Demak
Bukti Toleransi Dan Inklusi
Dulu,
sempat aku tidak bangga dan percaya diri menyebutkan kota kelahiranku ini
sebagai asalku. Ketika teman-teman di kampus mengira aku anak Jakarta, aku
senyam-senyum saja. Saat aku akhirnya balik ke Demak lagi sepeninggal suamiku
yang wafat dalam sebuah kecelakaan, ada rasa sedih luar biasa. Kesibukan dan
keaktifanku di Semarang serasa dibelenggu di kota kecil ini. Aku serasa mati
gaya dan mati rasa. Sampai kemudian seorang teman maya menyadarkanku bahwa
kotaku ini sesungguhnya sangat istimewa. Dia membukakan mata
(hati)ku yang sempat tertutup, ternyata dari Demaklah awal pergerakan
kasih dan pencerahan. Di kerajaan Islam pertama di Jawa ini pernah berkumpul wali
songo yang dengan ilmu dan kebijaksanaannya, mengentaskan rakyat dari
kemiskinan karena mengajarkan mereka berbagai ketrampilan, serta mengajak
mereka beribadah dengan cara-cara yang arif. Yang sekarang, pada akhir-akhir
ini, cara-cara seperti mereka seolah diabaikan.
Lihat
bagaimana bentuk masjid Agung Demak dengan
atap tumpang tiganya yang tersohor. Delapan tiang terasnya yang
merupakan tiang dari kerajaan Majapahit. Bentuk fisik bangunan utama ini
merupakan cerminan bagaimana para wali
mengembangkan inklusivisme dan toleransi di dalam masyarakat.
Lihat
bagaimana grebeg besar menjadi tradisi, bagaimana wayang menjadi budaya, dan bagaimana tembang-tembang dianggit. Para wali
ini menunjukkan bagaimana semestinya menjadi guru, yang ngemong, merangkul dan
memahami audiensnya.
Lihat
bagaimana sedekah laut, sedekah bumi, ngapati, mitoni, nyatus, nyewu dan
seterusnya dan sebagainya, berbagai tradisi ini adalah sebuah kompromi,
memadukan, menginfiltrasi masyarakat menggunakan kebiasaan, adat dan tradisi
mereka sendiri. Dengan segala revisi dan perbaikan di dalamnya agar sesuai
dengan tuntunan dan syariah. Jalan ini dipilih sebagai bentuk kampanye yang
menarik hati dan tidak bertentangan dengan perilaku yang mereka dapat dari
nenek moyangnya dahulu. Tetapi banyak orang sekarang yang malah justru
menganggapnya sesat dan semacamnya.
Meski
Demak mungkin tidak lagi serelijius dulu, karena ada banyak pelanggaran dan
kemaksiatan di sana sini seperti yang
juga terjadi di banyak daerah lain, tapi kurasa kita tak perlu putus
harapan. Sekarang tongkat estafet itu di tangan kita, generasi penerus. Bagaimana
caranya agar inspirasi ini bisa terus dilanjutkan, diperkenalkan dan
ditumbuhkembangkan.
Demak
hadir dalam kesederhanaan meski disebutnya sebagai kerajaan. Karena kita tak
bisa melihat jejak kemewahan istananya seperti yang bisa kita lihat di
bekas-bekas kerajaan lain di manapun, termasuk di Indonesia. Hanya masjid agung
itulah jejak yang ada. Masjid itulah pusat, centre of civic society. Masjid itulah
tempat kumpulnya para wali, ulama, umaro/pemimpin/raja dan perangkatnya,
cendekiawan dan juga rakyat. Dalam berjamaah sholat, mengkaji ilmu maupun
diskusi banyak permasalahan lainnya.
Masjid
ini yang sekarang menjadi tujuan wisatawan domestic maupun manca Negara. Termasuk
makam Sultan Fatah dan makam Sunan
Kalijogo di Kadilangu, juga menjadi destinasi. Yang mestinya tidak sekedar
sebagai background foto narsis di sosmed atau tempat berhening sejenak dan
berdoa memohon terkabulnya hajat oleh Yang Maha Kuasa, tetapi juga menjadi titik
untuk berkontemplasi, intropeksi dan mengambil ibroh. Tentang pentingnya toleransi,
inklusivisme, dan bergaul bersama masyarakat secara damai dan saling
menghargai. Ibroh bagaimana berkasih sayang dalam mengajak kepada kebaikan dan
jalan yang lurus. Ibroh bagaimana tetap sederhana meski menjadi ‘pusat’ dan ‘punya
kuasa’. Semoga kita dimampukan olehNya.
Amin ya Robbal Alamin.
Thanks for sharing
BalasHapus