Ngemilbaca Dari Ngaliyan Ke Sendowo
Meski judulnya dari Ngaliyan ke Sendowo, namun sesungguhnya kita bahkan
diajak jalan-jalan juga ke Bangkok, Jepang dan Malaysia juga. Seru banget. Cukup
mengejutkan bagiku, karena dulu sempat pas membaca karya mbak NH Dini yang lain,
aku merasa kurang tertarik melanjutkan karena merasa bahasanya biasa saja, lugas dan keseharian. Tetapi pas
kemarin kubaca yang ini, aku merasa bahasa yang biasa dan lugas itu tidak
mengurangi keindahan berceritanya. Mengalir, runtut, dan penuh kontemplasi
serta inspirasi. Aku bahkan tak melewatkan satu katapun. Sesuatu yang jarang
terjadi jika membaca karya-karya yang ‘polos’ alias ‘klise’ (biasanya fast
reading sih kalau nemu yang begitu)
Lalu kusadari kenapa waktu itu aku sempat tidak tertarik
melanjutkan baca meski beli bukunya mbak NH Dini, karena di saat itu aku masih/sedang teracuni oleh
salah seorang guruku. Dia bilang aku
harus shifting dan lifting, dengan membaca karya-karya yang sophisticated. Yang
waktu itu aku salah mengartikannya dengan bacaan dengan diksi berat, tema dan topic
berat, filsafati dan semacamnya. Dus, yang bahasanya biasa-biasa saja jadi
kurang menarik. Seiring waktu dan jam terbang, lalu kekeliruan ini kusadari. Bahkan
dengan gaya bahasa yang sederhana dan lugaspun, sebuah cerita yang bagus
tetaplah bisa menjadi cerita yang bagus. However, tentu saja selera
masing-masing bisa sangat berbeda. Buat yang suka rumit-rumit, yang sederhana
begini bisa menjemukan.
Tapi aku belajar banyak. Mbak NH Dini tentulah banyak
terpengaruh dari novel-novel Perancis dan novel barat yang banyak dibacanya. Gaya
tutur narasinya yang detail, filmis, showing/dalam bentuk adegan, diselingi
kontemplasinya menjadikan buku ini selain menghibur, menginspirasi juga membawa
kita berefleksi diri.
However, latar belakang dan pemikiran penulis juga hal-hal
yang dia cerna banyak berpengaruh pada ‘pesan’ , ‘nilai’ maupun ‘keyakinan’ yang diusung dalam
karyanya. Sebagaimana juga dalam novel ini.
Jika penulis Titik Balik membahasakan beberapa keberuntungannya sebagai
serendipity, mbak NH Dini berulang-ulang dan berkali-kali memperlihatkan bahwa
keberuntungan yang berulang kali didapatkannya sebagai KaruniaNya (meski dalam
kenyataannya yang juga beliau selipkan tanpa menggurui dalam ceritanya bahwa
pencapaiannya itu adalah buah perjuangan, usaha serta doa)
Meski mbak NH Dini tidak menampakkan secara gamblang
agamanya, namun tampak bahwa beliau mengamalkan Islam. Bahkan bisa dibilang
novel ini bisa juga disebut sebagai novel yang Islami. Karena di sana
ditauladankan bagaimana bermanfaat untuk orang lain, bagaimana berdisiplin,
mandiri, bercita-cita, selalu ingat/dzikir kepadaNya, bagaimana bersyukur dan
bersabar dan seterusnya. Beliau menuturkannya dengan cara sedemikian sehingga
nilai-nilai kebaikan universal ini diterima oleh kalangan manapun dan siapapun.
Patutlah beliau mendapat banyak penghargaan itu.
Satu lagi pelajaran dari novel ini. Betapa sampai tua, ternyata
pekerjaan menulis di Indonesia mungkin belum cukup untuk kebutuhan finansial. Jadi
ketika kita tahu menulis tidak bisa ‘menghasilkan’ uang, sudah saatnya semakin memantapkan
diri untuk menulis demi ‘keabadian’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar