ARUNG DUNIA
“Aku akan sekolah ke Australia,” adik laki-lakiku berteriak dari kamar mandi sebelah.
“Aku
akan ke Amerika,” tak mau kalah aku berteriak, berlomba dengan suara
gebyuran air yang membasahi tubuhku, dan di sebelah bisingnya gebyuran
air membasahi tubuh adikku. Dua kamar mandi di rumah kami yang menjadi
salah satu tempat favoritku menyegarkan diri bahkan kadang menangis sesenggukan sambil mencipak-cipakkan air dalam bak-nya jika aku sedang bermasalah dengan siapapun.
Perlombaan yang selalu terjadi antara aku dan adikku yang usianya hanya selisih
satu setengah tahun. .Seru sekali karena kami dari sejak masih kecil,
aku masih duduk di SD kelas tiga dan adikku di SD kelas satu, telah
berkhayal dan bermimpi keliling dunia sambil beraksi di atas perahu
bikinan kami dari bahan pelepah batang pohon kelapa hibrida. .
“Aku akan ke Prancis,” ujarku
“Aku akan ke Jerman,”seru adikku hampir berbarengan.
“Ke Afrika”
“Ke Singapura”
“Kita akan keliling dunia”
Di
samping rumahku ada sepetak halaman yang menjadi tempat kami untuk
bermain. Aku bisa memanjat pohon mangga dan bertengger lama-lama
diatasnya. Di atasnya aku menggambar apa saja yang aku lihat. Orang–orang yang berjalan di alun-alun depan rumahku, atau para bocah dan
pemuda yang bermain bola disana. Dari atas pohon mangga ini pula,aku
kadang mengintip film yang diputar di layer tancap yang hanya diputar
untuk satu musim dalam setahun sekali, di grebeg besar. Dan kebetulan
lokasinya di taman parkir di sebelah rumahku.
Di
samping pohon mangga dan tanaman bunga , di sini juga ada sebuah pohon
kelapa hibrida. Pohonnya tidak terlalu tinggi seperti umumnya pohon
kelapa, sehingga aku bisa dengan mudah menarik dan mengambil daun kelapa
maupun pelepah batang kelapanya yang sudah tua atau biasa disebut
blarak . Ya ng selalu aku ingat dan tak terlupakan olehku adalah bermain
di atas selembar bagian batang kelapa atau yang disebut dengan blarak.
Ukurannya yang besar, panjang dan lebar, menjadikan aku dan adikku
laki-laki dapat menaikinya seolah –olah kami menaiki perahu. Ada – ada
saja peran yang kami mainkan di atas ‘perahu’ tersebut. Kadang kami
berperan seolah menjadi nelayan dan memancing ikan-ikan yang kami buat
dari dedaunan. Kadang kala aku menggunakan blarak sendiri, dan adikku
menggunakan blarak yang lain. kadangkala kami menumpang dalam satu
blarak besar. Sedangkan daun kelapanya kami gunakan sebagai dayung.
Bagai
bajak laut dan putri yang diculik pernah pula kami lakoni. Senang
sekali bermain pura-pura, bermain peran. Kadangkala kami seperti
pencari mutiara dengan mengumpulkan biji-biji buah kelapa yang berwarna
kuning putih cerah.
‘Hei…kita dapat banyak mutiara.Lihat….”, teriakku.
“Ayo …kita kumpulkan”,adikl laki-lakiku satu-satunya menyahut.
Kami mengumpulkan semua mutiara itu dalam wadah batok kelapa dan menghitungnya bersama-sama.
“Satu..dua..tiga..empat…”
Secara
tidak sadar ternyata kami bermain tapi sambil belajar matematika. Kami
mengelompokkannya sepuluh – sepuluh. Lalu menyimpannya dalam perahu
kami yang terbuat dari daun kelapa itu
Masih dengan
blarak yang itu, aku kadang berpose seperti seorang Cleopatra yang
sedang menaiki perahu kerajaan menyusuri sungai Nil. Kami menciptakan
alur cerita drama kami sendiri dengan gaya bahasa kami sendiri.
Kadangkala pamanku yang rumahnya dekat dengan rumah kami datang dan
membuatkan kami mainan senapan dari tangkai pohon pisang
yang ada di halaman belakang rumah kami. Daun pisangnya di hilangkan
sehingga tinggal tangkainya kemudian dipisau diagonal diagonal sepanjang
sisinya dengan jarak tertentu. Pada waktu dikibaskan berbunyilah
tangkai itu mirip dengan suara senapan. Plethak plethak ! Ramai sekali
dan kami menikmati selama pembuatannya dan juga permainan
perang-perangan memakai senapan buatan itu. Lagi- lagi blarak perahu
kami gunakan juga sebagai kendaraan kami dalam berperang ini. Adikku
menggunakan batok kelapa sebagai penutup kepalanya layaknya seorang
pejuang kemerdekaan di tahun empat lima.
“Dar! Duar!”
Pamanku mengarahkan senapannya kepada kami berdua yang beraksi di atas perahu blarak kebanggaan kami.
“Duar! Dar!” Plethak ! Plethak!
Aku dan adikku bekerjasama membalas serangan paman.
“Awas…..perahunya bocor kena tembakan senapan” pamanku meneriaki. Dia
seolah-olah jadi tentara Belanda yang menyerang kami.
Aku dan adikku action, perahu blarak yang kami tumpangi kami gerak-gerakkan sendiri seolah oleng karena bocor.
“Awas…perahunya hampir tenggelam. Sebaiknya kita meloncat” aku memberi aba-aba.
Adikku
dan aku pura–pura meloncat ke air, yang kami buat dengan menggunakan
sabut kelapa yang kami serakkan ke mana-mana di sekitar perahu blarak
kami. Imajinasi kami berkembang liar hanya dengan benda – benda yang terbatas dan apa adanya saja.
ARUNG DUNIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar