Judul : Bulan Nararya
Penulis : Sinta Yudisia
Editor : Mastris Radyamas
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit : Pertama, September 2014
Jumlah Halaman : 256 halaman
ISBN : 978-602-1614-33-4
Aku salah satu penggemar novel berlatar sejarah yang ditulis
mbak Sinta. Dan ternyata novel psikologi yang ditulisnya sama menarik dan
menakjubkanku.
Detail karakternya, dari para pemain utama, pemain
pendamping sampai dengan para figuran digarap dengan apik. Caranya mengelupas
satu persatu karakter juga unik. Bagaimana kita tahu tokoh utama kita ini
bernama Nararya juga ditampilkan dengan bertahap dan bikin penasaran.
Si Yudhis berhati lembut yang suka melukis dan bercelana
kaki dengan banyak kantong begitu melekat dalam visual kita kemudian. Moza yang
cantik cemburuan. Angga playboy yang butuh pengakuan. Sausan yang berwibawa dan
tegas. Diana yang mandiri. Weni yang bagai ayam melindungi anak-anaknya. Srikandhi
yang egois dan tergantung dengan Weni. Pak
Bulan yang suka bulan dan tanaman. Sania yang traumatis dan beranjak remaja. Mama
yang selalu siap menyediakan bahunya.
Dan Nararya sendiri yang mulia (sesuai makna namanya) dengan
ide transpersonalnya, dan karena kegigihannya itulah dia menempuhi sepanjang
jalur novel ini, dank arena itulah novel ini tercipta dan menjadi.
Detail settingnya juga apik. Secara makro, Surabaya yang
panas dan tepi pantai. Klinik dan tempat rehabilitasi dengan empat bukit buatan
di empat penjurunya dengan pavilion-paviliun. Benar-benar visual dan filmis,
sehingga melekat dalam benak kita. Rumah Raya, rumah bu Weni, rumah Diana, pavilion
pesantren di Madura, rumah Sausan. Semuanya tampil meyakinkan dan real.
Cerita langsung diawali dengan ketegangan antara Raya yang
menginginkan uji coba transpersonal, dan Sausan yang menolaknya karena ia
konvensional (kita menangkapnya demikian). Baginya tidak ada masalah dengan
biaya, sebab dia bisa mengusahakan
dengan banyak donator dan pemasukan lain.
Di sisi lain, perceraian Raya dengan Angga karena sepuluh
tahun tak kunjung juga punya anak, menjadi makin runyam karena Moza mengambil
kesempatan itu dengan kembali dekat dengan Angga. Kita diberikan flashback bagaimana
pertemuan mereka dulunya, di mana Angga sebenarnya naksir Moza tapi memilih
Raya karena gadis itu kindhearted (bisa memahami kesukaan Angga menjadi idola
para wanita dsb)—yang kemudian malah menjadi boomerang.
Di sini, hampir-hampir kita tak bisa memilah, mana yang
sesungguhnya main plotnya? Raya dengan upayanya menggoalkan transpersonal? Atau
Raya dengan upayanya mengembalikan kewarasannya setelah dibuat goncang dengan
kisah segitiganya bersama Angga dan Moza? Atau dua-duanya main plot?
Kalau subplotnya antara lain ada Yudhis-Diana-Weni cs.
Sania-ayah-Yudhis. Raya-Farida-Sausan.
Triggernya itu mungkin ya pas di pesantren Madura, ketika
akhirnya dengan tak sengaja Raya menemui fakta bahwa Moza dan Angga ternyata sudah menikah. Secepat itu?
Quest –nya antara lain adalah saat Raya menemukan mawar
dengan bercak darah di depan pintu ruang kerjanya. Yang membuatnya mengira
kalau dia berhalusinasi. Kita dibuat tercekam dan penasaran dengan misteri ini.
Surprisenya setelah dirunut siapa saja yang minta mawar di
kebun pak Bulan, lalu kita dibikin jalan dan gerak menyelidiki Randi, Lina,
Yudhis dst, sampai akhirnya ketemu ternyata Sania. Meski masih penasaran juga
apa latar belakangnya.
Sepanjang cerita kita dibawa menebak-nebak dan menerka-nerka
bagaimana akhir dari hubungan Raya dengan Yudhis. Namun kita dibuat surprise
(atau kecewa?) ternyata Yudhis dan Diana masih saling mencintai. Dan sebagai
seorang yang mulia, Raya justru berupaya mempertemukan mereka kembali.
Suka banget gaya bercerita mbak Sinta yang berkelit kelindan
dan tidak linear. Sehingga untuk mengurainya dalam story deconstruction pun aku
kepayahan :p
Critical choice-nya adalah saat Sania ditemukan berusaha bunuh
diri. Lalu inevitable (terjadi secara tak terhindarkan) Yudhis jadi
berinteraksi dengan dunia luar saat mengantarnya ke rumah sakit bersama Raya
dan yang lainnya. Dan tentu saja semua kena semprot bu Sausan.
Juga ketika tak jua ketemu solusi ke manakah Yudhis akan dipulangkan,
mengingat Diana dan mertuanya-Weni-berada dalam posisi berseberangan. Lalu Raya
berinisiatif agar Diana tinggal di pavilion bersama Yudhis untuk adaptasi.
Klimaksnya adalah saat Moza datang dan marah karena rumah
tangganya kritis. Anjani datang marah-marah juga.
Farida pernah dihadirkan pas pertengahan, sehingga ketika
dia ada ketika Sania butuh semacam yang memberinya nasihat dan pencerahan
(insight) Farida tidak datang tiba-tiba. Mereka punya kesamaan, ditinggalkan
suami dan punya trauma.
Pembalikan/reversalnya adalah ketika ternyata Sausan sekeras
itu pada Raya dan memindahkannya ke bagian lain justru karena dia (tak punya
anak yang bisa meneruskan kliniknya) ingin Raya kelak menggantikannya jika dia
harus ke Palu membangun klinik Farida.
Resolusinya Raya malah menjadi konsultan untuk mengembalikan
keutuhan rumah tangga Moza dan Angga. Diana dan Weni bersatu dalam rangka upaya
kembalinya Yudhis ke masyarakat normal.
Whoaaaa…tahu-tahu habis, padahal aku aja baca novelnya
sedikit-sedikit supaya bisa tahan lama. Hiks. Ini akan menjadi novel yang
pastinya bisa kubaca berkali-kali, seperti Amba dan Rectoverso.
Te o pe be ge
te.
oh ya, aku suka gaya mbak Sinta memasukkan non fiksi psikologi ke cerita ini. so blend :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar