3 Musketeers Go To UWRF (bagian 8)
DAY FIVE
DAY FIVE
Festival Hari Ketiga 14 Oktober
Pagi ini aku menuju panel “Little People Dan Their Book” di Neka Art Museum. Karena Children Programme-nya masih nanti mulainya, jadi anak-anak ikut aku. Mereka bermain-main di sekitaran museum yang punya halaman sangat luas. Bahkan anak-anakku itu bercanda dan berpose dengan para petugas museum. (Aku tahunya setelah pulang dan melihat foto-foto mereka yang diambil dengan tab milik Hasan sendiri).
Hari ketiga kayaknya para peserta UWRF sudah mulai padha loyo nih. Acara jam Sembilan tapi belum padha siap dan datang. Hehe. Tapi menurut salah seorang peserta lain, mungkin karena kebanyakan peserta habis kecapaian belanja semalaman kemarin. Hmm.. bisa juga.
Sembari menunggu panel dimulai, hati bermain-main. Teringat bahwa ini hari Arafah dan berduyun-duyun jamaah haji menuju pengampunanNya yang teragung. Bagaimana dirimu di ubud tapi hatimu di arafah, tentu saja sebuah persoalan tersendiri. Tapi sesuai dengan tekad dan kemantapan hati kemarin, meski berada di Ubud namun tetap berusaha melakukan ibadah-ibadah yang disunnahkan pada hari Arafah. Antara lain dengan berpuasa.
Akhirnya panel dimulai dan Kirsty Murray mengisi sesi pagi ini dengan gayanya yang cantik, berkelas tetapi juga asyik. Deep story should across culture, demikian antara lain ungkapnya. Bahwa cerita yang bagus dan dalam hendaknya melintasi berbagai budaya.
Ada panelis dari Polandia kayaknya, bahasa Inggrisnya juga kesusahan kayak kita, tapi dasar audience para orang asing ini sopan, ya jadi padha maklum. Coba kalau audience kita, hadeuh pasti terdengar huuuu panjang dan semacamnya.
Dengan pilihan panel begitu banyak, pertanyaan peserta satu sama yang lain adalah mana nih panel favoritmu selama dua hari ini?
**
Dari Neka Art Museum, kami naik shuttle menuju Museum Puri Lukisan. Anak-anak kutitipkan pada Mrs Linda dan Puput lagi yang menghandle children programme pagi ini. Tema kali ini plastic attack. Bermain-main dengan limbah plastic, mengubahnya menjadi sebuah karya seni yang indah.
Kutinggalkan mereka sampai tengah hari. Aku bergegas menuju venue utama lagi untuk mengikuti agendaku sendiri. Anak-anak enjoy bermain dengan guru-guru dan teman-teman baru mereka.
Saat aku menjemput mereka tengah hari, betapa sejuknya hatiku saat melihat hasil karya Fatimah. Dia membuat sebuah hati besar dari limbah plastic itu. Menuliskan I LOVE MOM dengan material yang sama tapi beda bahan dan warna. Aduuuh…rasanya mak treceeeep…sampai berkaca-kaca mataku.
Hasan karena kangen dengan sahabat terbaiknya di sekolah, menuliskan nama Ahmad di bagan prakaryanya. LOVE FRIENDS. Membuat siluetnya bergandengan dengan temannya, dari material limbah plastic juga.
Bagian paling tak bisa ditinggalkan adalah berfoto bersama karyanya. Hadeuh, tapi si Hasan gimana sih. Memegang karyanya kok kebalik gitu. Hehe.
Lalu bersama semua teman-teman, baik para siswa sekolah di Ubud maupun para peserta bule-bule, semuanya berfoto bersama. Cheese……
Siang itu aku mengantar mereka makan siang. Fatimah memilih menyantap bakso, sedangkan Hasan lebih senang tahu gimbal.
UWRF memang tak melulu tentang penulis, pembaca dan buku. Dari jumlah keseluruhan 200 program yang tersebar di lebih dari 50 venues, ada berbagai kegiatan mengisi festival ini, sebut saja sesi memasak oleh beberapa chef Indonesia ternama di The Kitchen; pameran metamorfosa kain tenun kontemporer dari Timor bertajuk ‘Ties to Timor’; special events – beragam acara yang menauntukan para penulis dan pembaca dalam suasana informal, termasuk perjalanan wisata; children and youth programs; Pecha Kucha 20×20 UWRF special edition; Kajeng Street Party; Poetry Slam – agenda favorit peserta UWRF; serta program pemutaran film yang kerap diramaikan pengunjung.
**
Lanjut. Aku pergi ke Resto Indus untuk ikut sesi Best Selling Books. Ada seorang panelis yang menarik dari India. Karena dia kelihatan spiritual sekali. Lihat saja ungkapannya : You're not creature, just bride. Ask The Creator to put that genious on your writing. Just recording what you 'see', katanya lagi. Tapi melihatnya tentu saja lebih dari sekedar melihat biasa.
Bang Fuadi mengulangi lagi yang kemarin dia sempat sampaikan di Lost Youths. There is self discovery by writing novel about himself.
Prinsip best selling book sebenarnya sederhana saja, we cannot attract somebody else except you or your idea is so cool and great. Yang lucu komentar panelis satunya lagi yang ketika sudah mulai akhir acara dan mungkin kecapaian, menyampaikan bahwa tugas penulis ya menulis saja. Bagaimana supaya laris tentu saja PR buat penerbit dan distributornya. Grrrr.. tentu saja gurauannya ini mendapat sambutan tawa dan applause dari audience.
Sesi berikutnya bertajuk Translasi. Menjadi highlight karena membahas kesiapan Indonesia sebagai guest of honour dalam Frankfurt Book Fair 2015 mendatang;
Janet Steele, chair alias moderatornya mengawal diskusi ini dengan sangat hidup. Dia adalah Associate Professor of Journalism di Sekolah Media dan Urusan Publik di Universitas George Washington . Dia menerima gelar PhD . dalam Sejarah dari Universitas Johns Hopkins , dan sangat tertarik pada bagaimana budaya dikomunikasikan melalui media massa . Dia sering berkunjung ke Asia Tenggara , di mana dia kuliah di topik mulai dari peran pers dalam masyarakat demokratis untuk program khusus pada narasi jurnalisme . Buku terbarunya Wars dalam: The Story of Tempo , sebuah majalah Independent Soeharto Indonesia ( Equinox Publishing dan ISEAS , 2005) berfokus pada majalah Tempo dan hubungannya dengan politik dan budaya Orde Baru Indonesia . Dia telah menerbitkan banyak artikel ilmiah tentang sejarah media dan kritik , dan telah memberi kuliah tentang teori dan praktek jurnalisme sebagai Ketua Departemen Luar Negeri dan Spesialis di India , Malaysia, Filipina , Timor Leste , Taiwan , Burma , Sudan , Kamboja , Mesir , dan Bangladesh . Seorang mantan Profesor Fulbright dalam program Studi Amerika di Universitas Indonesia ( 1997-8 ) , dia dianugerahi Fulbright kedua pengajaran dan penelitian hibah ke Jakarta Dr Soetomo Lembaga Pers pada tahun 2005-2006 . Fasih berbahasa Indonesia , dia saat ini bekerja pada sebuah buku tentang jurnalisme dan Islam di Kepulauan Melayu . Dia membagi waktunya antara Washington dan Jakarta .
**
Yang juga mengesankan adalah sesi BIG PICTURE di Neka Art Museum. Berikut catatan dari sana :
Menulis sesuatu yang hidup dalam diri, yang kita cintai ceritanya. Hanya dengan itu sebuah cerita akan hidup dan dapat divisualisasikan. #reinterpretatedee
Mbak Dee belajar dari nol waktu mau nulis script untuk novelnya sendiri. She proud of it, really.
Asli paling seru pagi tadi memang panelnya dia. Temanya ditunggu-tunggu, panelis-paelisnya cakap-cakap. Penuuuh sampai berdiri-diri.
**
Sementara itu anak-anak bermain dan berkreasi di Campuhan College. Judul acaranya Bag On Your Head-Green On Your Hand. Mengajak anak-anak untuk menggunakan satu tas kain untuk berbagai kepentingan. Sehingga lebih irit tas plastik. Karena sampah plastik bisa menyebabkan kerusakan bumi lebih cepat.
**
Kemeriahan uwrf(ini yang ke-10) Seperti saat ini,puncaknya sebenarnya tiga tahun lalu, dulunya juga dari susah payah kayak borobudur writer festival (tahun ini yang kedua)
Beberapa panel lainnya ada ‘Writing on the Road’ – bagaimana para pejalan yang menulis (dan penulis yang melakukan perjalanan) berkarya di tengah pengembaraan mereka, antara perangkat menulis, riset dan proses penulisan di lapangan;
Juga ‘The Tipping Point’ – salah satu diskusi panel terpanas dalam UWRF yang mengambil topik terkait bentangan sawah di Bali yang kian terkikis oleh pembangunan intensif dan gencatan massive tourism;
Dari venue utama, kami bergerak ke Museum Marketing untuk mengejar waktu. Karena pemutaran film Negeri 5 Menara dimulai jam empat sore. Alhamdulillah kami tidak ketinggalan. Bang Ahmad Fuadi yang mengenali kami sebagai three musketeers tersenyum bahagia.
Alhamdulillah setelah menonton film Negeri 5 Menara, kami berjumpa dan mengobrol dengan istri dan kakak iparnya bang Ahmad Fuadi. Mereka inilah yang sekaligus menjadi manajer, tim kreatif dan promonya bang Fuadi ke mana-mana. Setiap ada even, pemutaran film dan semacamnya, mereka yang menjadi tim suksesnya. Oh, jadi begitu antara lain rahasia sukses branding dan ekspansi bang Fuadi ke mana-mana. Termasuk rencana penerbitan komik Negeri 5 Menara. Seru kan? Dari satu cerita menjadi banyak bentuk dalam berbagai media.
Jadi kita juga foto-foto dengan tim sukses ini. Biar ketularan energi kreatif dan semangatnya.
Setelah sukses nangis-nangis saat nonton film Negeri 5 Menara, kami pulang ke Bungalow Kabera. Melepas lelah dan anak-anak maem nasi goreng lezat masakan bu Ketut. Sedangkan aku harus menunggu maghrib untuk berbuka. Padahal tidak ada suara adzan yang bisa terdengar dari tempat kami. Walhasil aku harus memeriksa jadual maghrib via google dan melihat jam di hp. Baru setelah yakin kalau sudah memasuki waktu maghrib, aku menyantap bagianku. Wah, kalau puasa bisa seringan ini rasanya, padahal jalan kaki banyak banget dari venue ke venue, bisa cepat langsing nih :D
Bakda sholat maghrib berjamaah, kami membaca takbir bersama-sama karena ini malam hari Raya Idul Adha.
Allahu akbar Allahu akbar
Laa ilaaha illallah huwallahu akbar
Allahu akbar wa lillahil hamdu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar