Karib Adikku Menjadi Sahabatku Juga
Persahabatan takkan pernah berakhir, meski terpisah jarak dan waktu. Bahkan juga mungkin rentang usia, ataupun bidang pekerjaan dan dunia yang berbeda. Demikianlah yang kurasakan dengan karib adikku yang juga menjadi sahabatku ini. Saat tahu aku mau datang ke Bali, segera kami janjian untuk bertemu lagi setelah lebih dari sepuluh tahun berpisah.
Setelah seminggu penuh itu aku dan anak-anak berpesta dan seru-seruan di
UWRF, sahabat karibnya adikku ini menjemput kami. Ubud sedang hujan deras dan
kami terperangkap di Hubud setelah workshop film. Sudah bertahun-tahun lamanya
aku dan karibnya adikku ini tak bersua. Mungkin sejak aku lulus kuliah, lebih
dari sepuluh tahun yang lalu. Tapi seperti kebanyakan karib-karibnya adikku
yang lainnya, aku juga dekat dengan karibnya yang ini. Entahlah bagaimana
ceritanya, mungkin karena aku memang suka nge-blend sama yang lebih muda maupun
yang lebih tua.
Berbekal satu payung, dia menjemput aku dan anak-anak di lantai dua
Hubud yang keren dengan bangunan serba kayu dan bambunya ini. Kami memasuki
mobilnya dalam keadaan basah kuyup. Menembus kemacetan Ubud di hari terakhir
UWRF untuk mengambil koper di penginapan, dan menembus kemacetan lagi
setelahnya untuk menuju Denpasar.
Istrinya yang adalah adik dari karibku menyambut kami di rumahnya.
Persahabatan yang melingkar-lingkar, iya kan? Kami semua melepas kangen dan
saling bertukar cerita. Meski akhirnya mereka nyaman tinggal bertahun-tahun di
Denpasar, tetap saja ada keinginan untuk kembali ke Jawa. Demikian antara lain
isi curhatannya.
**
Setelah melepas lelah semalam, pagi
ini kami berkendara menuju Museum di Lapangan Renon Denpasar. Aku sudah mengangankan untuk datang ke lokasi ini
sejak membaca bukunya Pramoedya Ananta Tour. Yang menggambarkan bagaimana gagah
beraninya rakyat Bali dalam perang Puputan. Disebut
juga sebagau Museum Bajra Sandi. Lokasinya tepat di tengah-tengah lapangan.
Museum ini memiliki bangunan dengan ornamen khas Bali dan taman yang sangat indah.
Tempatnya terawat
dengan baik dan bersih dan lengkap dengan menara yang menjulang ke angkasa yang
mempunyai arsitektur khas Bali yang cantik. Sangat strategis lokasinya. Terletak
di depan Kantor Gubernur, tepatnya di Lapangan Renon Nitimandala. Tempat
ini merupakan tempat pertempuran jaman kemerdekaan antara rakyat Bali melawan
pasukan penjajah. Perang ini terkenal dengan sebutan "Perang
Puputan" yang berarti perang habis-habisan. Monumen ini didirikan
untuk memberi penghormatan pada para pahlawan serta merupakan lambang
penghormatan atas perjuangan rakyat Bali. Di lantai utamanya, kita bisa melihat diorama sejarah keberadaan dan
perjuangan masyarakat Bali dari masa ke masa. Sejak jaman purbakala sampai
jaman kemerdekaan. Berhubung dulu di kampus arsitektur sempat belajar teknik
presentasi dan fotografi, dengan seadanya gadget yang kupunya, aku mencoba
menjepret foto-foto dan juga tentu saja berpose bareng anak-anak.
Dari Museum Puputan, kami bergerak menuju toko oleh-oleh. Toko swalayan
bertajuk Erlangga 2 ini konon termasuk pusat oleh-oleh yang harganya tidak
terlalu mahal. Tetapi karena memang bukan musim liburan, jadi tidak terlalu
ramai waktu kami datang. Tempatnya nyaman dengan berbagai macam pilihan kain,
baju dan souvenir lain malah bikin bingung memilihnya.
Karibnya adikku yang juga jadi sahabatku ini kemudian mengajak kami ke Danau
Kintamani. Bahkan mobilnya saja sudah berjalan kea rah sana. Kupikir dekat saja
tadinya jadi aku setuju-setuju saja. Tapi setelah memeriksa lewat GPS, wah kok
jauh banget ya.. nggak ah. Aku kuatir
anak-anak kecapaian. Mereka kutanyai satu persatu apakah masih mau jalan ke
danau, jaraknya sekian kilometer dan sekian jam lagi kira-kira mau sampai.
Mereka tidak mau, persis seperti yang kuduga. Akhirnya kami belok ke tempat wisata yang terdekat. Ke alas kedatonlah
mobil melaju. Meski tidak banyak yang bisa kami lihat, tapi kami cukup
bersenang-senang.
Dua keluarga kecil ini semua berderet untuk berfoto bersama. Dengan
masing-masing memakai mahkota berwarna kuning emas. Wajah anaknya temanku yang
kelahiran Bali jadi kayak anak Bali sungguhan lho. Hehe.
Pura kedaton memiliki
empat pintu masuk ke dalam Pura yaitu dari barat yang merupakan pintu masuk
utama yang lainnya dari Utara, Timur dan dari Selatan yang ke semuanya menuju
ke halaman tengah. Berbeda dengan pura pura lainnya yang ada
di Bali. Keunikan yang kedua adalah halaman pura Alas
kedaton dalam yang merupakan tempat paling di sucikan berada lebih rendah
dari halaman tengah dan luar. Tempat suci pura Alas kedaton ini
dikelilingi oleh hutan yang dihuni oleh sekelompok kera yang dikeramatkan oleh
masyarakat. Ada juga banyak kalong yang
bergelantungan.
Dari Alas Kedaton, kami beranjak pulang. Aku mengingatkan agar rencana
mengunjungi kampong muslim ataupun pesantren di Bali, bisa terlaksana. Akhirnya
kami sepakati untuk mampir di pesantren
Raudhatul huffadz yang terletak di Tabanan. Sembari parkir mobil, temanku yang
dermawan itu membeli buah tangan di Indomaret. Ah, ternyata meski lama tinggal
di Denpasar, dia masih ingat tradisi itu. Bahwa tidak elok rasanya kalau sowan
ke kyai tanpa membawa i-en alias oleh-oleh.
Pak Kyai Nur pengasuh pesantren ini ternyata berasal dari Demak. Datang
ke Tabanan tahun 1975. Dari majlis pengajian kecil yang hanya mengajar dua tiga
orang yang tinggal di sekitar rumahnya, sekarang sudah menjadi pesantren dengan
ratusan santri mukim. Bahkan memiliki MI, MTS dan MA dengan gedung
masing-masing. Subhanallah. Ternyata
beliau ini juga yang berinisiatif mengadakan ziarah wali pitu di Bali. Dengan
tujuan agar para wisatawan muslim yang datang ke Bali tidak hanya berwisata
pantai dan semacamnya, tetapi juga berdzikir. Pak Kyai Nur mengisahkan dulu ada utusan dari
Sunan Kalijogo memang datang untuk mendakwahi para pelarian dari Majapahit yang
tinggal di Bali. Tetapi sudah ada unen-unen, bahwa hanya orang yang berasal
dari Demaklah yang akan sanggup tinggal lama dan bersama-sama para penduduk
Bali ini. Bagaimana kebenaran legenda atau mitos ini, mungkin bisa dicari tahu
lebih dalam. Tapi pak Kyai Nur, Alhamdulillah, sudah menjadi bukti nyata
kegigihannya berdakwah dengan tetap bersanding bersama-sama pemeluk kepercayaan
yang lain. Hanya saja menurut pak Nur,
sejak adanya bom dan terorisme, kerukunan yang dulu tercipta baik, kini tidak
sehangat dulu. Tetap saja ada kewaspadaan oleh aparat dan lainnya jika ada
muslim yang bermaksud mendirikan majlis taklim atau bangunan ibadah yang baru
di Bali. Jadi terorisme tidak saja
merugikan mereka yang di luar Islam. Mereka bahkan juga merugikan Islam dan
umat Islam itu sendiri.
Yang ajib, semua santri di sini tidak membayar alias gratis. Bahkan
mereka juga disekolahkan. Jadi seperti
di Tarim Hadrom maut Yaman. Kemudian selulus Aliyah (setingkat SMA) para
santri yang hafal Alquran mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas dan
Kampus yang sudah ada kerjasama dengan pesantren.
**
Kami memasuki Denpasar sekitar jam lima sore. Langit masih cerah. bahkan
hampir maghrib saja, langit Bali masih terang. Kusadari ini sejak kami berada
di Ubud kemarin. Menuju sebuah resto, kendaraan melaju. Kami menikmati makan
sore dalam suasana yang akrab. Anak-anak semakin dekat. Mereka menikmati
tatanan interior resto yang homy dan hangat.
“Lihat, tanganku jadi banyak,” seru bungsuku sembari kedua tangannya
menari-nari. Dia menirukan gaya burung
terbang. Bayangannya memantul dari cermin yang ada di dinding sisi kanan menuju
cermin di kiri resto, dan sebaliknya. Sehingga tangan-tangan itu kemudian
menjadi banyak sekali. Kontan saja sang kakak juga dua teman barunya –kedua
anak temanku- mengikuti polah tingkah bungsuku. Mereka berbaris seperti penari
Bali, lalu menggerak-gerakkan tangannya secara bersama-sama. Bersusun dari
bawah ke atas. Sehingga tangan-tangan dalam cermin tampak semakin banyak lagi.
**
Keesokan harinya saat jam dinding masih menunjukkan pukul setengah empat
pagi, aku sudah berkemas. Bebersih di kamar mandi, dandan secukupnya dan
menyiapkan koper serta tas untuk segera check-out dari kamar tamu rumah temanku
ini. Mungkin karena terganggu keributan pagiku, sulungku terbangun dengan
sendirinya. Dia tanpa diminta, mengikuti jejakku untuk bersiap-siap. Tinggal
aku perlu membangunkan Bungsuku. Tapi ternyata tidak butuh waktu lama. Diapun
segera bangun begitu mendengar kata ‘naik pesawat’.
Dari arah dapur sudah terdengar denting sendok beradu dengan cangkir.
Saat keluar menuju ruang makan, aroma teh panas menguar. Diimbuhi kehangatan
sang tuan rumah membuat subuh ini terasa nikmat. Usai menghangatkan tubuh, kami semua bergegas
menuju mobil. Sesuai saran teman baikku, kami akan sholat subuh di bandara
saja. Supaya tidak tertinggal untuk check in. Maka pagi itu kendaraan bergerak
ke bandara. Kami diantar sampai depan pintu keberangkatan.
Duh, akhirnya saat perpisahan itupun tiba. Aku dan istrinya berpelukan. Aku dan anak-anak berpamitan dan kami janjian ketemuan lagi entah kapan. Tangan
terlambai, tapi hati makin tertaut.
cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.Com dan nulisbuku.Com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar