute kecil. Hembusan harapan berbalut doa
sepanjang langkah kecilku. Kubaui aroma kampus sembari hati berbisik, ini calon
kampusku. Semoga.
Berurai air
mataku di dekat kaki ibu. Aku menolak untuk sekolah kedokteran karena aku sudah
jatuh cinta dengan arsitektur. Itulah pemberontakanku yang pertama. Ibu terus
membujukku tapi tak berhasil. Cintaku terlalu kuat meski saat itu Ibu terus menakut-nakuti aku. Tak ada sejarah
dalam keluarga besar kami, ada yang menjadi arsitek. Kami ada di kota kecil
jadi arsitektur mungkin tidak berguna dan seterusnya.
Karena aku
bersikukuh, hingga pelarianku itu terjadi. akhirnya ibu menyerah melihatku
mencontreng pilihan arsitektur pada formulir PMDK ke universitas ternama di
Semarang.
“Ya sudah.
Semoga diterima” ujar ibu,semoga tulus.
Malam-malam
Ramadhan terutama sepuluh hari terakhirnya menjadi saksi atas kemauanku yang
keras ini. Dengan garis bawah di sana,
aku akan melanjutkan misi dakwahku selama ini sampai ke kampus yang
kuimpikan itu.
Suatu senja
saat melewati jalan dekat pasar, kutemukan sebuah gambar desain masjid. Untuk
pertama kalinya aku memegang blue print. Meski sudah lecek karena sebenarnya
itu sampah, aku merapikannya kembali dan menempelkannya di pintu kamarku. Di
bagian tengah bawahnya kububuhkan impianku. Kutulis, bismillah arsitektur
Undip. Kembali saat-saat mendebarkan dan doa melangit bersamaan.
“Wah.
Selamat ya.”
Semua teman
memberikan selamat setelah tersebar kabar diriku diterima PMDK di jurusan yang
kugandrungi.
“Eih.
Jangan terlalu gembira dulu. Belum tentu juga lulus SMA-nya” teman-temanku
menggoda.
Yudhika
apalagi, dia paling senang mendengar suara risauku. Membaca note dan status –
status gelisahku. Jadi dia juga membakar gelisahku via maya. Ugh!
Memang
pengumuman PMDK itu datang sebelum pengumuman kelulusan. Meski aku selalu
rangking satu, digembosi demikian ternyata membuatku risau. Ah, lagi-lagi doa dipanjatkan.
Karena kuyakin semua nikmat itu karuniaNya, termasuk kelulusan. Alhamdulillah,
aku lulus dengan NEM tertinggi sekabupaten. Langkahku lapang menuju kampus
idaman.
“Akhirnya
kamu memilih kan?” retorika Yudhika menyudutkanku.
“Tuhan memilihkannya
untukku. Aku memintaNya melakukannya untukku” debatku seru. Senang sekali
bersilat lidah dengan Yudhika. Dia salah satu hiburanku yang nyata, meski hanya
bisa bertemu di dunia maya.
**
Tangan
kecilku membuat coretan di tanah dengan kayu, mirip sketsa gambar denah ruang-
ruang dalam rumah yang sedang dibangun, yang menaungi seorang Dewi kecil. Ibu
dengan seluruh pengorbanannya mencoba mewujudkan mimpi dan rengekanku akan
sebuah rumah sendiri. Bukan rumah bersama eyang atau kost bersama banyak orang.
**
“Jadi
sekarang akur sama ibumu dong?! Rumah es itu akhirnya mencair” dia mengkorek
sesuatu dariku lebih jauh.
Kalau saja
dia melihat wajahku bersungut-sungut, Yudhika mungkin tidak kuasa melanjutkan
ledekannya. Aku tidak pernah menangis, tidak juga berkaca-kaca. Hanya perih.
**
Perih
sekali. Aku tak mau menyebut namanya. Lelaki yang seharusnya melindungiku,
memasukkan sebuah pensil ke sebuah lubang dari bagian tubuhku yang seharusnya
dilindungi. Ibu melihatku. Aku yakin. Beliau baru saja pulang kantor dan
menyaksikan lelaki itu menindihku di kamar depan.
Tapi tidak
ada yang dilakukan beliau. Lelaki itu bebas. Aku yang tercengkram trauma.
Sepanjang hidupku.
**
“Menulis
akan menyembuhkan luka” entah dari mana aku mendengar atau membacanya. Lalu aku
menulis, menulis, menulis.
“Alangkah
bijaksananya jika seseorang bisa memaafkan kesalahan orang lain” entah dari
mana aku mendengar atau membacanya. Lalu aku berusaha memaafkan, berusaha
melupakan. Menjadi seorang santun dan santri, meski menahan sekam di dalam
dada. Sulitnya membakar dan mengabukan trauma.
**
Lalu aku
mengenal maya. Aku bisa jadi siapa saja yang kuinginkan di sana. Aku bisa
meneriakkan apa saja. Tanpa ibu, eyang, oom, tante, pakdhe, budhe,
saudara-saudaraku tahu. Aku bisa menjadi alim di satu akun. Aku bisa menjadi
liar di akun lainnya. Aku bisa menggeliatkan sastra di akun lainnya lagi. Aku
bisa mengeksplorasi ide dan mimpi arsitekturku di akun lainnya lain. Paradoks
entah yang keberapa.
Duniaku
menjadi tak terbatas. Lalu aku mengenal Niken, yang menjadi dirinya sendiri
meski malang melintang di dunia maya.
Dan
mengenal Yudhika, sesama petualang yang terus mengembangkan resah demi
menemukan keresahan-keresahan baru. Tapi dia hanya punya satu akun.
“Jadi aku
terhindar dari multiple personality” sindirnya.
“Oh
ya..iya..” jawabku tersindir.
Dan dia
mengasihi ibunya meski belum sempat mengenalnya. Dia tumbuh menjadi seorang
yang kuat dan kokoh kepribadiannya justru karena keluarganya berantakan dan
meninggalkannya tumbuh sendirian.
Aku?
Well groomed, terawat dengan baik.
Tapi pingitan.
Alim,
santri dan santun. Tapi meledak-ledak di dalam.
**
“Dewi ya?”
tidak menyangka jika akhirnya bertemu muka dengan Niken dan dia mengenaliku.
Surprise juga.
“Iya.
Bagaimana Niken tahu?’ tanyaku balik.
“Nih!” ia
menarik mesra tangan seorang pria. Aku mengenalnya. Ada foto profilnya kusimpan
di laptopku. Aku mengambil itu dari album foto facebook-nya.
“Dewi ya?”
tanyanya menggoda.
Aku tidak
tahu persis seperti apa raut wajahku. Tapi jelas terlintas di kepalaku, adegan
dalam cerpen Julian-teman arsitek Hera Armand yang juga seorang penulis- adegan
seorang wanita yang membeli sebuah almari untuk menyimpan kekasihnya.
Harusnya
Yudhika tahu. Harusnya Yudhika tahu. Harusnya Yudhika tahu.
Aku bukan
remaja biasa. http://www.hybridwriterpreneur.com/2016/02/membaca-adalah-investasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar