Segenggam Daun Di Tepi La Seine (SDDTLS)
Karena baru saja membaca novel NH Dini dan juga bertemu langsung dengan penulisnya, maka ketika aku membaca SDDTL segera saja mengingatkanku pada beliau. Selain settingnya adalah Perancis, juga karena tokohnya bernama Yves. Sama-sama pertemuan dan kisah cinta antara seorang perempuan Indonesia dan pria Perancis tak urung membuatku ingin tahu lebih banyak, apa bedanya dengan kisah yang ditulis bu NH Dini.
Cerita dibuka dengan pengenalan karakter. Kita jadi tahu kalau Ajeng ini gadis ceroboh. Semnetara Yves teratur. Langsung saja potensi konfliknya mulai tampil. lalu perlahan-lahan konflik makin dikupas satu persatu. SSembari kita menikmati setting Paris yang aduhai dan mengundang kita untuk datang ke sana.
Selain menjelajah tempat tempat indah di Paris, kita juga jadi belajar budaya dan kebiasaannya yang berbeda. Semuanya ditampilkan dalam adegan yang filmis.
Pada awalnya aku sudah siap-siap menahan diri untuk tidak menjadi polisi moral saat membaca novel ini
Mengingat bahwa kedua tokohnya tinggal serumah padahal belum menikah. Tapi rupanya memang justru situasi ini menjadi salah satu hal yang mungkin dimaksudkan sebagai pembelajaran dan pendidikan. Bahwa dalam situasi apapun seharusnya memang nilai-nilai moral dan kesantunan harus tetap dijaga. Jadi rupanya kali ini aku tidak perlu menjadi polisi moral. Haha.
Memakai sudut pandang orang pertama dan ketiga bergantian antara Yves dan Ajeng. Untuk menampilkan pikiran, perasaan dan pedalaman/batiniah mereka.
Cara berceritanya mengalir. Dengan alur maju mundur yang porsinya pas, dan tidak mengganjal atau bikin bosan seperti jika kita membaca flash back yang terlalu kepanjangan.
Latar belakang keluarga yang berbeda dan bahkan berbeda dari apa yang seringkali orang stigma/labelkan, kita seolah melihat ironi. Keluarga yang dari timur yang konon katanya mengagungkan pernikahan malah berantakan, keluarga yang dari barat yang konon katanya mendukung kebebasan justru malah harmonis.
Stereotip orang Asia terhadap orang Barat tidak selalu benar (hal 117)
Mama yang dulu meninggalkan mereka, hadir kembali dalam kehidupan Ajeng sebab ayah Ajeng kena serangan jantung padahal Ajeng membutuhkan baju pengantinnya yang dia jahitkan di Indonesia. Ini terlihat plausibel, logisz meski tak sepenuhnya inevitablr. Hal-hal dan skenario seperti inilah yang biasanya menjadi PR berat penulis dan editor dalam menggarap sebuah cerita yang memang seharusnya penuh konflik dan kejutan.
Kecenderungan dan sifat Ajeng yang lebih suka spontanitas seperti menemukan 'pasangan'nya saat bertemu Alain, sahabat Yves. Dan dari sinilah permasalahan berikutnya muncul.
Keraguan dan godaan beberapa waktu sebelum pernikahan memang sering terjadi. Mungkin karena pernikahan memang merupakan stage atau tahapan yang tinggi dalam kehidupan, sehingga ujian untuk sampai pada tahapan itupun berat.
Klimaks terjadi saat Yves menemukan kartu cinta yang diberikan Alain pada Ajeng, sebab kecerobohan Ajeng sehingga tanpa sengaja menjatuhkannya di lantai.
Pertanyaan demi pertanyaan, kebimbangan dan juga keraguan pada diri sendiri akan kemampuannya bersetia, membuat Ajeng hampir saja berpindah hati.
Dalam perjalanan novel ini, hubungan dingin antara Ajeng dengan Mama yang meninggalkan keluarga merekapun mengalami transformasi.
Pertemuan Ajeng dengan Sifa yang berani berkorban dengan menjadi pekerja ilegal di Paris demi bisa membiayai operasi ibunya, membuat pikiran dan perasaan Ajeng menjadi lebih terbuka. Sikap heroisme dan juga kasih Sifa pada keluarga dan ibunya kemudian sedikit banyak menginfiltrasi pikiran dan perasaan Ajeng pada Mamanya.
Semua konflik yang berkelit kelindan terceritakan sedemikian rupa dengan manisnya sehingga selalu ada alasan logis untuk tindakan-tindakan yang dipilih, yang berakibat pada sequence dan scene berikutnya yang sama kuat dan logisnya mendorong cerita ibi sampai pada akhir yang bahagia.
Di luar pilihan tinggal bersama dan beberapa adegan yang bisa memancing pembacanya melakukan 'maksiat', cerita ini bagus.
Tanpa menggurui, dia mengajarkan arti pentingnya pernikahan dan kesetiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar