Seolah-olah Tuhan hendak memberikan jalan saja pada semakin mengerucutnya rencana menulis buku tentang poligami ini. Satu judul berbentuk novel, fiksi. Dan satu judul, non fiksi.
Tuhan juga yang memperjalankan sehingga tiba-tiba diberi kemudahan mengakses teman-teman baru yang merupakan para pelaku poligami, baik istri pertama dan istri kedua. Dari mereka, kisah-kisah dan hikmah bertaburan, menambah warna tulisan yang sekarang sedang terus diperbaiki.
Ada saat-saat ketika kadang 'api' untuk menulis topik ini menjadi surut ketika mendapati begitu banyak polemik juga kontroversi serta suara-suara sumir. Tapi kadang kemudian muncul kembali tekad menuliskan topik ini lagi. Contohnya waktu ada netizen yang serial twit-nya kayak gini:
Kalau si wanitanya mau/nerima dipoligami, kenapa harus dinyinyiri? Lucu juga kadang sama kaum perempuan anu.
Kau gak mau dipoligami, itu hak kau. Tapi perempuan lain juga punya hak untuk mau/menerima dipoligami. Ga usah saling memaksakan prinsip
Yang jalanin (mono/poligami) kan orang lain, bukan kau. Kecuali si lelaki ngotot poligami sedang si istri gak rela. Ya, gak papa diadvokasi.
Dan inilah salah satu sudut pandang tentang poligami yang kubagikan juga di salah satu kanal berita.
Poligami Is Beyond Marriage
: sebuah sudut pandang
Poligami seringkali disalah artikan, dianggap buruk dan mendapat stigma negatif karena kesalahan para pelakunya yang tidak mengindahkan adab, akhlaq. Juga ketidak adilan di dalam aplikasinya, entah dimulai sejak awal ataupun dalam perjalanannya kemudian.
Saat poligami diletakkan kembali dalam tuntunan syariahnya yang memperhatikan syarat-syarat keadilan dan juga adab/akhlaq, ia bisa jadi merupakan salah satu solusi emergency door bagi keadaan-keadaan tertentu. Misal yang nyata terjadi antara lain yang beberapa ijin poligaminya dikabulkan oleh Pengadilan Agama ini.
- Istri pertama yang mandul, sepakat dengan suami untuk sama-sama mengentaskan dan mengangkat janda beserta yatim-yatimnya menjadi satu keluarga serta saling menyayangi semuanya.
- Istri pertama yang mendapati sahabatnya belum juga menikah sampai usia tua, justru meminta suaminya untuk mengambil sahabatnya itu menjadi istri kedua.
- Istri pertama (isper) yang saking cintanya pada suami dan tidak ingin melihatnya sengsara karena isper tak lagi bisa melayani sebab sudah tua dsb, sepakat dengan suami untuk membawa madu alias istri kedua (isked) ke dalam rumah tangga mereka.
- Dan lain-lain kisah poligami yang beragam latar belakang dan hikmahnya.
Seolah memang poligami ini menjadi sesuatu yang anomali, karena yang lumrah terjadi adalah monogami. Bagaimana mungkin seorang wanita mau dipoligami? Padahal kita tahu tingkat kecemburuannya sangat besar. Bahkan dalam beberapa hal, tampak tidak rasional, karena memang perempuan adalah makhluk yang sangat emosional.
Keheranan dan pertanyaan-pertanyaan ini terjawab ketika bisa melihat lebih dekat lagi praktik-praktik poligami yang harmonis.
Rupa-rupanya ketika istri pertama dan istri kedua rukun, demikian juga dengan anak-anak mereka dari kedua belah pihak, faktor utama penyebabnya adalah kasih sayang yang terjalin antara mereka semua. Suami adil dan bisa melindungi semuanya. Istri pertama sayang pada adik madu dan anak-anak tirinya. Istri kedua hormat pada istri pertama dan menyayangi putra-putri dari kakak madunya. Anak-anak kompak satu sama lain. Mereka bersama-sama berkumpul saat liburan atau momen istimewa.
Aaah, fiksi kali? Cerita rekaan aja ya?
Ada mungkin beberapa orang yang menyangsikan keharmonisan rumah tangga poligami ini. Padahal ini nyata terjadi, dan bukan cuma satu dua kasus.
Karena itu, tidak berlebihan sebenarnya jika bisa dibilang praktik poligami yang harmonis ini adalah ‘beyond marriage’. Tingkatannya lebih tinggi dari sekedar pernikahan biasa. Di sana ada ketulusan hati, kelapangan dada, kebesaran jiwa, baik pada suami, istri pertama, istri kedua dan anak-anak mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar