Dari Sebuah Acara Launching Buku
Agustus.
Zara menyadari ada yang salah dengan peletakan backdrop besar itu.
Berbahan dasar MMT dengan tulisan-tulisan yang sangat besar agar menonjol, memang
pilihan tepat dalam acara launching dan bedah buku ini.
Benar bahwa bagian atasnya
memang sudah mepet dengan pengaitnya, tidak mungkin ke atas lagi. Namun
akibatnya ada bagian bawah MMT yang tertutupi kursi, yang akan digunakan
sebagai tempat duduk dua nara sumber termasuk dirinya. Nhah! Masalahnya
sekarang adalah bagian yang menjadi hampir tidak terbaca itu adalah nama
dirinya berikut profesi yang terdapat dalam tanda buka tutup kurung.
Ada sebagian suara dalam hati kecilnya untuk mengingatkan panitia
akan keganjilan dan janggalan ini. Tetapi belum lagi mulutnya mengeluarkan
suara, sisi batin yang lain mencegahnya berdiri.
“Biarlah namaku tidak dibaca atau dikenali,” batinnya.
Ada rasa ingin meluruhkan ego dan narsisme yang selama ini
menggerogotinya sedemikian rupa. Akan bersanding dengan seorang doktor dalam
acara bedah buku ini, membuatnya tertunduk malu. Dia bukan siapa–siapa, hanya
seorang arsitek yang tersesat menulis. Lalu tiba–tiba disandingkan dengan
seorang pakar filsafat.
Zenal Edha, nama itu sudah sempat diselidikinya beberapa hari ini.
Sepak terjangnya, latar belakangnya dan statusnya. Dari sekilas pembacaan itu,
lelaki intelek itu sudah langsung memperoleh simpati dari Zara.
Meskipun kemudian agak sedikit menurun konsentratnya ketika
perempuan ini menemukan langsung sang doktor telah duduk di kursi seberangnya.
Zara sedang duduk di kursi audience paling belakang, sembari acara sore itu
dimulai. Setelah baru saja berbincang dengan Silvi dan Lala, panitia acara,
kepalanya segera menoleh karena merasakan ada angin dan aura dari arah sebelah.
Ternyata pemilik wajah yang diintipnya lewat fesbuk kemarin, sudah hadir di
situ dengan senyum dan sorot mata cerdasnya. Persis seperti dalam
profil–profilnya di fesbuk. Tetapi yang tidak diduganya adalah fisik pria ini
ternyata tidak lebih tinggi dari dirinya.
“Nhah, ini pak Zenal-nya sudah datang,” seru Zara menggamit bahu
Lala dan Silvi.
Mereka berdua kemudian mengucap salam kepada pria yang meski
pendek tetapi tampak berwibawa itu. Disambut dengan senyumannya yang ramah.
Kemudian dengan takjub mengalihkan pandangan ke arah Zara.
“Ini bu Zara ya?” tanyanya sopan, masih dengan senyuman.
Zara menganggukkan kepalanya, lalu teringat sesuatu.
“Eh, mumpung ingat pak. Saya minta tanda tangannya,” ujar Zara
sembari mengeluarkan novel terbarunya, mengulurkannya pada pria di yang duduk
di depannya.
“Lho? Kok malah saya yang tanda tangan,” Pak Zenal menerima novel
itu sambil matanya jenaka melirik ke arah Zara.
“Memang hobi saya mengoleksi tanda tangan orang–orang terkenal,
pak,” Zara mencoba menjelaskan.
“Saya malah ingin baca. Mana yang buat saya?” pak Zenal membolak–
balik novel berukuran 11x 18 cm itu. Membaca tulisan di back covernya lalu
membaca bagian dalamnya.
“Wah. Sayang sekali, saya juga cuma punya satu ini, pak. Stock-nya
habis. Itu juga saya coret–coret pakai stabilo. Maaf ya,” Zara tersipu malu
karena tidak menyiapkan sesuatu untuk orang yang dimintai tanda tangan.
Padahal dia biasanya menyerahkan salah satu karyanya. Seperti
ketika bersua Pipit Senja, Donatus A Nugroho, Gol A Gong, pak Ahmad Tohari dan
yang lainnya.
Zenal manggut–manggut saja sambil terus asyik membaca. Fast reading, tentu saja karena tidak tersedia banyak
waktu. Sebentar lagi acara bedah buku dimulai. Tak berapa lama kemudian, dia
menorehkan tanda tangannya. Menyerahkannya kepada Zara dengan senyuman yang
khas, menampilkan lesung pipinya dan ujung bibir yang bergeser beberapa senti ke kiri. Manis juga pak dosen
ini, pikir Zara.
**
Zara puas dengan keriuhan dan keseruan acara
bedah buku itu. Tidak sia–sia dia mempersiapkan diri selama tiga hari itu.
Membaca novelnya secara nyemil menghasilkan fokus yang lebih baik. Sehingga dia
bisa menulis empat belas halaman catatan tentang novel tersebut. Sparing
partner yang handal membuat irama talkshow ini mengalun indah dan harmoni.
Perempuan itu tersenyum lega, meraba dadanya yang penuh kesyukuran.
**
Keesokan harinya, perempuan ini sempat menemukan sebuah
artikel. Yang berisi ulasan tentang
acara kemarin di sebuah media.
Angin Baru Relaunching dan Bedah Buku Semarang.
Jum’at (03/8) Penerbit E menyelenggarakan acara relaunching dan bedah novel di
gedung toko buku Gramedia Pandanaran Semarang lantai dua. Acara ini
terselenggara atas kerja sama Penerbit buku E dan Komunitas Kepenulisan cabang
Semarang dengan menghadirkan narasumber Zara Medina
(arsitek dan novelis) dan Zenal Edha (Dosen
Filsafat dan Pemerhati Sastra).
Bedah buku ini juga dirasa menarik dikarenakan
kombinasi antara kedua narasumber dalam membedah novel tersebut. Pasalnya kedua
pembicara memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat novel tersebut.
Zara Medina berbicara terkait fisik novel, meliputi diksi, alur cerita,
setting, dan lain sebagainya, sedangkan Zenal Edha berbicara terkait jiwanya,
yakni berkaitan tentang pemaknaan karya sastra. Kombinasi ini membuat peserta
semakin asyik dalam mengikuti dialog.
Acara ini cukup menyita perhatian pengunjung
Gramedia. Hal ini dibuktikan dengan membludaknya pengunjung yang berkunjung
antara pukul 15.00-17.30 WIB berhenti di area kegiatan dan menyimak apa yang
sedang dibicarakan. Dalam acara ini juga hadir segenap pengurus dan anggota Komunitas
Kepenulisan cabang Semarang dan beberapa tamu undangan. Lima menit sebelum adzan maghrib
berkumandang, bedah novel ini berakhir. Dilanjutkan dengan buka bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar