JOKO (cerpen)
Tania mempererat
pelukan ke pinggang Adit yang melaju
kencang menembus jalanan menuju pegunungan yang dingin. Memang inilah hal yang
dulu membuat perempuan manis itu menerima lelaki berparas lembut itu sebagai
suaminya. Mimpi bahwa mereka akan berboncengan di atas dua roda dan mengunjungi
banyak tempat, melalui banyak perjalanan. Jadi begitu tadi pagi Adit mengajak Tania mengunjungi rumah sahabatnya,
Joko, di daerah pegunungan, senyum perempuan itu terus mengembang. Dia menganggap
ini sebagai perjalanan pertama mereka ber-honey moon setelah menikah sebulan lalu. Selama itu mereka lebih sering
gagalnya. Setiap dalam perjalanan pulang dari kantor, Tania sempat selalu
merasa ketakutan akan merasa sakitnya dimasuki. Tapi mereka merasa harus
melewati dan melakukannya, karena toh mereka suami istri. Bukankah fitrahnya
mereka seharusnya berhubungan.
Harapannya TUMBUH
dan REKAH. Semoga di daerah dingin ini segala sesuatunya akan lebih lancar. Tapi
usai makan malam dan bercengkerama bersama ibu dan adik-adiknya Joko, Tania
kembali sendiri dalam kamar yang temaram. Kenapa Adit tak juga kunjung memasuki
kamar yang disediakan untuk mereka. Perempuan itu bangkit dari duduknya yang
mulai gelisah dan mengintip keluar kamar. Seperti umumnya rumah pedesaan,
suasana sangat sepi. Mungkin ibu dan adiknya Joko sudah padha tidur. Sayup dari
kamar yang berada di seberang kamar tamu, terpisah oleh ruang tamu yang
panjang, Tania bisa mendengarkan suara Adit dan Joko yang berbincang-bincang. Mungkin
karena mereka lama tak berjumpa, jadi
ingin saling bertukar cerita. Tania mengingat-ingat sendiri apakah dia juga
punya sahabat yang kental seperti Joko bagi Adit.
Pagi-pagi Tania
terbangun dan baru sadar bahwa semalam dia melewatkan kebiasaan yang sebulan
terakhir ini dia jalani. Berbaring di sebelah suami. Sepertinya Adit ketiduran tidur di kamar Joko setelah sesore dan semalaman berbincang-bincang. Pantas saja
waktu itu Joko yang diajak Adit ke rumah Tania waktu mereka masih dalam masa
perkenalan dan pacaran. Sudah berkali-kali ngapeli tetapi tak kunjung
melamar, rupanya Adit ingin Joko menilai
dulu apakah Tania gadis yang pas untuknya. Kebetulan sekali waktu Joko datang
dulu itu pas barengan ada cowok lain
datang mengunjungi Tania. Kontan Adit kelimpungan dan merasa kecolongan, lalu
justru Jokolah yang nembungke minta ke ibunya Tania agar Adit bisa diterima
sebagai calon menantu. Mengingat hal itu, tak urung terbersit rasa terima kasih
di hati terdalamnya. Kecurigaan pun Tania KUBUR dalam-dalam.
**
Tapi
pelan-pelan rasa terima kasih dan kesabaran berubah menjadi kesal ketika
berkali-kali kemudian Adit sering sekali
pergi dengan Joko. Ada saja alasannya. Yang menagih hutang ke teman di luar
kota lah, yang berbisnis bareng lah, yang mengunjungi teman sakit lah dan
banyak alasan lainnya yang membuat Tania jengkel.
Joko lagi. Joko
lagi.
Yang lebih
menjengkelkan adalah kepergian Adit bersama Joko kelilingan kota untuk banyak
pekerjaan ataupun keluar kota untuk tujuan penagihan-penagihan itu mengurangi
jatah Tania untuk bisa bersama-sama suaminya. Hubungan mereka yang memang
tadinya belum begitu erat terasa semakin hambar.
“Mbok kalau ada
meeting, pertemuan atau rapat-rapat gitu di rumah kita aja,” usul Tania suatu
kali.
Bisa melihat
jeleger penampakan suaminya di rumah tentu akan lebih menentramkan hatinya
tinimbang harus setiap malam cemas menunggu-nunggu kedatangan Adit yang tak
jelas pukul berapa tiba di rumah.
“Iya, deh,” jawab
Adit.
Rupanya
permintaan Tania benar-benar dipenuhi. Hari itu Joko datang ke rumah mereka. Biasanya
Adit dan sahabatnya itu memang janjiannya di luar rumah.
Tania yang
merasa proposalnya diterima pun menyambut kedatangan sahabat suaminya dengan
pelayanan istimewa. Berbagai menu masakan dan panganan tersaji, juga bermacam
jenis minuman.
Rapat dua
sahabat itu ternyata berlangsung sampai larut malam. Dan seperti biasanya
bersambung obrolan di kamar tamu. Tania tak kuat lagi menahan kantuknya
sehingga kemudian tertidur setelah berjam-jam menunggu Adit masuk ke kamar
mereka.
Pagi-pagi saat
terbangun, tetiba sebuah pikiran buruk menyerang kepalanya. Dia jadi teringat
cerita mertuanya saat pertama kali dia datang sebagai pengantin baru.
“Oalah, untung
akhirnya Adit mau nikah sama kamu ya. Dulu itu aku sampai sempat tanya sama Yu Rah
lho,” cetus ibunya Adit.
Yu Rah adalah
pemilik warung yang rumahnya bersebelahan dengan rumah yang ditempati Tania dan
Adit sekarang.
“Apa Adit masih normal, Yu? Bisa naksir cewek? Kok
disuruh nikah tapi nggak berangkat juga,” lanjut ibunya Adit bercerita.
“Kamu pernah
lihat Adit dekat dengan siapa, Yu? Biar aku lamarkan, karena dia dijodohkan
dengan siapapun kok tidak mau. Padahal umurnya sudah 33 tahun.”
Yu Rah tidak
bisa memberi banyak informasi yang dibutuhkan. Tetapi ibunya Adit berhasil
membujuk anaknya itu untuk berkunjung ke rumah Tania yang masih kerabat jauh. Dan
ternyata mereka berjodoh.
Kemarin-kemarin
Tania menganggap cerita ini sebagai sebuah bentuk sanjungan kepadanya yang
berhasil membuat hati dan hidup Adit bersandar.
Tetapi hari ini cerita itu seakan menjadi sebuah sinyal dan tanda yang entah
mengapa mengganggu kedalaman hati Tania.
Perempuan itu
meski hatinya serasa mengeropos tetapi berusaha menegarkan langkahnya. Berjalan tanpa bersuara ke arah kamar tamu. Ambang
pintunya tertutup tirai, tapi daun pintu tidak terkunci. Dengan menahan debar
dan deru di dadanya yang mulai menyalakan api, Tania berhenti sebentar di depan
pintu. Kecurigaannya sejak tadi makin membesar ketika pagi datang tapi Adit dan Joko tak juga
bangun dan keluar kamar. Dia sempat mengira keduanya tentu masih belum lepas
dari kebiasaan para pemuda yang suka kebluk alias bangun kesiangan. Namun
keingintahuan yang tinggi membuat Tania
tak mau lagi menunggu.
Langkah Tania
memelan tapi dengan pasti dia sampai di dalam kamar. Dan terpaku. Matanya menangkap pemandangan aneh. Apa normal
jika dua pria yang bersahabat tidur bersisian dengan posisi yang begitu akrab. Intim. Tak perlu mengucek
mata untuk melihat Adit dan Joko tidur dengan posisi seperti sendok. Adit
tampak merangkul erat Joko dari arah
belakang. Dan mereka sama-sama masih lelap dengan wajah yang tersenyum…..bahagia?
Jangan-jangan…
Tania menahan
diri dari keinginan membangunkan mereka. Dia berharap keduanya terbangun dan terkejut
mendapatkan perempuan itu telah berada di depan mereka. Menangkap basah
keduanya, bermesraan? Tapi atas dasar apa? Toh mereka masih berpakaian lengkap
meski keduanya hanya memakai kaos singlet dan sarung.
Tapi keduanya
tidak terbangun juga. Membuat hati Tania serasa remuk. Dia perlahan-lahan
keluar lagi dari kamar tamu dengan sejuta tanya dalam kepala. Kecurigaan lain
menyusul, kenapa Joko juga tak juga menikah padahal usianya sudah tiga puluh
lima tahun.
Jangan-jangan…
Perempuan itu terpikir
untuk menggugat Adit. Tapi lalu Tania ingat, dulu sekali waktu dia pernah
menindih seorang anak perempuan.
(1001 kata)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar