Waktu aku dan kedua anakku mau pergi ke Ubud untuk UWRF saja
sebenarnya sudah mendapat pertanyaan dari Ibu dan adikku, kenapa kami justru pergi ke Bali yang notabene akrab
dengan kehinduannya di saat menjelang dan nantinya pada hari Raya Idul Adha?
Bagaimana sholat ied-nya? Bagaimana
makanannya? Halalkah? Katanya di Bali banyak anjing berkeliaran, bagaimana
nanti? Dan seterusnya.
Eh lha ndilalah kok pada malamnya hari kedua kami di
Bali, datang kabar duka. Inna lillahi wa innaa
ilaihi roojiuun. Seorang kyai karismatik,
Romo KH. Harir Muhammad Al Hafid meninggal dunia. Mendadak tanpa sakit
sebelumnya. Aku bisa membayangkan betapa bersedihnya kota kecil kami kehilangan
satu lagi kyai-nya. Karena kyai di Demak memang sudah tinggal sedikit kalau
tidak bisa dibilang tidak ada lagi yang besar.
Allahummagfir lahu warham hu wa 'afihi wa fu'anhu. Kehilangan Kyai Harir
sekarang rasanya seperti waktu aku dengar kabar Kyai Muyazzin wafat pas aku
berada di Madinah beberapa tahun lalu. Kota kecil kami tinggal punya beliau. Saat kyai wafat, mau
tak mau di jaman seperti ini dengan kapasitas penerus yang tak mungkin sama
dengan abahnya, kerjasama yang baik putra-putra dan menantu-menantu adalah
niscaya. Mungkin memang eranya sinergi, kolaborasi, sehingga perlahan-lahan
ketokohan dan sentralistik pada sosok tertentu dikondisikanNya hilang, dengan
diangkatnya para Yai. That's just another
point of view about current situation. Tentu saja tetap tak lepas rasa
pedih kehilangan Yai yang kami cintai
dan hormati. Selain itu peristiwa ini menjadi pelajaran. Bahwa kematian adalah niscaya. Tapi apa yang kita
tinggalkan, seberapa persen labet/kontribusi kita untuk umat. Apalagi jika
dibandingkan dengan apa yang Kyai telah lakukan dengan tulus. Jadi membayangkan
kelangsungan pesantren BUQ Betengan sepeninggal beliau. Apakah haflah wisuda
tahfidz di sana masih akan seramai dan semeriah sebelumnya. Haflah ini sebenarnya mirip festival juga.
Dan Demak sebenarnya juga punya festival lainnya. Yang sudah berjalan dari
jaman Sunan Kalijaga, Grebeg Besar. PR nya adalah bagaimana membuat festival dan haflah di Demak itu jadi
berskala nasional dan bahkan internasional seperti UWRF yang saat ini kuhadiri
dan menginspirasiku. Tapi tentu saja butuh effort sangat besar untuk perhelatan
seistimewa ini.
**
Tak bisa kupungkiri, berjalan
menyusuri Ubud dan menghadiri satu demi satu panel festival UWRF ini
sesungguhnya hati dan kebimbanganku bermain-main.
Dan tahu-tahu sampailah pada hari Arafah,
membuatku teringat apa yang kualami saat berhaji beberapa tahun lalu,
membayangkan pada hari ini pun berduyun-duyun jamaah haji menuju pengampunanNya
yang teragung. Kenapa aku justru di pulau Dewata? Orang-orang di rumahku pun
pasti padha khusyu berdoa dan meminta, kenapa aku justru jauh di tanah yang
adzan saja tak terdengar?
Bagaimana dirimu di Ubud tapi
hatimu di Arafah, tentu saja sebuah persoalan tersendiri. Tapi sesuai dengan
tekad dan kemantapan hati kemarin, meski berada di Ubud namun tetap berusaha
melakukan ibadah-ibadah yang disunnahkan pada hari Arafah. Antara lain dengan
berpuasa sunnah, jadi aku tetap menyantap sahur dan menahan lapar haus.
Beberapa panelis mengisi sesi pagi hari
Arafah itu dengan gayanya yang berkelas tetapi juga asyik. Deep story should across culture, demikian antara lain, bahwa
cerita yang bagus dan dalam hendaknya melintasi berbagai budaya. Dari Neka Art Museum, kami naik shuttle menuju Museum Puri Lukisan.
Anak-anak kutitipkan pada Mrs Linda dan Puput lagi yang menghandle children
programme pagi ini. Tema kali ini plastic attack. Bermain-main dengan limbah
plastic, mengubahnya menjadi sebuah karya seni yang indah. Kutinggalkan mereka
sampai tengah hari. Aku bergegas menuju venue utama lagi untuk mengikuti
agendaku sendiri. Anak-anak enjoy bermain dengan guru-guru dan teman-teman baru
mereka. Saat aku menjemput mereka tengah
hari, betapa sejuknya hatiku saat melihat hasil karya Fatimah. Dia membuat
sebuah hati besar dari limbah plastic itu. Menuliskan I LOVE MOM dengan
material yang sama tapi beda bahan dan warna. Aduuuh…rasanya mak treceeeep…sampai
berkaca-kaca mataku. Hasan karena kangen dengan sahabat terbaiknya di sekolah,
menuliskan nama Ahmad di bagan prakaryanya. LOVE FRIENDS. Membuat siluetnya
bergandengan dengan temannya, dari material limbah plastic juga. Lalu bersama
semua teman-teman, baik para siswa sekolah di Ubud maupun para peserta
bule-bule, semuanya berfoto bersama. Cheese……
Lanjut. aku pergi ke Resto Indus untuk ikut sesi Best
Selling Books. Ada seorang panelis yang menarik dari India. Karena dia
kelihatan spiritual sekali. Lihat saja ungkapannya : You're not creator, just bridge. Ask The Creator to put that genious on
your writing. Just recording what you 'see', katanya lagi. Tapi melihatnya
tentu saja lebih dari sekedar melihat biasa. Bang Fuadi mengulangi lagi yang
kemarin dia sempat sampaikan di Lost Youths. There is self discovery by writing
novel about him self.
Yang juga mengesankan adalah sesi BIG PICTURE di Neka Art
Museum. Menulislah sesuatu yang hidup dalam
diri, yang kita cintai ceritanya. Karena hanya dengan begitu sebuah cerita akan
hidup dan dapat divisualisasikan. Sementara itu anak-anak bermain dan
berkreasi di Campuhan College. Judul acaranya Bag On Your Head-Green On Your
Hand. Mengajak anak-anak untuk menggunakan satu tas kain untuk berbagai
kepentingan. Sehingga lebih irit tas plastik. Karena sampah plastik bisa
menyebabkan kerusakan bumi lebih cepat.
Dari venue utama, kami bergerak ke Museum Marketing untuk
mengejar waktu. Karena pemutaran film Negeri 5 Menara dimulai jam empat sore.
Alhamdulillah kami tidak ketinggalan. Bang Ahmad Fuadi yang mengenali kami
sebagai three musketeers tersenyum bahagia. Alhamdulillah setelah menonton film Negeri 5
Menara, kami berjumpa dan mengobrol dengan istri dan kakak iparnya bang Ahmad
Fuadi. Mereka inilah yang sekaligus menjadi manajer, tim kreatif dan promonya
bang Fuadi ke mana-mana. Setiap ada even, pemutaran film dan semacamnya, mereka
yang menjadi tim suksesnya. Oh, jadi begitu antara lain rahasia sukses branding
dan ekspansi bang Fuadi ke mana-mana.
Termasuk rencana penerbitan komik Negeri 5 Menara. Seru kan? Dari satu cerita
menjadi banyak bentuk dalam berbagai media. Jadi kita juga foto-foto dengan tim sukses
ini. Biar ketularan energi kreatif dan
semangatnya. Setelah sukses
nangis-nangis saat nonton film Negeri 5 Menara, kami pulang ke Bungalow Kabera.
Melepas lelah dan anak-anak maem nasi
goreng lezat masakan bu Ketut. Sedangkan aku harus menunggu maghrib untuk
berbuka. Padahal tidak ada suara adzan yang bisa terdengar dari tempat kami.
Walhasil aku harus memeriksa jadual maghrib via google dan melihat jam di hp.
Baru setelah yakin kalau sudah memasuki waktu maghrib, aku menyantap bagianku.
Wah, kalau puasa bisa seringan ini rasanya, padahal jalan kaki banyak banget
dari venue ke venue, bisa cepat langsing nih. Bakda sholat maghrib berjamaah,
kami membaca takbir bersama-sama karena ini malam hari Raya Idul Adha. Allahu
akbar Allahu akbar. Laa ilaaha illallah huwallahu akbar. Allahu akbar wa
lillahil hamdu.
Paginya aku bangun jam tiga dinihari seperti biasa.
Tetapi hari ini istimewa karena hari ini hari Raya Idul Adha. Kubangunkan
anak-anak untuk sholat subuh dan mandi serta bersiap pergi sholat Id. Setengah
enam pagi kami dan teman-teman volunteer yang juga tinggal di Kabera sama-sama
pergi ke Museum Puri Lukisan. Mas Ali, pegawai museum yang asli Banjar
Kalimantan itu sudah menunggu kami di sana. Pagi-pagi benar kami berombongan
naik boncengan motor sepanjang 12 km menuju Gianyar untuk sholat Idul Adha.
Wuoaaaah…kebayang kan jauhnya masjid. Alhamdulillah.
Senang rasanya bisa melaksanakan ibadah istimewa di hari istimewa di tempat
istimewa. Campakkan jauh-jauh kesombongan,
begitu pesan khutbah Idul Adha di Gianyar.
Pulang dari sholat Ied, tetangga kami menyapa. Mrs Ana
ini aslinya dari New Zealand, sudah beberapa kali ikut UWRF. Meskipun usianya
sudah tua tapi masih asyik dan suka seseruan keliling dunia. Utamanya dia suka
sekali berkunjung ke Indonesia. Bahkan beberapa minggu sebelum ke Ubud ini, dia
melancong ke Semarang, Demak, Kudus, Jepara dan sekitarnya. Kalau lihat gayanya
memakai kerudung gitu, aku jadi kepikiran jangan-jangan bu Ana ini tertarik
menjadi muslimah. Yach, kalau usia makin
tua memang kedamaian yang dicari. Dan mungkin dia menemukannya dalam
Islam, siapa tahu? Bersama Mrs Ana, kita merayakan Idul Adha pagi ini. Beliau
banyak cerita perjalanannya. Dan anak-anakku serasa menemukan kembaran
neneknya.
Alhamdulillah. Ubud, sawah, padi
dan bersama orang-orang hebat yang humble, yang semakin berisi justru semakin
menunduk. What's a great lesson, great
week. Mayoritas
diskusi panel sangat baik, terorganisir, chair alias moderator proaktif,
panelis yang tampil pun komprehensif dan alur diskusi sejalan dengan tema.
Tetapi beberapa sesi diskusi masih perlu perbaikan, baik dari segi tema maupun
panelis yang berpartisipasi.
Hari terakhir di UWRF, dari Left Bank kami naik shuttle
sampai pasar seni karena kendaraan gratis ini tidak sampai ke Hubud, destinasi
kami selanjutnya. Dekat pasar seni, kami bergantian berpose di depan baliho
UWRF yang super besar. Dan mungkin sepuluh tahun lagi, Hasan ataupun Fatimah
diundang ke UWRF sebagai panelis? Siapa tahu? Yang jelas sepulang dari UWRF
mereka berdua sangat produktif. Membuat banyak gambar dengan berbagai cerita.
Mau tak mau saya bisa melihat bagaimana UWRF memantikkan kreatifitas dan keberanian
mereka untuk berekspresi.
Dari Ubud kami ke Denpasar, mengunjungi teman, lalu bersamanya
mengunjungi kampong muslim dan pesantren
di Bali. Termasuk Raudhatul huffadz yang terletak di Tabanan. Pak Kyai Nur
pengasuh pesantren ini ternyata berasal dari Demak. Datang ke Tabanan tahun
1975. Dari majlis pengajian kecil yang hanya mengajar dua tiga orang yang
tinggal di sekitar rumahnya, sekarang sudah menjadi pesantren dengan ratusan
santri mukim. Bahkan memiliki MI, MTS dan MA dengan gedung masing-masing.
Subhanallah. Ternyata beliau ini juga yang berinisiatif mengadakan ziarah wali
pitu di Bali. Dengan tujuan agar para wisatawan muslim yang datang ke Bali
tidak hanya berwisata pantai dan semacamnya, tetapi juga berdzikir. Pak Kyai
Nur mengisahkan dulu ada utusan dari Sunan Kalijogo memang datang untuk
mendakwahi para pelarian dari Majapahit yang tinggal di Bali. Tetapi sudah ada
unen-unen, bahwa hanya orang yang berasal dari Demaklah yang akan sanggup
tinggal lama dan bersama-sama para penduduk Bali ini. Bagaimana kebenaran
legenda atau mitos ini, mungkin bisa dicari tahu lebih dalam. Tapi pak Kyai
Nur, Alhamdulillah, sudah menjadi bukti nyata kegigihannya berdakwah dengan
tetap bersanding bersama-sama pemeluk kepercayaan yang lain. Hanya saja menurut
pak Nur, sejak adanya bom dan terorisme, kerukunan yang dulu tercipta baik,
kini tidak sehangat dulu. Tetap saja ada kewaspadaan oleh aparat dan lainnya
jika ada muslim yang bermaksud mendirikan majlis taklim atau bangunan ibadah
yang baru di Bali. Jadi terorisme tidak saja merugikan mereka yang di luar
Islam. Mereka bahkan juga merugikan Islam dan umat Islam itu sendiri.
Yang ajib, semua santri di sini tidak membayar alias
gratis. Bahkan mereka juga disekolahkan. Jadi seperti di Tarim Hadrom maut Yaman. Kemudian selulus
Aliyah (setingkat SMA) para santri yang hafal Alquran mendapat beasiswa untuk
kuliah di Universitas dan Kampus yang sudah ada kerjasama dengan pesantren.
Akhirnya apa yang kukhawatirkan
tidak terjadi. Pertentangan antara Ubud dan Arafah yang mengganjal hatiku di
awal-awal tidak sungguh-sungguh bisa dipertentangkan. Karena meskipun berada di
Ubud, hati insya Allah bisa tetap menghadap Allah seperti di Arafah, dan di
manapun tempat karena memang demikianlah seharusnya hati menghadap.
Dan ternyata perjalanan menuju dan
selama UWRF ini juga mengajarkan anak-anak banyak hal selain memberi mereka
liburan dan hiburan. Mereka juga belajar sabar, belajar dan mempraktekkan
tayamum (sesuci dengan debu), sholat safar, sholat jama’ qoshor, bagaimana
menggunakan GPS, bagaimana berinteraksi, bersosialisasi dan bertoleransi,
belajar tentang apa itu najis mugholadoh dan bagaimana jika seandainya terkena
najis itu, dan masih banyak lagi yang kami dapatkan. Sebagai perempuan single
parent sejak kematian suami dalam kecelakaan lalu lintas enam tahun lalu,
perjalanan ini juga menasbihkan bahwa kami tetap bisa seperti keluarga lain
yang lengkap, yang bisa juga bepergian, belajar di tempat jauh dan melakukan
keberanian-keberanian, bahwa situasi yang terjadi tidak menjadikan kami trauma
terhadap bepergian, dan tidak membatasi kami dari cita-cita yang tinggi. Semoga
Allah senantiasa memberikan pertolonganNya. Aamiin.
Pulangnya kami naik pesawat dari Denpasar ke Jogja. Alhamdulillah kami dapat harga tiket pesawat yang terjangkau. Anak-anak senang karena ini pengalaman mereka pertama kali naik pesawat. Dan kami mendapatkan energi yang luar biasa dari perjalanan ke Ubud dan Denpasar ini
Pulangnya kami naik pesawat dari Denpasar ke Jogja. Alhamdulillah kami dapat harga tiket pesawat yang terjangkau. Anak-anak senang karena ini pengalaman mereka pertama kali naik pesawat. Dan kami mendapatkan energi yang luar biasa dari perjalanan ke Ubud dan Denpasar ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar