Lancar Mentoring Bareng XL
Kebetulan sekali kalau mentor dan aku sama-sama menggunakan XL. Jadi kami lancar berkomunikasi sejak kali pertama bertemu via fesbuk. Dia dengan kebaikan hatinya yang seluas samudra dan setinggi gunung, sukarela menelponku untuk membimbingku dalam hal kepenulisan, penerbitan, branding, marketing sampai tetek bengek tentang attitude, mindset dan banyak hal lain lagi. Pada akhirnya beliau bukan saja menjadi mentor nulisku, tetapi juga mentor of my life. Dan XL banyak membantu kami melewati jarak yang jauh.
Pagi, kadang-kadang satu jam. Ngebahas apa saja yang sedang kutulis. terus dia kasih pertanyaan-pertanyaan yang menggali kemampuanku lebih jauh demi penyempurnaan tulisan itu.
Siang, ntar telpon lagi, pas jam istirahat makan siang gitu, ngobrolin yang lain. Apakah tentang branding, marketing, sosmed, gejala sosial lainnya, trend, mode dan sebagainya.
Sorenya atau malam, telponan lagi, ngajak mikir yang berat-berat gitu deh kadang-kadang. Sampai dibikin pusing, pening, dan kadang-kadang jengkel. Nggak jarang kadang-kadang pakai 'bullying' git, rupanya biar aku kuat mental :D
Dia mungkin tidak ingin keikhlasannya akan tercampur dengan pujian dan sanjungan yang bisa melenakan. Sehingga dia lebih senang bersembunyi dari khalayak ramai. Dan aku memegang janjiku untuk tidak mempopulerkannya di depan umum. Tak banyak orang yang tahu bahwa dialah yang sesungguhnya berdiri di belakang aku saat diriku hendak jatuh dan terkulai saat itu. Berada di antara kehidupan yang tak jelas dan kematian yang tak pantas.
Sesungguhnya Tuhan ada di balik ini semua. Jika dia di belakangku, maka Tuhan ada di belakangnya. Itulah yang senantiasa dia dengung-dengungkan. Apalah aku ini, katanya. Aku bukan siapa-siapa. Aku sedang beruntung saja menjadi kepanjangan Tuhan. Jadi di dalam pemikirannya, dia diutus Tuhan untuk menyelamatkanku yang tengah berada di dalam keputusasaan kala itu.
Saat aku berada di persimpangan antara melanjutkan karir yang sesuai dengan background pendidikanku, ataukah mengerjakan sesuatu baru yang lebih sesuai dengan passionku, dia bicara. Dan sudah dapat ditebak. Aku mengikuti anjurannya. Meski seringkali dia bilang bahwa semuanya terserah aku.
Jadilah hari-hari kami makin saling kait mengkait. Ketergantungan yang bernama apa saja. Teman, sahabat, ayah, kakak, partner kerja, juga lawan diskusi. Dan akhirnya rekan duet dalam menulis. Termasuk saat menulis dan menyelesaikan novel pertamaku.
Untungnya dunia maya membebaskan kita bergerak ke mana saja, berhubungan dengan siapa saja dan akhirnya meluaskan apa saja. Termasuk pertemuanku dengan partner menulis sekaligus mentorku ini. Dia banyak menggali kemampuan menulisku.
“Kamu harus menjadi sesuatu. Untuk anak-anakmu,” dia terus menerus menghembuskan udara keberanian.
“Kamu punya potensi. Kamu punya visi. Dan kamu punya tugas. Ayo kamu bisa, ” begitu terus dia mencecar telingaku dengan lecutan-lecutan. Seorang sahabat dengan ketulusan memang bisa membangkitkan tidur kita, menciptakan mimpi-mimpi baru dan membuat kita terjaga. Lalu meniti tangga kesuksesan dengan dukungan tanpa syarat.
Sehingga setelah istikhoroh, aku mengambil loncatan yang tak pernah kukira sebelumnya meski jauh di masa lalu impian ini pernah ada dalam memoriku. Aku menerbitkan novelku sendiri. Langkah berani yang diambil seorang ibu muda dengan dua anak yang masih suka merajuk. Semua dikerjakan dari balik laptop di dalam kamar. Senang sekali rasanya akhirnya create something tanpa harus meninggalkan anak-anakku.
Dan di sinilah aku. Dan dia sesungguhnya tak pernah pergi. Dia seolah bayang-bayang yang senantiasa ada, menjaga dan mengawasiku, selalu siap di sisiku kapan saja aku membutuhkannya. Belum lagi kutemui orang yang sedemikian tulusnya. Meski aku beberapa kali mungkin menyakiti hatinya, mengecewakan dan tidak memenuhi harapannya. Tapi mungkin memang benar, dia melakukannya bukan untukku. Dia melakukan semua ini karenaNya. Jadi tak peduli aku kadang ingin lepas atau lari, dia tetap di tempatnya.
Lalu kuketahui dia melakukannya bukan hanya untukku. Dia dengan tetap menggunakan topengnya di balik hati malaikatnya, melakukan banyak hal untuk banyak orang. Dia membangkitkan orang-orang yang hampir putus asa sepertiku waktu itu. Dan membuat orang-orang inipun kebingungan bagaimana mengucapkan terima kasih, karena dia tidak merasa melakukan apa-apa. Aku hanya kepanjangan tangan, Dia yang ada di balik semua ini. Begitu katanya selalu.
Jadi diam-diam kami hanya bisa berdoa semoga kebaikan yang ditanamnya dalam diam ini bertumbuh menjadi pohon kebaikan, kebajikan, kebijakan yang berlipat ganda buahnya. Aamiin.
Thanks XL sudah membersamai kami selama ini.
Pagi, kadang-kadang satu jam. Ngebahas apa saja yang sedang kutulis. terus dia kasih pertanyaan-pertanyaan yang menggali kemampuanku lebih jauh demi penyempurnaan tulisan itu.
Siang, ntar telpon lagi, pas jam istirahat makan siang gitu, ngobrolin yang lain. Apakah tentang branding, marketing, sosmed, gejala sosial lainnya, trend, mode dan sebagainya.
Sorenya atau malam, telponan lagi, ngajak mikir yang berat-berat gitu deh kadang-kadang. Sampai dibikin pusing, pening, dan kadang-kadang jengkel. Nggak jarang kadang-kadang pakai 'bullying' git, rupanya biar aku kuat mental :D
Dia mungkin tidak ingin keikhlasannya akan tercampur dengan pujian dan sanjungan yang bisa melenakan. Sehingga dia lebih senang bersembunyi dari khalayak ramai. Dan aku memegang janjiku untuk tidak mempopulerkannya di depan umum. Tak banyak orang yang tahu bahwa dialah yang sesungguhnya berdiri di belakang aku saat diriku hendak jatuh dan terkulai saat itu. Berada di antara kehidupan yang tak jelas dan kematian yang tak pantas.
Sesungguhnya Tuhan ada di balik ini semua. Jika dia di belakangku, maka Tuhan ada di belakangnya. Itulah yang senantiasa dia dengung-dengungkan. Apalah aku ini, katanya. Aku bukan siapa-siapa. Aku sedang beruntung saja menjadi kepanjangan Tuhan. Jadi di dalam pemikirannya, dia diutus Tuhan untuk menyelamatkanku yang tengah berada di dalam keputusasaan kala itu.
Saat aku berada di persimpangan antara melanjutkan karir yang sesuai dengan background pendidikanku, ataukah mengerjakan sesuatu baru yang lebih sesuai dengan passionku, dia bicara. Dan sudah dapat ditebak. Aku mengikuti anjurannya. Meski seringkali dia bilang bahwa semuanya terserah aku.
Jadilah hari-hari kami makin saling kait mengkait. Ketergantungan yang bernama apa saja. Teman, sahabat, ayah, kakak, partner kerja, juga lawan diskusi. Dan akhirnya rekan duet dalam menulis. Termasuk saat menulis dan menyelesaikan novel pertamaku.
Untungnya dunia maya membebaskan kita bergerak ke mana saja, berhubungan dengan siapa saja dan akhirnya meluaskan apa saja. Termasuk pertemuanku dengan partner menulis sekaligus mentorku ini. Dia banyak menggali kemampuan menulisku.
“Kamu harus menjadi sesuatu. Untuk anak-anakmu,” dia terus menerus menghembuskan udara keberanian.
“Kamu punya potensi. Kamu punya visi. Dan kamu punya tugas. Ayo kamu bisa, ” begitu terus dia mencecar telingaku dengan lecutan-lecutan. Seorang sahabat dengan ketulusan memang bisa membangkitkan tidur kita, menciptakan mimpi-mimpi baru dan membuat kita terjaga. Lalu meniti tangga kesuksesan dengan dukungan tanpa syarat.
Sehingga setelah istikhoroh, aku mengambil loncatan yang tak pernah kukira sebelumnya meski jauh di masa lalu impian ini pernah ada dalam memoriku. Aku menerbitkan novelku sendiri. Langkah berani yang diambil seorang ibu muda dengan dua anak yang masih suka merajuk. Semua dikerjakan dari balik laptop di dalam kamar. Senang sekali rasanya akhirnya create something tanpa harus meninggalkan anak-anakku.
Dan di sinilah aku. Dan dia sesungguhnya tak pernah pergi. Dia seolah bayang-bayang yang senantiasa ada, menjaga dan mengawasiku, selalu siap di sisiku kapan saja aku membutuhkannya. Belum lagi kutemui orang yang sedemikian tulusnya. Meski aku beberapa kali mungkin menyakiti hatinya, mengecewakan dan tidak memenuhi harapannya. Tapi mungkin memang benar, dia melakukannya bukan untukku. Dia melakukan semua ini karenaNya. Jadi tak peduli aku kadang ingin lepas atau lari, dia tetap di tempatnya.
Lalu kuketahui dia melakukannya bukan hanya untukku. Dia dengan tetap menggunakan topengnya di balik hati malaikatnya, melakukan banyak hal untuk banyak orang. Dia membangkitkan orang-orang yang hampir putus asa sepertiku waktu itu. Dan membuat orang-orang inipun kebingungan bagaimana mengucapkan terima kasih, karena dia tidak merasa melakukan apa-apa. Aku hanya kepanjangan tangan, Dia yang ada di balik semua ini. Begitu katanya selalu.
Jadi diam-diam kami hanya bisa berdoa semoga kebaikan yang ditanamnya dalam diam ini bertumbuh menjadi pohon kebaikan, kebajikan, kebijakan yang berlipat ganda buahnya. Aamiin.
Thanks XL sudah membersamai kami selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar